Oleh: Nigina Auliarachmah
Hari sudah menjelang sore ketika lelaki itu sampai di depan gapura sebuah kampung. Mobil elf yang dia tumpangi beberapa detik lalu telah melaju kembali dengan cepat. Dengan perasaan yang campur aduk, dia mulai melangkahkan kakinya memasuki kampung yang tak asing itu. hamparan kebun singkong yang dulu memagari sisi kanan dan kiri jalan kini mulai berganti rumah dan bangunan lain, jalanan berbatu pun sudah licin beraspal.
Dering telepon dini hari tadi membangunkan dia dan istrinya dari lelap. Ibunya, satu-satunya orang yang membuatnya masih terikat dengan kampung ini mengabari bahwa bapaknya meninggal. Setelah berdiskusi dengan istrinya, akhirnya dia memutuskan pulang kampung seorang diri, mengingat keuangan yang tidak akan memadai bila mengajak istri serta kedua anaknya kemari. Sepuluh jam perjalanan dengan bus antarkota ditambah tiga jam naik mobil elf sudah cukup menghabiskan uang dan tenaganya.
Kalau bukan karena ibunya yang menyuruhnya pulang, mungkin lelaki ini tidak akan mengorbankan waktunya untuk pulang kampung, dia bisa berjualan pakaian di pasar tumpah seperti biasa. Toh dia tidak terlalu dekat dengan bapaknya, atau bahkan mungkin tidak pernah dekat sama sekali. Di matanya, bapaknya hanya lelaki asing yang tinggal satu rumah sejak dia kelas tiga SMP. Sesering apa pun ibunya mengatakan bahwa lelaki itu adalah bapak kandungnya.
Seperempat jam sejak dia turun dari bus, akhirnya dia sampai di depan sebuah rumah sederhana dengan cat yang sudah banyak terkelupas dari dindingnya. Di depan pintu terpasang bendera kuning kecil, dan banyak orang di dalam maupun di pelataran rumah tersebut. Lelaki itu memutuskan untuk mempercepat langkahnya memasuki pelataran rumah. Semua pandangan langsung tertuju kepadanya ketika dia mulai menampakkan diri di depan pintu. Seketika jalan untuknya melangkah terbuka. Dia melangkah perlahan sambil menyalami beberapa tetangga yang ada di sana.
Tepat di tengah ruangan, jenazah lelaki tua yang kurus kering terbujur kaku. Di hadapan jenazah itu, adalah wanita yang tidak asing. Lelaki yang baru datang segera duduk di samping wanita tua itu, menyalaminya.
“Alam, Bapakmu sakit keras sejak lama, dan kemarin dia terus memanggil-manggil namamu,” gumam wanita tua itu, lirih.
“Bu, maafkan aku baru bisa datang sekarang,” ujar pemuda itu. Ibunya tidak banyak bicara lagi, tatapannya tak lepas dari mendiang suaminya.
Alam, lelaki itu menatap jenazah bapaknya. Begitu renta dan kurus. Dia langsung teringat ketika pertama kali melihat bapaknya. Saat itu dia hendak berangkat sekolah, ketika mendapati seorang lelaki paruh baya berdiri di depan rumahnya. Dengan wajah curiga, Alam remaja kembali ke dalam rumah memanggil ibunya. Di luar dugaan, ibunya langsung terjatuh bersimpuh ketika melihat lelaki itu, begitu pula lelaki di depan rumahnya, dia langsung berlari memeluk ibunya. Alam menatap adegan penuh drama itu dengan bingung.
“Mas Warto!” gumam ibunya di tengah tangis.
Beberapa menit sampai akhirnya kedua orang itu bangkit dan menghapus tangisan masing-masing. Alam masih berdiri menatap mereka bingung.
“Syukur alhamdulillah akhirnya Mas Warto kembali! Alam, ini Bapakmu!” Ujar Ibu Alam. Alam menatap dua orang di depannya tak percaya. Lelaki itu menatap Alam lekat-lekat, kemudian memeluknya erat sekali. Alam masih terpaku, tidak percaya. Sesungguhnya di dalam hati dan kepalanya sudah tertanam dengan kuat kepercayaan bahwa bapaknya sudah meninggal lama sekali.
Hari itu Alam berangkat sekolah sedikit lebih siang dari biasanya, perasaannya kalut. Dia merasa setelah ini hidupnya tidak akan sama lagi. Hidup sudah sangat susah baginya dan ibunya selama ini, dan kedatangan lelaki itu justru membuat Alam takut menghadapi hari-hari selanjutnya.
Sejak kecil Alam memang hanya tinggal bersama ibunya. Setiap kali dia menanyakan ke mana bapaknya, ibu Alam hanya akan mengatakan kalau bapaknya ditangkap orang-orang jahat. Karena itu Alam menganggap bapaknya adalah seorang pahlawan yang tengah bertarung dengan orang jahat. Namun sosok pahlawan itu perlahan menghilang dari pikiran Alam seiring dengan bertambah dewasanya dia. Ketika masuk sekolah dasar, tidak ada satu anak pun yang ingin menjadi temannya—lebih tepatnya tidak ada orang tua yang mengizinkan anaknya berteman dengan Alam. Begitupun guru-gurunya yang terkadang membedakan perlakuan antara Alam dengan anak-anak lainnya. Pernah suatu hari guru agamanya dengan terang-terangan menyebutnya “anak tapol” atau “anak PKI” dan semacamnya, sama seperti sebutan para orang tua teman-temannya yang tidak sengaja didengarnya. Sebutan “anak tapol” pun menempel pada dirinya. Alam yang tidak mengerti arti dari sebutan-sebutan itu menanyakan hal itu kepada sang ibu, namun ibunya hanya menarik Alam kedalam pelukannya.
“Jangan dengarkan kata orang-orang,” bisik ibunya lirih.
Alam juga mulai menyadari bahwa kesusahan yang dirasakannya dan ibunya juga gara-gara embel-embel “keluarga tapol” dan semacamnya itu. orang-orang tidak berhenti mencemooh, baik itu secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka memandang keluarga Alam seperti memandang pendosa yang tidak akan diampuni dosanya.
Perlahan Alam mulai menyadari bahwa bapaknya bukanlah pahlawan. Tapi penjahat yang menjerumuskan dia dan ibunya ke dalam jurang kesengsaraan. Alam sempat meminta untuk tidak meneruskan sekolah setelah menamatkan SD, supaya dia bisa membantu ibunya mencari uang. Namun ibunya dengan tegas memaksanya untuk tetap bersekolah, sesusah apa pun hidup akan menimpanya. Sosok pahlawan yang sebenarnya adalah ibunya. Ibunya akan siap dengan pelukan ketika Alam pulang sekolah sambil menangis karena diejek “anak PKI” oleh teman-temannya, ibunya akan merebuskan singkong bila beras sudah habis dan uang belum cukup terkumpul untuk membeli beras baru, ibunya akan sibuk menjahitkan celana seragam Alam yang robek meskipun penerangan di rumahnya amat terbatas, dan ibunya yang tidak berhenti membuat kue apem untuk dijual ke warung-warung agar hidup mereka terus bersambung. Perlahan kebencian Alam terhadap bapaknya mulai tumbuh.
Kedatangan kembali bapaknya tidak menambah kemudahan, justru sebaliknya. Ibunya harus lebih cermat membagi jatah makan yang terbatas itu. Cemoohan orang-orang justru semakin jelas di telinga Alam. Meskipun sudah kembali, bapak Alam tidak mudah mendapatkan pekerjaan untuk waktu yang cukup lama, gelar bekas tapol membuatnya kesulitan. Menjelang SMA, ibu Alam sudah tidak sanggup lagi membiayai Alam sekolah. Ketika akhirnya bapak Alam mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan di kota kecamatan, Alam memutuskan untuk pergi ke kota untuk mencari peruntungan nasib. Berbekal modal seadanya, Alam pamit kepada ibunya—hanya kepada ibunya.
Kebencian Alam kepada bapaknya terus dibawa sampai dewasa. Tidak pernah sekali pun Alam menanyakan kabar bapaknya. Alam terus bekerja dan rajin mengirimi ibunya uang. Kalau hari lebaran, Alam akan pulang kampung dengan membawa baju baru dan sedikit oleh-oleh untuk ibunya—tidak untuk bapaknya. Ketika zaman semakin maju, Alam membelikan ibunya gawai murah supaya komunikasi semakin mudah, tidak lupa Alam mengajari ibunya cara menelepon. Ibunya hanya tahu cara menelepon dan hanya memiliki nomor kontak Alam karena tidak bisa membaca dan menulis. Alam melakukan segalanya untuk ibunya, namun tidak pernah mengakui keberadaan bapaknya. Bahkan untuk menikah, dia hanya meminta restu kepada ibunya.
Ibunya bukan tidak tahu sikap Alam terhadap bapaknya, namun berapa kali pun ibunya menasihati Alam, tidak pernah mengubah apa pun, Alam tetap Alam dengan segala dendamnya terhadap masa lalu. Hingga akhirnya berita kematian bapak Alam datang dini hari tadi.
“Alam, Bapakmu itu sangat menyayangimu. Kamu harus percaya pada Ibu dan Bapak, bahwa Bapakmu tidak pernah bersalah. Dia hanya korban dari kekejaman masa lalu,” ujar ibu lagi sesaat setelah jenazah bapak dikebumikan. Orang-orang sudah meninggalkan makam, hanya ada Alam dan ibunya.
“Iya, Bu. Aku tahu.”
“Kamu tahu, tapi kamu tidak pernah ingin peduli. Sampai kapan kau membenci bapakmu, Lam?” tanya ibu tiba-tiba. Suaranya datar, namun itu cukup menohok hati Alam.
“Maaf, Bu.”
“Tadi malam, sebelum ajalnya tiba, bapakmu menangis tersedu-sedu. Dia memohon ampun kepada ibu, kepadamu. Dia sangat menyayangimu, Alam,” ujar Ibu. Diusapnya nisan suaminya lembut.
“Hanya satu keinginan dia, tolong izinkan dia masuk ke dalam kehidupanmu. Meskipun sekarang hanya namanya yang dapat kita kenang.”
“Maaf. Bu.”
“Jangan hanya mengucapkan maaf.”
Alam memandang nisan bapaknya, mengusapnya perlahan hingga menyentuh tanah, meremas tanah yang belum memadat itu. sekuntum bunga kamboja jatuh di atas kuburan.
“Alam akan berusaha menerima kepulangan Bapak,” ujar Alam seraya merangkul ibunya erat.