Era globalisasi dan modernisasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh negara-negara di dunia dalam berbagai aspek kehidupan. Menolak dan menghindari modernisasi dan globalisasi sama artinya dengan mengucilkan diri dari masyarakat internasional. Kondisi ini tentu akan menyulitkan negara tersebut dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Masuknya dua hal tersebut telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap negara Indonesia sendiri tentunya. (Hasanah, 2015).
Berkembangnya teknologi tidak hanya berdampak positif bagi masyarakat, namun juga bisa berdampak negatif pada mereka ataupun negara, karena di era ini juga terjadi perubahan-perubahan dalam aspek kehidupan seperti halnya dalam aspek kebudayaan. Salah satunya adalah munculnya sifat westernisasi tanpa adanya filtrasi yang dapat melunturkan bahkan menghilangkan eksistensi budaya lokal suatu negara.
Budaya lokal merupakan nilai-nilai budaya yang berasal dari daerah, juga dibuat oleh masyarakat melalui proses turun-temurun dari generasi ke generasi seterusnya sebagai warisan yang nantinya terus dibudidaya oleh masyarakat daerah itu sendiri. Namun, adanya arus modernisasi dan globalisasi hingga kedatangan budaya asing pastinya akan memengaruhi eksistensi budaya lokal yang kita miliki sebelumnya, tidak terkecuali budaya Sunda yang merupakan daerah saya sendiri yang ada di Jawa Barat.
Berkembangnya teknologi serta maraknya budaya luar yang lebih dominan dan populer pastinya akan banyak digemari oleh anak muda zaman sekarang. Hal ini dapat memunculkan sebuah ancaman terhadap budaya Sunda, seperti lunturnya warisan budaya Sunda, memudarnya adat istiadat Sunda, sampai berkurangnya penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.
Bukti nyata terjadinya kelunturan warisan budaya Sunda berdasarkan penglihatan saya, antara lain dapat dilihat pada gaya berpakaian, gaya bahasa, cara makan, adat pernikahan, dan teknologi informasi. Misalnya, pemakaian baju ketat atau pakaian layaknya orang barat yang semakin populer, apalagi di kalangan anak muda yang ingin tampil modis. Bahasa daerah, yakni bahasa Sunda, tergeser oleh bahasa asing. Di berbagai daerah sering kali terlihat masyarakat lebih senang menggunakan bahasa Inggris karena dipandang lebih modern. Cara makan pun kini banyak yang tidak menggunakan tata krama makan dalam budaya Sunda.
Daerah saya pun mengalami hal yang sama: penggunaan bahasa Sunda yang jarang terdengar, bahkan penguasaan undak usuk bahasa Sunda atau tata krama bahasa Sunda yang semakin berkurang di kalangan masyarakat terutama anak muda. Padahal, dalam undak usuk bahasa Sunda ini bukan hanya tata cara berkomunikasi dengan orang lain tetapi di dalamnya juga terkandung sebuah hal penting, yaitu sopan santun. (Kulsum, 2020).
Dalam tata krama bahasa Sunda terdapat tiga tingkatan, antara lain cara berbicara dengan orang tua atau umur yang di atas kita (lemes), cara berbicara dengan yang seumuran seperti teman (loma), dan di sini pun ada penempatan bahasa kasar yang biasanya diucapkan ketika seseorang sedang marah. Maka dari itu, dalam Budaya Sunda ini sopan santun selalu diutamakan terutama dalam lisan.
Selanjutnya, permainan tradisional Sunda yang biasa kita kenal yaitu “Kaulinan Barudak Sunda” tergantikan dengan permainan modern yang ada di gadget. Saat zaman saya dulu, yang belum banyak mengetahui tentang gadget atau teknologi modern, kita sering memainkan “Kaulinan Barudak Sunda” seperti boi-boian, engklek (di daerah saya disebut cingklingan), congklak, bola bekel, oray-orayan, anjang-anjangan, hahayaman, cingciripit, ucing-ucingan dan masih banyak lagi.
Kaulinan ini bukan hanya sekedar permainan yang dapat menyenangkan hati seorang anak-anak saja, namun di dalamnya terkandung sebuah pembelajaran terhadap anak itu sendiri seperti saling bekerja sama, meningkatkan kebersamaan dengan teman, mengatur strategi dalam menyelesaikan sebuah permainan, dan sebagai tahap play stage (tahap meniru) pada anak yang ada dalam permaiann anjang-anjangan.
Budaya Sunda lainnya yang mulai tergeser adalah Rumah Adat Jawa Barat atau Sunda, salah satunya Rumah Adat Jolopong yang kini jarang ditemui terutama di daerah saya sendiri, Kuningan. Rumah adat ini bukan hanya untuk tempat berlindung, namun juga sebagai simbol budaya daerah. Adanya arus modernisasi dan globalisasi, model arsitektur dan bahan-bahan bangunan pun mulai mengalami perubahan, banyak yang mengikuti gaya rumah Eropa ataupun gaya rumah modern lainnya.
Menolak globalisasi dan modernisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, adapun strategi dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi ini di antaranya adalah: pembangunan jati diri bangsa, pemahaman falsafah budaya dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pemangku budaya secara berkelanjutan, penerbitan peraturan daerah seperti yang pernah ada sebelumnya seperti “Rebo Nyunda”, dan pemanfaatan teknologi informasi dengan maksimal sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. (Mubah, 2011).
Masih banyak lagi budaya-budaya Sunda yang mulai tergeser atau jarang terlihat. Hal ini menjadi sebuah tantangan serius yang harus kita hadapi, yakni untuk bisa mempertahankan keberadaan budaya Sunda agar tetap lestari. Sebenarnya, menerima modernisasi dan globalisasi tidak ada salahnya, namun jika kita tidak siap dalam menghadapi dan menyesuaikan serta kurang memfiltrasi budaya asing itu dengan baik, hal demikianlah yang menjadi masalahnya karena akan mengakibatkan culture shock atau gegar budaya pada masyarakat, juga dapat memicu lunturnya budaya kita sendiri.
Jadi, kita harus memperkuat lagi daya tahan Budaya Sunda dalam menghadapi datangnya budaya asing ini. Dengan melakukan beberapa strategi yang telah disebutkan tadi.
Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra