Film “Mencari Hilal” adalah film yang dirilis pada tahun 2015 lalu dengan durasi 94 menit. Film ini mengisahkan seorang pemuka agama yang sekaligus seorang bapak yang berprofesi sebagai seorang pedagang yang melakukan perjalanan untuk mencari hilal bersama anaknya.
Mahmud, seorang bapak yang konservatif dan ortodoks dalam beragama sedangkan anaknya yang bernama Heli merupakan seorang aktivis yang reaksioner dan cenderung lebih mengedepankan kebebasan. Atau gampangnya Mahmud ini tipikal orang yang taat beragama tapi memiliki kepribadian yang nyebelin, sedangkan Heli merupakan orang yang tidak taat beragama namun mudah bersosialisasi. Perbedaan itulah yang membuat hubungan antara bapak dan anak ini tidak harmonis.
Film ini berlatar suasana bulan puasa yang bersamaan dengan krisis ekonomi. Kemudian diperparah dengan adanya isu penentuan sidang isbat untuk awal bulan Syawal atau penentuan Lebaran yang ditaksir menelan dana sebesar 9 miliar, persoalan itu mengakibatkan munculnya polemik tersendiri di tengah masyarakat.
Diawali dengan bagian scene yang cukup menarik, jadi ada seorang pembeli yang ingin memborong stok beras sebesar 50 kg. Namun Mahmud tidak menyanggupi permintaan si pembeli. Jikalau dia melepas beras dengan jumlah tersebut maka stok beras yang dimilikinya tinggal 20 kg, dikhawatirkan pembeli yang lain tidak akan kebagian. Si pembeli mengatakan, “Gimana sih pak nggak mau untung ya dagangannya?” dan Mahmud menjawab, “Saya beribadah bukan berdagang.”
Di lihat dari percakapan antara Mahmud dan si pembeli saya langsung kepincut sambil bergumam, “Wah keren, pasti ini film yang kaya akan hikmah, berdagangnya aja dengan prinsip dagang ala Rasul nih”.
Ditambah scene saat Mahmud dan Heli tengah dalam perjalanan mencari Hilal, terdapat sebuah percakapan yang dibuka oleh Mahmud, “Dalam perjalanan ini kamu nggak usah banyak tanya kita mau kemana, sudah waktunya kamu menjadi Nabi Musa dan aku merupakan Nabi Khidir.” Selanjutnya Heli yang rada kesal karena tidak diberitahu tujuan tempat berpergiannya mengatakan, “Apakah yang namanya ibadah itu selalu mempersulit hidup?” pertanyaan ini langsung ditimpali lagi oleh Mahmud, “Apakah hidup itu hanya sebatas sulit dan gampang?” Mendengar dua percakapan tersebut saya dibuat terkesima sekaligus merenung, “Hmm… Bener juga apa yang dikatakan Mahmud.”
Dalam perjalanan itu, mereka berdua singgah terlebih dahulu untuk berkunjung ke rekan pesantren Mahmud yang bernama Arifin. Arifin merupakan seorang tokoh masyarakat yang dianggap Mahmud sebagai orang yang siap berkorban demi kebaikan dan kebermanfaatan umat. Ternyata anggapan Mahmud sangat bertolak belakang. Arifin sebagai tokoh masyarakat yang bila kita refleksikan dengan realita pada hari ini merupakan tipikal orang yang “nyalon” dengan menjadikan agama sebagai kendaraan politiknya dengan tujuan meraup suara masyarakat untuk menutupi kepentingan yang sebenarnya.
Pada perjalanan terakhir untuk menjumpai Hilal, di suatu daerah ini ternyata sedang melaksanakan suatu tradisi kebudayaan yang mirip dengan Grebeg Syawal. Melihat hal demikian Mahmud yang merupakan seorang yang amat alim ini menganggap kegiatan tersebut sebuah aktivitas yang bid’ah. Jika direnungi, lagi-lagi fenomena tersebut sangat relevan dengan masalah yang terjadi ditengah umat Islam. Ditandai dengan masih saja ada orang yang dengan mudahnya membidahkan sebuah kelompok dengan berbagai dalih, bahkan sampai-sampai menyebut sekelompok orang itu dengan perkataan “ahlul bid’ah”. Alangkah lebih baik kalau sebuah tradisi ditelaah terlebih dahulu. Karena bisa jadi ada maksud yang sarat akan makna filosofis di balik sebuah tradisi yang kayak akan nilai-nilai agama. Film ini ditutup dengan Mahmud dan Heli yang berhasil bertemu dengan Menara Hiro dan melihat Hilal dari atas menaranya.
Tenyata segala ekspektasi saya langsung terpatahkan, secara keseluruhan film ini memang cukup menggambarkan keadaan Umat Islam di Indonesia walaupun sepertinya nggak gitu-gitu amat sih. Film ini malah berpotensi memunculkan sudut pandang lain, yang mana pandangan itu sudah mulai mahsyur beredar di kalangan umat Islam Indonesia dewasa ini. Masyarakat Indonesia mulai menganggap tidak apa-apa tidak beragama yang taat ataupun tidak memiliki agama, yang penting tetap berbuat baik. Dengan kata lain film ini berpotensi menjelaskan bahwa yang terpenting adalah fokus untuk membangun kesholehan secara sosial dan tidak masalah tidak sholeh secara ritual. Seharusnya sebagai umat beragama yang baik, pandangan seperti itu tidaklah diterapkan. Sebaiknya sholeh secara ritual dan sholeh secara sosial itu dapat dijalankan secara berimbang dan berbarengan.
***
Editor : Irna Rahmawati
Ilustrator : Azka Nadayna
Sebuah ulasan yang menarik, mudah dicerna, sederhana tapi enak dibaca.
Pas disampaikan menjelang ramadhan.
Bravo.. bung Miftah..