Oleh Trisha Adelia, Sastra Inggris Unpad 2016.
“Aku cinta padamu ketika kamu bersujud di Masjid, berlutut di Candi, berdoa di Gereja. Untuk kau dan aku adalah keturunan satu agama, dan itu adalah Jiwa.” (Kahlil Gibran)
Akhir-akhir ini, dan sebenarnya sudah sejak lama, seringkali telinga dan mata kita mendengar dan melihat diksi “kafir” dalam kegiatan takfiri (kafir-mengkafirkan), yang banyak netizen plesetkan menjadi “tapir”. Sebenarnya apakah kafir itu? Menurut KBBI, arti kata kafir secara harfiah adalah orang yang tidak percaya pada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sebenarnya bukanlah label yang dapat merendahkan status seseorang. Sama saja ketika seorang muslim dikatakan “domba yang tersesat” oleh umat Nasrani. Seorang muslim tidak lantas harus marah karena dikatakan domba, sebab, begitulah adanya istilah dalam agama tersebut. Namun, baik kata “kafir” ataupun frasa “domba yang tersesat” ini telah mengalami peyorasi, sehingga apabila seseorang menggunakan kata “kafir”, maka telinga kita akan panas dan banyak orang yang akan terpelatuk!
Sejarah Takfiri
Takfiri telah ada pada pertempuran rohani (zielsconflicten) yang terjadi jauh sebelum kita mengenal panasnya kafir-mengkafirkan antara kubu yang gencar memasang foto profilnya dengan banner angka dua dengan kubu yang memasang foto profilnya dengan banner angka tiga atau satu—jika Anda paham maksud saya—yaitu pada abad hijriah yang pertama, jauh sebelum orang Islam berkenalan dengan filsafat Yunani.
Hal ini bermula ketika seorang ahli akal yang bernama Washil ibn Atha’ memisahkan dirinya dari gurunya yang mahsyur, yaitu Hasan Al Bashri, pada suatu kesempatan ketika Hasan Al-Bashri dimintai fatwa tentang bagaimana posisi seorang pendosa kelak di akhirat jika disertai dengan iman. Ketika Hasan Al-Bashri baru saja hendak membuka mulutnya, Washil ibn Atha’ angkat bicara dengan mengatakan, “aku berpendapat bahwa seorang yang berdosa besar itu, bukan seorang mukmin yang mutlak, dan tidak pula seorang kafir yang mutlak, akan tetapi ia itu berada pada posisi di antara dua posisi: bukan mukmin dan bukan kafir.” Kemudian Washil berdiri dan memisahkan dirinya dari majelis Hasan Al-Bashri. Berkatalah Imam Hasan Al-Bashri, “telah berpisahlah Washil dari kita!”
Seusai kejadian itu, lekatlah nama Mu’tazilah bagi mereka yang mengikuti pemikiran Washil ibn Atha’. Beberapa pokok permasalahan yang dibincangkan oleh kaum Mu’tazilah di antaranya: sifat-sifat Tuhan dan apakah Alquran itu makhluk. Untuk poin kedua, permasalahan tentang apakah Alquran itu makhluk, telah menyulut pertarungan yang begitu sengit hingga menumpahkan darah antara kaum Mu’tazilah dengan kaum ahlisunnah. Mereka yang tidak mempercayai bahwa Alquran itu adalah makhluk yang, tidak luput dari salah dan dosa, oleh Khalifah Makmun akan dipenjara dan disiksa.
Begitu sengitnya silang pendapat yang terjadi antara kaum Mutazilah dengan Ahlisunnah tentu akan membuat kita berpikir, apa yang mereka lakukan, segala tetek bengek yang sebenarnya terlihat begitu sepele, mengapalah harus diurusi sedemikian rupa sampai-sampai harus menumpahkan darah? Di satu sisi beberapa kaum Mu’tazilah memaksakan firkah-nya pada Ahlisunnah menggunakan metode tangan besi dan di sisi lain beberapa dari kaum ahlisunnah secara total mengkafirkan kaum Mu’tazilah. Mungkin juga pembaca akan berpikir, kalau beragama dapat membuat kerusakan seperti ini, lantas untuk apa seseorang beragama? Tentunya hal ini harus kita cermati dengan hati yang bersih dan tenang. Bahwa apa yang telah dilakukan baik itu dari kaum Mu’tazilah maupun Ahlisunnah adalah sama-sama mengupayakan untuk membersihkan jiwa mereka, ingin mendekati Sang Khalik dalam perjuangan di lapangan rohaninya, dan mereka tak luput dari khilaf dan dosa.
Akal dibalas akal
Setelah Washil ibn Atha’ memisahkan dirinya dari sang guru, Hasan Al Bashri, dengan menciptakan pemikiran Mu’tazilahnya, pemikiran inipun mendapatkan reaksi yang serupa: berpisahnya seorang murid dengan gurunya. Ialah Al-Jubbai, seorang guru bermazhab Al-Jubbaijah, pecahan dari Mu’tazilah, yang memiliki seorang murid yang tajam pemikirannya bernama Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asj’ari. Di Bashra inilah, Al-Asj’ari membungkam gurunya dengan senjata kaum Mu’tazilah: akal!
