Awal tahun 70-an, genre musik punk menjalar ke sebagian tubuh anak muda Inggris sebagai perlawanan terhadap ide kapitalisme yang merebak kala itu. Genre ini membentuk etos kerja do it yourself (DIY) yang memberi gagasan bahwa semua kegiatan khususnya dalam bermusik dari mulai proses kreatif sampai proses produksi bisa dilakukan secara mandiri dan sporadis.
Gagasan DIY akhirnya menjadi suatu bentuk perlawanan menarik dari skena musik yang mengatakan bahwa musik bisa datang dari mana saja, bisa menyuarakan apa pun dan tidak berkutat hanya dari televisi. Etos tersebut kemudian kita kenal sebagai akar mula pergerakan “indie” dalam skena. Baik label rekaman kecil sampai kritikus musik, bisa terlibat dalam skena melalui fanzine yang biasanya dibarengi dengan rilisan musik dari suatu band.
Punk yang identik dengan “kesangaran” rambut mohawk, tindik, dan hal-hal “macho” lainnya menjadi identitas perlawanan gahar dan kala itu dielu-elukan sebagian besar anak muda Inggris yang anti terhadap hal-hal mainstream khas budaya massa. Kendati demikian, bagi sebagian anak muda Inggris lainnya yang juga memiliki hasrat melawan seperti punk, mereka merasa kurang cocok dengan budaya keras yang dihantarkan genre ini. Ketidakcocokan ini melahirkan sebuah genre baru bernama post-punk yang juga menjadi cikal bakal lahirnya Indie Pop.
Ketika punk memasuki masa pancaroba di akhir 70-an, genre post-punk semakin menggeliat. Bahkan, John Lydon (Vokalis Sex Pistols, sebuah band punk yang masyhur kala itu) mempropagandakan sikap anti-rock movement yang diadaptasi dari kultur Mods era 60-an. Perlawanan terhadap kapitalisme dalam industri musik kembali menyeruak melalui awal era post-punk yang juga merupakan antitesis terhadap perlawanan punk yang harus keras, gahar, dan mohawk. Sedangkan, para penggawa post-punk (Selanjutnya lebih dikenal dengan istilah indie pop) biasanya menggunakan pakaian yang rapih, kacamata kutu buku, dan hal-hal yang biasanya dianggap “tidak macho.”
Dari pakaian saja sudah mencerminkan dikotomi musikalitas yang signifikan dari kedua genre itu. Irfan Popish dalam bukunya berjudul Bandung Pop Darlings (2019) mengatakan bahwa karakteristik musik yang dibawakan band indie pop, anak dari post-punk ini, belum bisa disebut pop tapi juga tidak bisa disebut sebagai punk. Indie pop jauh dari nuansa kemarahan punk dan cenderung lebih merdu. Kendati demikian, keduanya memiliki akar ideologis dan perjuangan yang sama, yaitu independen, self-sustain, self-indulgent, dan yang paling penting; do it yourself (DIY).
Kemunculan Indie pop
Selain ditandai dengan munculnya genre yang disebut post-punk, setidaknya kemunculan indie pop ini bisa disahihkan dengan munculnya album kompilasi NME C-86 di tahun 1986.
NME C-86 menjadi sebuah kitab babon yang menjadi kiblat skena indie pop pada masa itu, bahkan hingga sekarang. New Musical Express (NME) sendiri adalah sebuah majalah yang saat itu sedang memiliki fokus pada penemuan skena baru dan mengumpulkannya dalam satu kompilasi. Dalam kompilasi C86 itu sendiri menjadi tonggak awal kelahiran indie dengan diisi 22 band yang beragam tapi memiliki akar yang sama seperti The Mighty Lemon Drops, Primal Scream, The Pastels, dan lain-lain (Irfan Muhammad: 2019).
Pasca kelahiran kompilasi tersebut, berkibarlah secara “resmi” bendera indie pop dan sekaligus mengubur genre punk yang semakin klise dan ditinggalkan penggawanya. Gerakan itu familier disebut C-86 movement karena menjadi fondasi pergerakan subkultur yang kini dikenal sebagai indie pop.
Gerakan ini bisa dibilang menjadi respons anak muda Inggris atas Thatcherisme yang kala itu membuat kebijakan ekonomi Inggris yang bersifat neo-liberalistik dan menekan para pelaku industri termasuk industri musik untuk berperilaku konsumtif dan hedonis. Pada akhirnya, gerakan musik dengan etos kerja DIY merupakan perlawanan terhadap industri musik arus utama yang memandang rendah karya musik sebagai alat produksi belaka (baca: komoditas) bukan sebagai karya intelektual.
Selain respons atas situasi politik di Inggris saat itu, Isu gender dan feminisme pun menjadi nilai jual lebih dalam genre ini kepada para pelaku skena musik yang pada “genre sebelumnya” dituntut menjadi garang adalah hal yang amatlah keren, subversif, dan gahar.
