Sudah bukan rahasia umum lagi jika toilet di FIB memang benar-benar kurang bagus—jika nggak boleh disebut kurang layak. Sejak kali pertama saya menginjakkan kaki di FIB, saya selalu muntab melihat kondisi toiletnya yang kotor minta ampun. Mulai dari saluran air yang kadang hidup kadang binasa, nggak adanya fasilitas penunjang seperti tisu toilet hingga sabun tangan, sampai ke hal yang sebenarnya sepele tapi signifikan, yaitu debu yang ada di mana-mana. Tentu hal ini membuat banyak orang mempertanyakan nilai guna dari toilet fakultas yang “katanya” berbudaya ini. Atau jangan-jangan, kondisi toilet di FIB adalah representasi dari budaya FIB itu sendiri? Hmmm, menarik untuk ditelisik~
Banyak cerita yang mengendap di toilet-toilet FIB ini, mulai dari corat-coret di berbagai gedung pembelajaran, hingga toilet dengan kisah angker, yaitu toilet bangsal. Namun, selain kisah angker di toilet Bangsal yang sudah ditulis oleh Irna beberapa waktu lalu, ada kisah menyedihkan lain yang sering luput dari perhatian kita; kegalauan dari toilet FIB yang sering dijadikan pilihan kedua jika mahasiswa mau boker.
Ya, gimana nggak sedih, harga diri toilet FIB sebagai ‘toilet’ jelas dikerdilkan di sini. Kehadirannya seperti BEM Kema, ada namun tak terlihat. Sudah barang tentu toilet-toilet ini tinggal gantung sepatu saja. Usia mereka sudah kelewat uzur untuk tetap meneruskan karir sebagai tempat buang hajat mahasiswa FIB.
Banyak sekali lho mahasiswa FIB yang kebelet boker yang lebih memilih untuk buang hajat di kosannya. Atau kalau udah nggak tahan sama sekali, ya, di Masjid Raya Unpad (MRU). Bukan apa-apa, hal seprinsipil boker memang memerlukan tempat yang nyaman, nggak bau, nggak dihantui ancaman akan kehabisan air, dan sebagainya. Dalam hal ini, toilet FIB jelas tidak memenuhi persyaratan itu!
Berdasarkan preseden itulah saya iseng untuk menyempatkan pergi ke FIB dengan harapan agar bisa mewawancarai toilet-toilet FIB ini. Dari sekian banyak toilet yang saya hubungi, hanya toilet bangsal-lah yang menyanggupi tawaran wawancara dari saya. Toilet-toilet lain merasa nggak perlu diwawancara karena mereka masih merasa layak untuk dijadikan tempat berkontemplasi. Saya sih mengira mereka gengsi saja karena malu akan kondisi mereka yang hari demi hari, tahun demi tahun, semakin kurang memuaskan mahasiswa FIB Unpad.
Toilet bangsal sangat terbuka sekali ketika saya pertama kali mengajaknya berbicara terkait apa-apa yang membuat toilet ini cenderung dijauhi mahasiswa. Ia lalu membeberkan pengalaman tak terduganya ketika dulu masih jadi ‘toilet favorit’ di FIB. Saya juga sedikit kaget mendengar pernyataan toilet ini.
Katanya, “Agak sedih juga, ya, Mas. Dulu saya sempat menang FIB Awards kategori ‘Toilet dengan Fasilitas Terbaik’. Tapi itu dulu, udah lama banget. Sekarang mah ya gini lah, Mas. Wastafel-wastafel udah nggak ada airnya, sabun tangan juga jarang banget dateng, pintu-pintu toilet udah pada rusak, pokoknya serba nggak keurus deh. Saking nggak keurusnya, ya, sekarang dihuni oleh makhluk-makhluk gaib, Mas.”