Diriwayatkan oleh Abu Muhammad Al-Hasan bin Musa Al-Askari: “Al-Asj’ari menjadi murid Al-Jubbai sampai ia berumur 40 tahun. Ia seorang yang pintar dan mahir dalam perdebatan dan pertukaran hujah, lebih mahir daripada menulis karangan. Sebaliknya, Al Jubbai seorang penulis yang lancar. Pada satu kesempatan soal jawab antara murid dan guru sendiri terjadi. Al-Asj’ari dan gurunya bertemu di tempat Munazarah umum. Diajukannya satu masalah kepada Al-Jubbai:—“Ditakdirkan ada tiga orang bersaudara, yang seorang beriman, taat dan bertakwa: yang seorang lagi fasik, berdosa besar dan yang ketiga masih anak kecil yang meninggal dunia sebelum ia baligh. Bagaimanakah nasibnya ketiga orang bersaudara di akhirat?”
Al-Jubbai menjawab, “yang pertama akan dimasukkan ke surga; yang kedua akan dihukum dalam neraka, dan yang ketiga tidak diberi ganjaran dan tidak diberi hukuman.”
—“Akan tetapi kalau anak ketiga berkata: “Tuhanku, jika sekiranya engkau biarkan aku hidup, sudah tentu aku akan beriman dan bertakwa pula sebagaimana saudaraku yang tertua, dan dapatlah pula aku masuk surga sebagaimana saudaraku itu. Bagaimanakah?”
—“Niscaya Tuhan akan berkata: Aku tahu bahwa jika sekiranya engkau ini diberi hidup lebih lanjut tentu engkau jadi orang fasik dan berdosa besar, dan niscaya engkau akan masuk neraka pula. Oleh karena itu adalah suatu rahmat bagi engkau, dengan keadaan engkau mati sebelum engkau fasik dan berdosa besar itu.”
—“Baik, sekarang bagaimanakah kalau anak yang kedua, yang mati dalam keadaan fasik itu berkata kepada Tuhan: “Tuhanku, kenapakah tidak engkau matikan pula aku ini di waktu aku masih kanak-kanak kecil, agar aku terhindar pula dari pada azab neraka sebagaimana adikku itu?”
Al-Jubbai pun terdiam dan tak sanggup menjawab lagi. Setelah itu, Al-Asj’ari pun meninggalkan majelis tersebut dengan rasa menang! Hal ini menunjukkan bahwa aliran yang dibawa Al-Asj’ari menentang sistem yang dibawa oleh kaum Mu’tazilah yang semata-mata mengagungkan akal semata dalam mengupas rahasia ilahi. Sebagaimana amanat Rasulullah, untuk mengenal Tuhan, kita tidak dapat memikirkan perihal Zat-Nya: “Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah, jangan tentang Zat-Nya.” (Al-Hadits).
Menurut hemat saya, dalam beragama sendiri, Islam tidak menyuruh penganutnya untuk menumpulkan akalnya, sebagaimana yang dikemukakan Agus Purwanto dalam bukunya Ayat-Ayat Semesta (2015), Alquran sendiri tidak kurang dari 43 kali menggunakan kata “akal” digunakan dalam bentuk verba seperti, afala ta’qilun, apakah kau tak berpikir? Dan sepuluh ayat lainnya menggunakan verba “pikir” seperti la’allakumtafakkarun, “agar engkau memikirkannya.” Namun, perlu diingat bahwa akal manusia itu terbatas. Mochamad Natsir dalam tulisan-tuisannya yang dibukukan pada Islam dan Akal Merdeka (2015) menceritakan tentang Abul-Hudzail yang menyelidiki filsafat Yunani yang menerangkan tentang bumi ini tidak akan lenyap dari ada kepada tidak ada. Abu-Hudzail tidak sanggup menerima akan adanya pergerakan bumi (alam) yang tidak berawal dan tidak berakhir. “Seluas-luas pemandangan, setajam otak, dan sedalam penyelidikan akan manusia, akhir-akhirnya tak dapat dilampaui lagi, di mana si manusia, mau tak mau terpaksa mengakui dengan cara dan bahasanya masing-masing: ‘Wallahu a’lam!’” tulis Mochamad Natsir dalam menanggapi hal ini. Dan dari sini, kita dapat menarik kesimpulan: untuk menerima eksistensi Tuhan, akal dan hati mestilah kita optimalkan secara beriringan. Sudjiwo Tejo pun pernah berkata bahwa untuk mencapai Tuhan, kita harus menginjak-injak kesombongan rasio kita!
Lantas, berkaca pada pergolakan adu pemikiran umat beragama kita pada masa ini yang, masih mudah sekali tersulut emosi, patutlah kita berkaca kepada para pendahulu kita, bahwa riwayat mengatakan, perbedaan pemikiran adalah hal yang sangat wajar dan tidak dapat dan tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan kekuasan atau metode tangan besi. Dalam hal ini, seorang dai sekaligus negarawan kita, Mochamad Natsir telah dengan cerdas-nya menyikapi perbedaan pendapat dalam beragama. Ini telah ia buktikan dalam mengkritik pembaruan pemikiran Islam yang digulirkan Soekarno—melalui tulisannya “Islam Sontoloyo”. Mochamad Natsir sama sekali tidak menggunakan diksi “kafir” dan sebagainya, tetapi dengan sangat bermartabat ia “menjewer” Soekarno agar tidak kebablasan dalam melakukan “pembaharuan” yang keluar dalam kerangka syariat Islam itu sendiri.
Perbedaan adalah rahmat
Indonesia dengan segala perbedaan suku, agama, ras, dan Bahasa adalah suatu kekayaan dan kemewahan yang tak banyak bangsa lain miliki. Patutlah kita syukuri karena hal tersebut akan menghasilkan banyak tanggal merah di kalender kita! Coba bayangkan bagaimana sepinya kalender kita, tanpa banya warna merah karena perayaan bermacam-macam agama di negara kita! Pasti kita akan tambah susah piknik, tambah stres, dan jadi tapir benaran!