Bahkan, beberapa band seperti Shop Asistant dan Fuzzbox memiliki anggota yang semuanya diisi perempuan yang membuktikan bahwa perempuan tidak hanya sanggup menjadi pemanis cover album seperti yang digunakan dalam label major biasanya, tetapi bisa bernyanyi, memegang gitar, dan bahkan membuat kegaduhan di panggung. Geliat feminisme dari skena tersebut pada akhirnya mempengaruhi gerakan skena Riot Grrrl di Amerika dan Inggris era 90-an.
Label rekaman yang juga bergeliat dalam isu feminisme dan juga menjadi salah satu label musik paling berpengaruh di skena indie pop, setelah Criterion Records (London, 1983), adalah Sarah Records (Bristol, 1987).
Idealisme Sosialisme Sarah Records dan 100 rilisan melawan kapitalisme
Berbeda dengan Criterion Records yang menyerah pada Major label (karena mereka bekerja sama dengan Sony) setelah mengalami kebangkrutan akibat menggarap album My Bloody Valentine dan Primal Scream, Sarah Records tetap dalam jalur idealismenya menjadi antitesis arus musik utama dengan berpegang teguh pada DIY dan konsisten melawan industri musik inggris yang kala itu dianggap sangat maskulin dan patriarkal.
Sarah Records didirikan pada tahun 1987 di Inggris Selatan, tepatnya di kota Bristol oleh Matt Haynes dan Clare Wadd. Pembentukan di kota Bristol bukan tanpa sebab. Selain karena pendirinya sedang berkuliah di Bristol, pemilihan kota ini juga sekaligus menyindir label Criterion Records di London yang menurut Matt, kota tersebut terlalu kapitalis.
Sikap sosialisme Sarah Records juga tercermin dari format rilisan mereka. Ketika major label banyak merilis format 12 inch dan CD yang dianggap borjuis, Sarah Records justru merilis format 7 inch yang kala itu tidak populer dan harganya amat terjangkau. Clare Wadd dan Matt Haynes mengatakan bahwa mereka tetap bisa menjalankan bisnis tanpa menghilangkan etika, prinsip, dan sikapnya. Mereka menilai pesan dan sikap politik sangat amat diperlukan dalam sebuah label rekaman indie.
Sedangkan ide feminisme Sarah Records bisa terlihat dari penamaan label yang menggunakan nama feminin (baca: Sarah) ditambah mereka juga tidak pernah menampilkan foto perempuan dalam sampul rekaman setiap rilisannya. Bahkan, Sarah Records tidak pernah menampilkan foto laki-laki yang memegang gitar karena memberi anggapan hanya laki-lakilah yang bisa memegang gitar.
Geliat feminisme yang semula hadir dalam tubuh band-band C-86, sayangnya, kembali pudar diluluhlantahkan oleh ambisi beberapa band tersebut untuk masuk ke dalam industri musik Inggris yang begitu maskulin. Sarah Records melalui fanzine dan beberapa rilisan mereka acapkali mengkritik ambisi-ambisi band tersebut. Bahkan, pendiri Sarah Records, Matt Haynes dan Clare Wadd mengatakan dalam fanzinenya bahwa “Musuh kami adalah label-label kecil yang mencoba bersikap seperti major label”.
Idealisme dan kontroversi Sarah Records tidak berhenti di situ. Puncak dari segala sikap keras politiknya itu sengaja diakhiri pada rilisan ke-100 di tahun 1995. Sarah Records lebih memilih mengakhiri hidupnya sendiri ketimbang menyerah pada kapitalisme seperti apa yang banyak label indie lakukan pada saat itu yang mereka sebut sebagai ‘indie palsu’.
Keputusan tersebut mengakibatkan publik mengira bahwa Sarah Records bangkrut, meskipun isu tersebut langsung ditepis oleh Matt Haynes bahwa Sarah Records memang benar-benar sengaja tutup pada rilisan ke-100 dan memasang manifesto musiknya melalui majalah-majalah tenar yang menghabiskan dana sebesar 5.000 pounds.
Dalam manifesto yang berjudul A Day for Destroying Things, Matt dan Clare menulis: “Sarah Records is owned by no one but us, so it’s ours to create and destroy how we want and we don’t do encores.”
Pop art-statement tersebut ditutup dengan kutipan yang menyindir laku industri musik ‘indie palsu’ yang malah kegenitan dengan budaya massa ala kapitalisme: “the first act of revolution is destruction and the first thing to destroy is the past. Scary like falling in love. it reminds us we’re alive.”
Daftar Pustaka
Buku
Popish, Irfan. 2019. Bandung Pop Darlings: Catatan Dua Dekade Skena Indie Pop Bandung (1995-2015). Yogyakarta: EA Books.
Jurnal
Nugroho, Adytio. Kritik Sarah Records terhadap Pengaruh Kapitalisme Global dalam Label Rekaman Independen di Britania Raya (1987-1995), FISIP UNPAR, 2016.
Internet
Bikry Praditya Nur Alam. 18 Juli 2020. https://haloyouth.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-60601936/sarah-records-refleksi-asa-menentang-kapitalisme-melalui-musik diakses pada tanggal 18 April 2021.