Saya terperanjat mendengar pernyataan toilet bangsal ini dan langsung teringat cerita di tulisan Irna yang konon digangguin juga oleh makhluk gaib saat setor pajak bumi di sini. Saya agak bingung sebenarnya menanggapi pernyataan Mas Toilet Bangsal. Rautnya tampak memancarkan kesedihan yang mendalam dan kerinduan akan masa jaya yang hilang.
Tapi ia malah melanjutkan, “Kalo boleh jujur, ini sebenarnya salah saya juga sih, Mas. Saya kepingin lebih modern dari toilet-toilet lain dengan menghadirkan fasilitas-fasilitas yang berkualitas. Tapi apa boleh dikata, biaya perawatan saya terlalu mahal, uang UKT mahasiswa pun sepertinya tidak pernah dialokasikan untuk revitalisasi toilet ini.”
Saya nggak bisa berkata apa-apa. Jujur, saya merasa sendu melihat bagaimana toilet bangsal ini sudah berusaha sebaik-baiknya, dan sehormat-hormatnya untuk jadi toilet yang baik. Demi mengobati luka blio, saya bertanya bagaimana kondisi toilet ini di masa kejayaannya.
“Wah, kalo inget dulu, rasanya saya nggak bisa berhenti tersenyum, Mas, hehe. Mahasiswa senang betul main ke sini. Bukan cuman buat buang hajat, melainkan buat nyebat, dandan, atau sekadar cuci muka. Raut wajah mereka juga keliatan bahagia ada di sini. Tak ada yang lebih membikin bahagia suatu toilet selain pengunjungnya yang juga bahagia atas fasilitas dan kebersihannya. Bahkan, dulu toilet-toilet di Gedung A, B, dan C sering komplain dan iri ke saya, Mas. Ya, gimana lagi, fasilitas dan kebersihan yang berbicara. Saya sih diem-diem bae,” katanya, dengan sedikit tersenyum malu.
Kemudian saya bertanya apa reaksi dari Mas Toilet Bangsal ini mengenai toilet-toilet di FIB termasuk dirinya yang kini sering dijadikan pilihan kedua bahkan terakhir ketika mahasiswa pengin boker. Dengan nada yang sedikit sendu, “Jelas sedih lah, Mas. Walau kondisi saya udah kayak gini, saya masih punya harga diri sebagai toilet. Saya ingin dikunjungi, dikencingi, dan ditumpuk kotoran manusia lalu dibersihkan sebersih-bersihnya. Bagaimanapun, tupoksi dan kebahagiaan saya, ya, di situ Mas. Ketika orang bisa tenang sentosa mengeluarkan apa-apa yang ada di dalam tubuhnya.”
Muram betul cerita dari blio ini ternyata. Ditanya soal harapan, ia kembali menunjukkan keriangan. Bagi toilet bangsal, harapan baginya mirip seperti kotak pandora. Saya merasa sungkan menanyakan bagaimana mungkin dia bisa tahu kotak pandora. Tapi, sudahlah. Setiap toilet mungkin punya keunikan tersendiri.
Ia mengatakan, “Dulu, ada sebuah guci indah yang sialnya dibuka oleh wanita bernama Pandora. Yang keluar dari guci itu isinya keburukan semua. Kejahatan, kebencian, kekotoran, iri, dengki, dan sebagainya. Jika diibaratkan, saya yang sekarang ini mirip yang keluar dari guci itu, Mas. Tetapi, ada satu hal yang tersisa di dalam guci itu; harapan. Oleh karena itu, meski keadaan saya begini kotornya di hadapan mahasiswa, saya yakin ke depannya Dekanat akan merenovasi dan akan membuat masa kejayaan saya kembali, hehe.”
Di tengah pandemi ini, toilet bangsal tetap berusaha menyajikan pelayanan terbaiknya jika ada beberapa mahasiswa yang iseng-iseng main ke FIB. Sebagai usaha penghormatan kepada blio, saya mengencinginya dengan penuh rasa khidmat.
Editor: Tatiana Ramadhina
Ilustrator: NRAW