Seperti embun di pagi hari
Yang perlahan menghampiri daunnya
Aku bahkan hanya seperti debu yang ditiup lalu terbang ke mana saja
Mencari kamu yang sulit untuk kutebak degupmu untuk siapa
Aku hanya lapang yang ikhlas
Menikmati jalanmu yang semakin jauh
Mengabur seperti pasir pantai
Secangkir teh masih kusesap sedikit demi sedikit
Karena aku mulai mencintaimu secara pelan-pelan
Tidakkah kamu ingin bertanya mengapa awan terlihat baik-baik saja, sekalipun guntur menyakitinya?
Awan mencintai guntur dengan perlahan
Maka, ketika guntur menghadirkan petir, awan menikmati semuanya secara pelan-pelan
Sementara di sudut kamarnya, awan menelan lukanya sendirian
Lalu bagaimana dengan padang pasir yang tetap lapang, padahal pohon-pohon kurma sudah tumbang?
Kecintaannya telah hilang
Sementara, padang pasir merajut ikhlasnya dengan mata nanar
Aku tidak berani mengatakan tentang cinta
Ataupun berteori soal rindu
Yang tak lebih selalu berdoa sebelum subuh agar kamu bahagia
Yang matanya masih malu bertemu matamu
Berdiri anggun di belakang punggungmu
Maka, kamu tidak perlu bertanya, “Siapakah yang paling ikhlas memperhatikan garis senyum dan sorot mataku?”
Karena sampai nanti, sampai tua, sampai tiada
Aku adalah perempuan penulis sajak-sajak yang terbuat dari garis senyummu