Pers Melayu Tionghoa adalah sebutan yang ditujukan kepada pers berbahasa Melayu yang dikelola oleh kaum Tionghoa. Pers Melayu Tionghoa mulai berkembang sejak akhir abad XIX dan awal abad XX sebagai bentukan situasi politik, permasalahan ras, dan tujuan perdagangan. Meskipun pada awalnya pers ini lahir untuk membela kepentingan kaum Tionghoa sendiri, kita tidak bisa menampik bahwa pers Melayu Tionghoa ikut memberikan sumbangan pada masa pergerakan di Indonesia dengan menerbitkan artikel-artikel yang mendukung pergerakan nasional. Namun sebelum semua itu terjadi, ada baiknya kita menengok kembali awal perjalanan kaum Tionghoa di Indonesia dan bagaimana pers mereka terbentuk di tengah krisis identitas yang terjadi.
Keberadaan kaum Tionghoa di Indonesia telah dimulai sejak abad XI. Ketika itu banyak warga Tiongkok menyebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Beberapa menyebar dengan alasan mencari penghidupan, sisanya yang mayoritas perantau susulan, mempunyai alasan politis. Di Indonesia, perjalanan mereka tidak lantas mengalami kemudahan. Status warga Tionghoa kerap menjadi polemik, baik dari luar maupun dari dalam tubuh kelompok. Hal ini disebabkan keturunan Tionghoa, baik totok maupun peranakan, sudah tidak lagi mengklaim budaya Tiongkok yang dibawa oleh nenek moyangnya saat merantau ke Indonesia sebagai bagian dari budaya mereka. Mereka bahkan sudah tidak menggunakan atau tidak lagi fasih bahasa Tiongkok. Di sisi lain, ciri-ciri biologis dan adat Tionghoa yang berbeda dengan pribumi dan Belanda, sulit menerima pengakuan dari pemerintah kolonial sebagai bagian dari mereka maupun pribumi.
Masalah status Tionghoa menjadi semakin pelik setelah pemerintah kolonial Belanda membentuk kebijakan-kebijakan yang secara langsung mendiskriminasi hak-hak Tionghoa pada tahun 1821 dan 1848. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti pengelompokan terpusat, pembatasan hak milik, dan hak pendidikan yang kurang diperhatikan, mengurangi kebebasan ruang gerak Tionghoa. Hak hukum mereka bahkan disamakan dengan golongan empat, yaitu golongan yang kedudukannya disamakan dengan pribumi. Orang Tionghoa merasa bahwa perlakuan kolonial yang merendahkan derajatnya tidak sepantasnya diterima kaum Tionghoa. Ini disebabkan baik Belanda dan Tionghoa memiliki status dan kepentingan yang sama di Hindia Belanda yaitu perantau yang ingin berdagang, meskipun pada akhirnya kepentingan Belanda lebih cenderung pada penjajahan.
Selanjutnya, diskriminasi yang diterima kaum Tionghoa dengan mudah menyatukan rasa solidaritas antaranggotanya. Kesamaan nasib dan perlakuan yang menurut mereka kurang layak melahirkan upaya-upaya pembalikan keadaan sehingga muncul gagasan-gagasan mengenai ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial. Untuk menyampaikan isi pikiran yang dihasilkan, kaum Tionghoa membutuhkan konduktor. Digagas oleh golongan intelek Tionghoa yang sebelumnya bekerja di surat kabar yang dipimpin Indo-Eropa, lahirlah surat kabar yang isinya membela kepentingan Tionghoa di Indonesia.
Jauh sebelum pers Tionghoa berdikari, telah banyak redaktur surat kabar yang berasal dari kaum Tionghoa. Mereka bekerja pada surat kabar berbahasa Melayu seperti Bintang Pagi (1907) dan Sinar Djawa (1899) yang masing-masing diredakturi oleh The Mo Hoat dan Sie Hiang Liang. Di Bogor terbit mingguan Ho Po dan Tiong Hoa Wie Sin Ho yang masing-masing dipimpin Tan Tjien Kie dan Tan Soei Bing. Di luar Jawa, Sumatera contohnya, terbit Sinar Soematra yang diredakturi Lim Soen Hin.
