Jatinangor ̶ Dalam rangka memperingati Hari Buku Nasional yang jatuh pada tanggal 17 Mei, komunitas Rumah Konflik mengadakan serangkaian acara bertemakan “Bagimu Bukumu, Bagiku Bukuku”. Acara ini diadakan selama 3 hari mulai dari hari Senin (15/5) hingga hari Rabu lalu (17/5).
Di hari pertama, diadakan perputakaan jalanan yang diselenggarakan di Brooklyn Unpad, dimulai dari jam 4 hingga jam 6 sore. Rumah Konflik membuktikan bahwa perpustakaan itu tidak selalu sebuah ruangan sunyi nan kaku, namun juga bisa ditempatkan di mana saja.
Hari kedua (16/5), diadakan pemutaran film “Genius” di Aula PSBJ FIB Unpad. Film ini menceritakan kisah nyata seorang editor bernama Max Perkins dan seorang penulis Thomas Wolfe yang telah menuliskan buku “Of Time The River”. Film ini melihatkan bagaimana perjuangan panjang seorang penulis dan editor sebelum akhirnya buku tersebut siap dan layak cetak. “(Tujuannya adalah) agar kita bisa saling memahami proses kreatif penulisan sebuah buku (novel). Dengan mengetahui proses kreatifnya, kita jadi bisa lebih menghargai sebuah buku, bahwa sebuah buku yang baik butuh proses panjang, dari penulisan, penyuntingan, penyeleksian, hingga terbit dan hadir di tangan pembaca.” Papar Trisha Adelia selaku ketua pelaksana acara tersebut.
Hari ketiga, yang merupakan acara puncak, diadakan diskusi literasi bersama pemateri Bapak Fadly Rahman M. Hum. di Aula PSBJ FIB Unpad. Masih dengan tema yang sama “Bagimu Bukumu, Bagiku Bukuku”, Bapak Fadly menyampaikan keprihatinannya tentang rendahnya melek literasi masyarakat Indonesia saat ini. Perlu diketahui bahwa studi yang dilakukan oleh John W. Miller, seorang presiden Central Connecticut State University, tentang budaya membaca di 61 negara, Indonesia berada di peringkat ke-2 dari bawah yang menandakan bahwa budaya membaca di Indonesia sangat rendah. Hal itu karena kurangnya penanaman minat baca masyarakat Indonesia sejak kecil. Sekolah yang seharusnya menjadi perantara penting untuk meningkatkan minat baca seseorang setelah keluarga, terkadang justru tidak memanfaatkannya dengan baik. Komunitas-komunitas yang bergerak dalam bidang literasi menjadi salah satu penawarnya.
Membaca tidak seharusnya hanya melihat teks secara sekilas saja, melainkan mampu untuk mencari makna dibalik teks tersebut. Bapak Fadly juga sedikit menyinggung tentang permasalahan di Indonesia saat ini dimana masyarakat dapat dengan mudah terpengaruh dengan tulisan-tulisan yang mengatasnamakan agama, ras, dan kelompok tertentu. Banyak munculnya berita-berita hoax di media sosial juga menjadi salah satu masalah serius di negeri ini. Penyebab terbesarnya adalah kurangnya kepedulian dalam menyelesaikan dan menelaah suatu teks sebelum menyebarkannya. Kita seharusnya dapat memilah dan memilih bacaan yang akan kita baca dan sebisa mungkin mendiskusikannya dengan orang lain. Karena tak jarang, buku-buku hanya berisi bohong belaka. Buku-buku tersebut dapat meracuni pemikiran-pemikiran kita dan menggiring kita kepada kebodohan.
Diskusi terus berlanjut seiring dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan dari peserta. Kami pun sampai kepada pembahasan tentang esensi membaca buku-buku digital dan media cetak. Bapak Fadly berpendapat bahwa esensi membaca dari buku-buku media cetak lebih terasa karena lebih sedikit distraksi yang muncul, kita pun dapat dengan mudah meninggalkan catatan-catatan kecil pada ruang yang kosong. Membaca di media digital tentu merupakan hal yang sah-sah saja. Namun dengan membaca melalui media digital, akan banyak sekali gangguan-gangguan yang muncul dan membaca di media digital yang ia anggap bukan sebagai aktivitas menyelesaikan teks namun hanya sebagai selingan dan hiburan saja.
Saran beliau untuk menghindari distraksi-distraksi internet saat tengah membaca atau menulis ialah dengan melakukan “Internet Diet” dimana dalam kurun waktu yang ditentukan tidak boleh ada jaringan internet sama sekali, dengan begitu kita dapat dengan tenang melakukan aktivitas membaca dan menulis.
Acara diskusi pun ditutup dengan penyampaian salah satu peserta bahwa janganlah takut dan malu untuk membaca apabila nanti dianggap sok pintar, karna membaca adalah proses menuju kepintaran itu.
”Tujuan dari acara ini adalah kita sederhananya ingin membangkitkan gairah membaca buku di kalangan mahasiswa, khususnya di Unpad, mengingat Indonesia masih berada di peringkat (kedua) terbawah negara dengan minat baca tertinggi. Kita berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei”, jelas Trisha. ”Pesan saya, kalau mau jadi manusia yang beneran manusia, banyak-banyaklah baca buku dan pakai internet seperlunya saja”, tutupnya. (FDA)