Hampir empat puluh tahun sejak terbit pertama kali, Bacaan Mulia karya HB Jassin yang merupakan terjemahan Al-Qur’an dalam bentuk puisi masih menarik untuk kita bahas. Sialnya, masih sangat sedikit angkatan kita (mahasiswa) yang mengetahui perihal peristiwa besar dan polemik seputar penerjemahan itu. Dalam tulisan ini, saya akan sedikit membahas persoalan itu.
Berawal dari kegundahan HB Jassin dalam melihat terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Ia merasa bahwa perlu penerjemahan Qur’an dengan bahasa yang lebih sastrawi dibanding dengan yang lebih dulu ada. Selain masih dalam bentuk prosa yang panjang, kadang terjemahannya berbahasa lurus (diartikan secara harfiah dari bahasa Arab), sehingga maknanya sering kali sulit dipahami oleh orang Indonesia. Adapun beberapa pelafalan yang tidak ritmis dan puitis, seperti kita ketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan di Arab pada masa di mana syair sedang digandrungi setengah mati, sehingga selain karena kandungan maknanya yang dalam, Al-Qur’an bisa diterima karena susunan katanya yang indah dan puitis.
Tapi sebenarnya ada yang lebih melatari niatan HB Jassin untuk membuat sebuah tafsir Qur’an yaitu peristiwa kematian istrinya pada tahun 1962 yang sangat memukul Jassin. Selama tujuh hari setelah kematian istrinya, ayat-ayat Al-Quran dibacakan di kediamannya. Akan tetapi pada hari ke delapan, ketika sanak saudara dan tetangga telah berhenti menggelar pengajian, Jassin kembali dirundung kesepian. Ketenangan yang ia dapatkan selama tujuh hari setelah kematian istrinya perlahan hilang dan berganti dengan perasaan galau, apalagi ia sering teringat akan almarhumah istrinya yang sangat bersemangat mengajaknya sembahyang dan membaca Al-Qur’an semasa hidupnya.
Akhirnya Jassin berpikir mengapa tidak ia saja yang melanjutkan baca Al-Qur’an sambil menelaah maknanya setiap hari. Toh, selain mampu mengobati kerinduannya, Al-Qur’an selalu berhasil membuat hatinya tenang. Sejak saat itu, Jassin rutin membaca Al-Qur’an setiap hari. Sepuluh tahun kemudian, tepat tahun 1972 saat di Belanda, untuk pertama kali ia mengerjakan sebuah terjemahan puitisnya secara komprehensif. Dibekali Qur’an asli berbahasa Arab, kamus, buku tentang Al-Qur’an, terjemahan Qur’an bahasa Inggris, beberapa terjemahan dalam bahasa Indonesia, dan Melayu sebagai pembanding.
Banyak yang menyangsikan kualitas Jassin. Mengingat bahwa yang ingin diterjemahkannya adalah bukan karya sastra biasa, tetapi sebuah kitab suci yang dibuat langsung oleh Allah, dan dijadikan pedoman hidup keseharian. Tentu perdebatan mengiringi kelahiran terjemahan itu. Ada yang menyangsikan Jassin karena ia bukan seorang ulama sehingga kredibilitasnya sangat diragukan, tetapi terkait ini pembelaan dilontarkan oleh Hamka dalam kata pengantarnya dengan mengatakan bahwa Jassin adalah seorang sastrawan dan kritikus sastra ternama. Adapun kesalahan makna yang kemungkinan terjadi adalah tugas orang lain untuk memberikan masukan. Hamka bahkan menghormati niat Jassin supaya Qur’an bisa dihayati dan dinikmati bukan hanya secara harfiah, akan tetapi melibatkan emosi seperti pada saat kita membaca puisi. Hamka justru sangat menyayangkan para ulama yang menerjemahkan Al-Qur’an bukan merupakan seorang sastrawan. Akan tetapi, Jassin bukanlah seorang individu yang keras kepala. Menanggapi kritik itu ia menjelaskan bahwa dirinya telah berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia. Bahkan mendapat pendampingan dari MUI cabang Jakarta.
Beberapa bulan setelah penerbitan, media massa diramaikan oleh perdebatan sengit antara pihak pro dan kontra terkait penerjemahan itu. Damiri Mahmud mengeluarkan kritik yang pedas dengan mengatakan “Hendaknya kita tak usah berasumsi bahwa sastra itu agung sehingga segala-galanya hendak disastrakan.”
Jassin mengatakan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud menulis sebuah tafsir. Dalam suratnya kepada Soelarto, Jassin mengatakan,“Orang sekarang berlomba-lomba menerbitkan tafsiran yang tebal-tebal, tapi saya kira yang tak kurang pentingnya ialah suatu terjemahan saja yang bisa dipertanggungjawabkan dari sudut keindahan bahasa dan sudut ilmiah…,”
Banyak pula yang meragukan kemampuan bahasa Arab yang dimiliki Jassin. Bahkan terjemahannya dianggap hanya mendasarkan pada teks-teks terjemahan Inggris. Jassin menjawab tudingan ini dengan mengatakan bahwa ia sudah tiga tahun lebih mendalami bahasa Arab secara komprehensif didampingi oleh A.S Alatas, Dosen Sastra Universitas Indonesia. Ia pun mengaku menggunakan bahasa Inggris dan Melayu hanya sebagai pembanding, bukan acuan utama.
Oemar Bakry dalam sebuah esainya menyatakan keberatan atas penerjemahan itu. Ia menganggap Jassin telah bermain-main, menyamakan Al-Qur’an dengan buku-buku biasa ciptaan manusia. Bacaan mulia, bacaan utama, bacaan bahagia, terkesan menjadi sebuah buku yang biasa.
Selain membuat terjemahan dalam bentuk puisi, Jassin juga ingin mengubah tampilan kata dalam Al-Qur’an, ia ingin keindahan Al-Qur’an bisa dinikmati juga secara tipografi. “Mengapa Alquran yang begitu indah bahasa dan isi kandungannya tidak ditulis pula secara indah perwajahannya,” Ujarnya. Akan tetapi ini ide segera mendapat penolakan keras dari Majelis Ulama Indonesia karena akan terjadi perbedaan dengan mushaf Al-Imam, mushaf yang berlaku dan disetujui di dunia Islam.
“Mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya,” kata ketua lembaga yang berwenang mengesahkan penerbitan Al-Qur’an. Belum lagi kekhawatiran bahwa pemenggalan kalimat yang dilakukan Jassin akan menimbulkan perbedaan makna. Toh, akhirnya dengan masygul upaya itu dihentikan juga setelah menyelesaikan kurang lebih 10 Juz.
Mari kita lihat sedikit perbandingannya. Terjemahan surat Yusuf yang secara umum diterjemahkan dalam bentuk prosa:
Kami ceritakan kepadamu kisah yang paling indah dengan mewahyukan kepadamu (bagian) Qur’an ini, meskipun kamu sebelumnya orang yang tiada sadar (akan kebenaran).
Sedangkan Jassin menyusunnya dalam bentuk puisi:
Kami ceritakan kepadamu kisah
Yang paling indah
Dengan mewahyukan kepadamu
(bagian) Quran ini,
Meskipun kamu sebelumnya orang
Yang tiada sadar
(akan kebenaran).
Meskipun kata-katanya sama, pada versi Jassin jelas nampak suatu keteraturan dalam susunan, irama, dan persamaan bunyi.
Menarik membaca terjemahan surat Ar-Rahman (1-9) dalam terjemahan Jassin:
- Tuhan Yang Maha Pemurah
- Mengajarkan Quran
- Menciptakan insan
- DiajariNya fasih perkataan
- Matahari dan bulan (beredar) dengan perhitungan
- Dan rumput dan pohonan keduanya sujud kepada Tuhan
- Langit Ia tinggikan dan diadakanNya (neraca) keadilan
- Supaya jangan kamu lampaui batas timbangan
- Tegakkan neraca keadilan dan jangan kamu kurangi sukatan
Bandingkan dengan versi Departemen Agama
- (Tuhan) Yang Maha Pemurah
- Yang telah mengajarkan Al quran
- Dia menciptakan manusia.
- Mengajarnya pandai berbicara.
- Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
- Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.
- Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).
- Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
- Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
Setelah membaca dan membandingkan keduanya, saya yang awam ini justru lebih merasa bergetar membaca terjemahan versi Jassin. Kalau kita membaca Bahasa Arab dalam ayatnya, kita akan mengetahui bahwa surat Ar-Rahman 1-9 mempunyai irama ritmis dengan akhiran –an, hal ini sesuai dengan terjemahan Jassin.
Polemik yang lahir dari penerbitan Qur’an dalam bentuk puisi ini bisa kita maknai sebagai polemik terjemahan. Memang tak akan pernah sebuah terjemahan menyamai keindahan suatu karya sastra dalam bahasa aslinya. Pasti selalu ada ketidaksetujuan, ketidakpuasan, dalam mencari padanan kata dan makna yang tepat. Tetapi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita mesti mengapresiasi niat sederhana Jassin untuk mengindahkan bahasa terjemahan. Toh, semua itu baginya sederhana saja; sebagai proses beribadah kepada Allah SWT.