Sebagai bekas atlet yang gatot (gagal total), banting setir untuk kuliah adalah salah satu tanda sudah berakhirnya dunia per-atlet-an duniawi. Segala yang sudah saya dapat ketika masih jadi atlet, benar-benar terasa lain dengan apa yang saya rasakan kini. Di kampus, semua hal yang saya bangun, yang saya tumbuhkan perlahan harus mengalah dan beradaptasi. Maka dari itu, sifat keras kepala dan kompetitif yang saya punya pun harus belajar lebih chill seiring bergantinya identitas saya menjadi mahasiswa (biasa).
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) adalah fakultas yang saya pilih, entah mengapa. Anggap saja memang sudah takdirnya. Awalnya saya sudah mulai terbiasa hidup tanpa olahraga dan siap memulai hidup baru dengan identitas baru. Tetapi, apa mau dikata? Di mana kamu dibesarkan, di situ pula kamu akan hidup selamanya. Ah, mungkin kurang nyambung, tapi sekiranya begitu saya menggambarkannya. Maksud saya, karena saya besar dengan olahraga, maka mustahil bisa memisahkan hal yang sudah melekat dari diri saya hingga akhir hayat. Olahraga, sepak bola, bisa dikatakan adalah hidup saya.
Mencoba menjadi sosok lain tampaknya tak bertahan lama, setelah satu bulan berkuliah (saat semester 1) saya akhirnya mengikuti UKM sepak bola universitas, menyusul di fakultas. Semua berjalan baik-baik saja hingga ada yang saya rasa ganjil di FIB kita tercinta ini. Di UKM Universitas saya sama sekali tak mengalami masalah yang mengganggu. Di fakultas, mulai saya bertanya-tanya, apakah FIB ini adalah tempat yang tepat untuk atlet (seperti saya)?
Hal ini didasari dari yang kita semua tahu, bahwa FIB adalah fakultas yang dihuni oleh seniman-seniman yang ciamik dari setiap sudutnya. FIB (yang dulunya Fakultas Sastra) yang dikenal nyastra banget, membuat saya berpikiran bahwa fakultas ini sudah punya aura yang amat kuat, baik dari mahasiswanya, juga dosen-dosennya. Saya merasa berbeda dengan teman-teman yang lain mengingat latar belakang dan representasi diri yang saya tampilkan di hadapan teman-teman.
Contohnya, jika kebanyakan mahasiswa sastra suka begadang, kebiasaan tidur lebih cepat saya (yang sering diolok-olok kawan-kawan sastra karena saya mirip seorang bayi) adalah kebiasaan dan upaya menjaga kondisi bagi (mantan) atlet. Memang sepele, tapi di sini sudah terlihat banyak teman saya yang tak mengerti dan tentu tak tahu betapa pentingnya hal-hal fundamental dalam dunia olahraga. Dalam perbincangan pun saya sulit menemukan orang yang benar-benar punya hobi yang sama di FIB, hanya segelintir, sangat segelintir.
Dalam jurusan saya (nggak tahu jurusan lain atau fakultas lain), saya makin merasa sial karena merasa student-athlete kayak saya tampaknya tak lebih dari seonggok sampah yang tercecer, tak sebanding sutradara, aktor, penyanyi, penyair, penulis, jurnalis, dan sebagainya.
Pernah saat saya mengajukan surat dispensasi untuk membela Unpad berlaga di Piala Pancasila UGM, hanya satu dosen yang menyetujui surat saya, itu juga karena beliau pembina FSSU (Federasi Sepakbola Sastra Unpad, saya jelaskan lagi karena masih banyak yang gak tahu dan salah mengeja, menyebalkan). Dosen yang lain dengan cuek mencoret absensi saya yang berujung menghabiskan jatah 3 kali bolos saya dalam satu semester. Entah memang saya yang salah telah berharap, atau seharusnya para dosen bisa sedikit menghargai upaya seseorang dalam membela almamater.
Juga ada banyak cerita dari teman-teman saya di futsal FIB yang mencoba ikut Futsal Unpad. Banyak yang tak sanggup dan tak melanjutkan karena pelatihnya (kata mereka) kurang menyukai anak-anak Sastra. Mengapa? Apakah ada hubungannya dengan FIB yang terlalu nyeni sehingga kurang cocok buat olahraga? Atau pernah ada masalah sebelumnya?
Selain itu juga Futsal Unpad seringkali memakai mahasiswa jalur prestasi (japres) yang tentu saya pribadi tak menemukan anak japres di bidang futsal/sepak bola yang ada di FIB. Acapkali mahasiswa japres skala universitas datang dari FISIP, yang memang setahu saya merupakan kebalikan dari FIB yang nyeni, FISIP adalah “rumah” bagi atlet yang japres maupun tidak. Beruntung dalam UKM saya (Soccer Unpad) tidak menaruh rasis pada mahasiswa FIB.
Jadi, benar atau tidak bahwa FIB bukanlah tempat yang tepat bagi atlet? Walau satu-dua masih ada juga atlet-atlet berbakat. Hanya saja jarang bahkan tidak ada yang bersinar dan menyalurkan bakatnya dan dihargai di FIB. Pasti mereka keluar dan mencari circle yang lebih sevisi. Mereka mencari lingkungan yang bisa develop dan fokus di bidang yang sama, bukan harus menyerah pada yang overpower, misalnya teater(yang saya tahu).
Wajar bila student-athlete di FIB mencari tempat yang benar-benar menghargainya. Karena mereka muak hanya dengan diberi iming-iming “rumah”, tapi tak pernah jadi salah satu dari bagian mayoritas itu sendiri.
Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra
[…] dibilang artikel ini ada kaitannya dengan tulisan saya sebelumnya. Masih seputar olahraga, keresahan, dan kenyataan yang tidak bisa diselewengkan begitu saja. Maaf […]