Karya: Riswanto (Sastra Indonesia 2015)
Kehadiranmu kali ini disambut dengan suka cita, bahkan manager kafe menyalamimu begitu tahu pelanggan setianya telah kembali. Betapa tidak, mereka mengakrabi rutinitas kunjunganmu menjelang akhir pekan: kamu akan datang tepat pukul 5 petang, berhenti sejenak di ambang pintu untuk menebar pandang seperti hendak menepati janji temu, lalu melangkah menuju meja bar dan duduk berjam-jam sebelum akhirnya pulang pukul delapan malam.
Siklusnya selalu sama, bahkan dirimu tidak usah susah-susah mengarang judul kunjungan sebab pelayan kafe diam-diam telah menyiapkannya: Menjemput Malam.
Empat bulan sejak kedatanganmu terakhir, takada sedikit pun benda yang bergeser. Kamu menarik kursi dengan gestur yang dihafal mati, duduk kemudian memesan koktail. Demikian, kamu nyaris menyendiri, mungkin memang ingin sendiri. Hanya bartender yang menjadi partner-mu, darinya kamu tahu beraneka cerita pengunjung yang sering memesan meja, setiap minggu ada saja peristiwa baru. Mendengarkannya seperti menonton drama seri. Tidak habis-habis. Si A jadian dengan B, C putus dengan D, enam minggu lalu B bertengkar hebat karena A ketahuan selingkuh dengan D dan itu perselingkuhan A yang kesekian. Terkadang ditambahi bumbu takperlu. Kamu curiga, jangan-jangan dia menceritakan yang tidak-tidak tentangmu. Bartender itu membantah, katanya kamu termasuk tamu jarang ngomong yang mampir untuk menghindari macet, terus besoknya balik lagi karena ketagihan menu.
Kamu mendengus, prediksi bartender itu tepat. Hanya saja menu adalah alasan kedua kenapa kamu kemari seminggu sekali, dan kebetulan kamu belum berminat jujur tentang alasan pertama.
*
Kamu ingat suatu waktu dalam perjalanan pulang, kamu penat dan mendamba istirahat. Tapi jalanan sangat pekat oleh kendaraan, sampai kamu jenggah dan ingin memaki. Akan tetapi sebelum dosis harian warasmu habis, kamu putuskan untuk menepi di kafe sambil menunggu macet berlalu.
Kamu duduk di kursi yang sekarang kamu diami, kamu pesan menu yang sekarang dipesan kembali. Dan, siapa sangka, sore itu kamu menemukan alasan menyisihkan waktu luang di luar pekerjaan yang menyita demi satu alasan egois yang sebelumnya tidak direncanakan: wanita itu. Kamu mengaguminya semenjak pertama ditemukan. Dia sepertimu, menanam eksistensi tanpa ingin membaur, selalu duduk di sudut ruangan yang itu saja.
“Dia pelanggan tetap,” begitu kata bartender saat menunjuk deretan daftar tamu yang dia kenal, beberapa namanya tidak diketahui, wanita itu bagian dari mereka. “Dia ke sini pukul empat sore sampai malam. Kamis malam,” lanjutnya.
Diam-diam dalam hati kamu berjanji untuk kembali minggu depan. Takpeduli macet atau tidak, hujan atau kemarau, begitu seterusnya sampai bosan. Tiga tahun berlalu, ternyata kamu takbosan-bosan, malah semakin setia beritual.
Menjemput malam di meja bar.
Di setiap kunjungannya kamu tahu pacarnya takselalu ikut serta, yang lebih membahagiakan lagi sebab itu kesempatanmu mencuri pandang dengan leluasa. Wanita itu, siapapun namanya, selalu tampak taktersentuh. Seakan gelembung melindunginya dari gangguan pihak luar. Bila dengan pacarnya kadang dia terlihat bahagia, kadang ceria. Bila sendiri kadang terlihat sedih, tapi seringnya terluka. Barangkali itu jadwal berkeluh kesah mengenai hubungannya.
Pacarnya mungkin bajingan.
Kamu taktahu pasti, kisahnya takpernah dibagi dan didekap sendiri. Walaupun pundakmu tersedia untuknya, dia takpernah tahu. Membuatmu bertanya-tanya, akan kah pundakmu berguna jika dia sadar selama ini ada dirimu? Itu pertanyaan pamungkas kunjungan ini, menjadi semacam suvenir yang bisa dibawa pulang lalu diselisipkan di bawah bantal. Sebelum tidur, kamu menggenggamnya erat. Kemudian berandai-andai bagaimana kalau dia mendekat, menjulurkan tangan, lalu berkata: “Apa kabar?”. Kamu pasti akan menjabat tangannya ekstra lama dan menjawab dengan kesadaran yang tersisa karena beludak gembira nyaris bikin gila. Dia akan menyebut namanya, kamu akan menyebut namamu, kalian resmi berkenalan. Setelah itu kalian akan mengobrol topik menarik sehingga Tuhan harus mencatatnya sebagai percakapan paling asyik, saking asyiknya sampai lupa waktu.
Lalu muncul keinginan mengikat yang lebih erat; menggiring kalian masuk mobilnya atau mobilmu, mengemudi ke rumahnya atau rumahmu. Mulai saat itu baik dia atau dirimu saling berbagi hal remeh-temeh: sikat dan pasta gigi yang sama, makan dari piring yang sama, selimut yang dipakai berdua, dan tagihan makan malam yang dibagi dua. Kamu merangkum itu semua dalam paket pengantar tidur selain hipnotikum.
Sepotong “apa kabar?” akan membuktikan bahwa sebenarnya kalian ditakdirkan untuk bertemu dan menyatu, kamu yakin itu seyakin satu tambah satu sama dengan dua. Kalian belum begitu hanya karena satu alasan yang tidak perlu pertanyakan lagi: pacarnya. Kamu lelaki terhormat yang menjunjung tinggi kejujuran─meski harus berlama-lama menanti supaya dia sendiri─bahwa kamu mencintainya setengah mati, mungkin sampai mati.
*
Sekarang kamu duduk di kursi yang dulu didiami, pesan menu yang dulu dipesan pertama kali. Dan matamu selalu tahu siapa yang dicari.
Segelas koktail terhidang di atas meja. Sebentuk dia terhidang jauh di sana. Dan kamu tak menandaskan keduanya sama bersih. Ada kalanya keindahan dibiarkan tak tersentuh, hanya dinikmati dengan menatapnya sampai puas.
Kamu menatapnya, menikmatinya, tapi kamu tak pernah puas.
Bartender itu mengisi gelasmu yang kosong. “Kamu seharusnya datang minggu lalu, ada peresmian besar, semua gelas bebas diisi ulang,” katanya jenaka. “Wanita cantik di sana baru saja dilamar pacarnya, padahal enam minggu lalu pacarnya ketangkap basah bermesraan dengan yang lain, pelanggan tetap di sini juga. Tapi wanita itu tetap mau.”
Gelas itu terisi, giliran hatimu yang kosong.
Kini, akan kah segalanya lebih baik bila kamu yang melempar “apa kabar” duluan?
*
Sekali lagi prosesi ritual Menjemput Malam. Namun kali ini kamu membuatnya tidak mudah. Seminggu ini kamu seperti orang limbung atau orang tersesat atau tulalit. Semua orang yang kamu akrabi mendadak jadi orang asing, semua yang membangkitkan gairah mendadak tidak beroleh pesonanya. Sejak mengetahui wanita itu resmi telah dilamar, kamu kembali menakar sejauh mana perasaan itu bisa bertahan, membongkar segala probabilitas dan tidak kamu temukan apa-apa…
… selain kekosongan.
Segelas koktail dan dia, tapi kamu ingin dia.
Kamu tidak lagi mencuri pandang, kamu ingin mencuri dia.
Itu saja.
Cukup.
*
Sore itu dia tampil sangat cantik, terlihat tanpa gelembung pertahanan seperti biasa dan siap bersosialisasi untuk perdana. Dia yang sadar akan kamu merasa risih ditontoni, tapi kamu takpeduli. Kamu mau dia tahu kamu di sebelah sini, sekali saja, sebelum kamu pulang dan melupakan dirinya.
Dalam gerakan tidak disangka-sangka dia berdiri, menyambar tas, lalu… mendekat. Hatimu seperti ingin mati pengap. Tanpa antisipasi, ada ketegangan yang takbisa dijelaskan saat menghadapi dunia dengan sesuatu yang tidak diharapkan. Begitu terbiasa kamu memperhatikannya dari kejauhan sehingga saat dia mendekat, napasmu seakan dibekap. Sigap kamu menyambar gelas, menenggak isinya tuntas. Ada yang harus dicairkan dalam tubuhmu, begitu kamu menyimpulkan.
Langkahnya berhenti di sampingmu, matamu terhenti di matanya, perasaanmu padanya akan berhenti sebentar lagi. Mendadak kamu ingin berdoa agar bumi berhenti berotasi supaya kamu bisa menatapnya agak lama.
“Kamu apa kabar?” tanyanya lirih.
Wanita itu menyadari ketidakhadiranmu selama ini. Bukan kah empat bulan kamu pergi? Tubuhmu bergetar. Jantungmu berdebar. Sejenak kamu gentar. Tidak kah dunia ini mengerti, perkenalan ini adalah awal dari akhir bagimu? Dan kalian telah saling kenal meski takpernah terjadi perkenalan formal. Sungguh, waktu telah membelit kalian dalam ikatan mahahalus, sekarang rasakanlah sebelum dia terlepas saat kamu baru saja terbangun.
“Saya baik-baik saja,” jawabmu lirih.
Dia lanjutkan langkahnya menuju seorang lelaki yang entah sudah berapa lama berdiri di ambang pintu, menyambutnya dengan peluk cium mesra kemudian keluar entah ke mana.
Sudah.
Bukan sebuah percakapan hangat yang akan menjadi yang paling asyik sepanjang sejarah, tapi demi momen sepotong “apa kabar” itulah kamu rela menunggu seumur hidup. Mendedikasikan waktumu duduk di kursi yang sama, jam yang sama, dan cemas yang sama.
Setelah dia pergi, kamu masih melekatkan matamu pada punggung itu sambil menahan tangis. Inilah waktunya, sebuah perpisahan atas perasaan yang bertahan terlalu lama. Penantian telah melatihmu sedemikian rupa untuk kuat berjalan sendiri tanpa ada yang mengiringi, ketabahan menempamu agar melepas tanpa ragu dan dengki.
Semua usai, penantianmu selesai. Kamu pulang lebih awal, dan setelah malam itu ritual Menjemput Malam taklagi kamu lakukan, dan tidak seremah pun kamu dirundung penyesalan.
Tapi kamu masih menyimpannya, sebungkus kenangan. Tepat saat dia menguncupkan “apa kabar” dari bibirnya yang manis kamu merekam rentang detik yang merenggang, memadatkan suaranya menjadi kristal bening yang bergema agar tidak memuai meniti udara, lalu dengan tangkas membungkusnya ke dalam kantong bernama Masa Lalu.
Saat kamu sendirian berjalan di kegelapan, sesekali kantong itu dibuka. Dan kamu masih bisa mendengar suaranya seperti saat kali pertama. Sepotong “apa kabar”.
“Aku baik-baik saja,” katamu pada diri sendiri.
Kamu lupa bertanya namanya.
Batujajar-Jatinangor,
29 Februari 2016, 05.22 AM.