Selain redaktur-redaktur tadi, setidaknya ada lima redaktur Tionghoa lain yang duduk di kursi redaksi surat kabar Melayu dalam kurun 1861-1907 seperti diuraikan Douwes Dekker berikut:
Kota | Jumlah | Redaktur | |
Surabaya | 2 | Belanda | 2 |
Jakarta | 8 | Belanda | 4 |
Tionghoa | 1 | ||
Indonesia | 3 | ||
Semarang | 5 | Belanda | 1 |
Tionghoa | 3 | ||
Indonesia | 1 | ||
Surakarta | 3 | Tionghoa | 2 |
Indonesia | 1 | ||
Bogor | 3 | Tionghoa | 2 |
Indonesia | 1 | ||
Bandung | 2 | Indonesia | 2 |
Malang | 1 | Indonesia | 1 |
Padang | 5 | Tionghoa | 1 |
Indonesia | 4 | ||
Sibolga | 1 | Tionghoa | 1 |
Banjarmasin | 1 | Belanda | 1 |
Makasar | 1 | Tidak jelas | 1 |
Manado | 1 | Indonesia | 1 |
Surat kabar berbahasa Melayu di 12 kota di Indonesia ada 33 | Belanda | 8 | |
Tionghoa | 10 | ||
Indonesia | 14 | ||
Tidak jelas | 1 |
Perkembangan pers Tionghoa baru benar-benar diakui setelah berdirinya surat kabar yang sepenuhnya lepas dari Indo-Eropa sekitar tahun 1881. Perkembangan ini bisa dilihat dari surat kabar yang bermunculan secara sporadis pada awal abad XX. Tercatat surat kabar seperti Li Po (1901), Pewarta Soerabaja (1902), Perniagaan (1903), dan Sin Po (1910) pernah menerbitkan surat kabarnya. Li Po merupakan surat kabar Tionghoa periode awal yang isinya kerap mencerminkan nasionalisme Tionghoa berorientasi Tiongkok yang saat itu berkembang. Berbeda dengan Li Po, Perniagaan awalnya dikomersialkan untuk iklan dagang para pengusaha Tionghoa bermodal rendah bernama Chabar Perniagaan yang didirikan oleh Gow Peng Liang dan F.D.J. Pangemanan. Perniagaan mewakili golongan kolot Tionghoa yang tidak acuh pada perubahan yang terjadi di Tiongkok. Mengingat pada awal abad XX orientasi pada Tiongkok sangat kuat, tahun 1910 surat kabar Sin Po yang diprakarsai golongan muda terbit sebagai tandingan Perniagaan. Sin Po memuat kabar internasional dan hikayat lama Tiongkok seperti Hikayat Tiga Keradjaan.
Sejak diterbitkan, Sin Po telah menyerap atensi para pembaca. Ini dibuktikan oleh jadwal terbit surat kabar ini yang awalnya mingguan menjadi harian. Sukses Sin Po di bidang komersial ternyata dipandang sebagai ancaman oleh Perniagaan, kompetisi ini semakin buruk saat ideologi dua surat kabar diketahui berbeda. Perniagaan yang disokong oleh golongan kolot Tionghoa dianggap tidak mendukung segala macam bentuk pergerakan bangsa Indonesia sehingga dicap pro-Belanda. Sedangkan rivalnya, Sin Po, secara halus menyampaikan keberpihakannya melalui isi surat kabarnya.
Mengenai sumbangan pers Melayu Tionghoa di masa pergerakan nasional, isi surat kabar Sin Po secara tidak langsung memiliki kecenderungan mengangkat penderitaan pribumi. Sin Po juga kerap meloloskan tulisan-tulisan yang sifatnya membela kepentingan pribumi. Asumsi ini dapat kita temui dalam artikel “Mentjuri Ajam Sebab Lapar, Dihukum Djuga 9 Bulan” pada Sin Po yang terbit tanggal 27 Maret 1933, yang dikutip seluruhnya oleh Ir. Soekarno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi.
Di balik kritiknya pada kesewenang-wenangan pemerintah kolonial, Sin Po, lewat salah seorang yang pernah menjabat sebagai redaktur, mempunyai pemikiran progresif tentang kedudukan Tionghoa di Indonesia dan bagaimana cara melindungi kepentingan kaumnya. Adalah Kwee Kek Beng, redaktur Sin Po, yang sadar bahwa untuk melindungi kepentingan Tionghoa, ia harus memihak antara Belanda atau Indonesia. Di dalam tulisan yang dimuat Sin Po berjudul “Kedoedoekan Orang Tionghoa” (1926), Kwee Kek Beng dengan terang mengumumkan dukungannya pada rakyat Indonesia.
“… orang Tionghoa tidak bisa netral seperti bangsa lain karena jumlah Tionghoa besar dan mereka akan ‘tinggal tetap di sini.’ Bumiputera akan merdeka dan sebelum ia tercapai orang Tionghoa harus menunjang pergerakan tersebut. Di samping itu ‘Indonesier’ dan Tionghoa sama-sama bangsa Asia dan nasionalis Tionghoa wajib membantu pergerakan yang mulia itu.”
Meski gagasan propergerakan Indonesia nyaring disiarkan Kwee lewat Sin Po, namun ia bukan satu-satunya tokoh Tionghoa yang menyuarakan gagasan untuk ikut turut dalam perpolitikan Hindia Belanda lewat disiplin pekerjaan yang ditekuni. Beberapa tahun sebelum Kwee menulis “Kedoedoekan Orang Tionghoa,” gagasan serupa pernah diumumkan oleh sastrawan peranakan Tionghoa bernama Kwee Tek Hoaij melalui naskah drama Allah jang Palsoe (1912).
“Laen dari itu Tjoan Siat banyak kalih membilang itu haluan yang kita ambil aken bikin orang Tionghoa jadi satu pada Tiongkok, ada kliru, kerena cumah bagus dalem theorie, tapi praktijknya tida bisa dipakai. Biar bagimana pun bangsa kita ada mempunyai kapentingan yang tida bisa dipisah lagi dengen ini Hindia, hingga lantaran begitu kita musti turut campur dan ambil bagian dalem segala urusan politik di ini negri.”
Pada kutipan drama milik Kwee Tek Hoaij di atas, kita dapat mengetahui bahwa etnis Tionghoa saat itu mau tidak mau harus ikut berpartisipasi dalam sistem politik. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan Tionghoa di tanah jajahan Belanda. Di masa pergerakan, gagasan ini diperuncing: bukan hanya ikut berpartisipasi dalam sistem politik tanah jajahan, namun juga turut membantu pergerakan nasional Indonesia. Dengan begitu, ketika Indonesia merdeka kepentingan-kepentingan etnis Tionghoa tetap bisa terlindungi. (RS)