Kekerasan Seksual Terhadap Mahasiswa Unpad Merebak, Peraturan Rektor Minim Dampak

Redaksi Pena Budaya
3336 views
','

' ); } ?>

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Tujuh Pers Mahasiswa di Universitas Padjadjaran, di antaranya: Warta Kema Unpad, Pena Budaya FIB, Vonis FH, dJatinangor Fikom, Kopi FEB, Genera Faperta, dan Geocentric FTG.

[Peringatan: cerita-cerita berikut bisa memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan Anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan. Semua nama yang ada dalam artikel ini telah kami samarkan dan telah disetujui oleh penyintas.]


Jatinangor, Aliansi Pers Mahasiswa Unpad—Sejak tanggal 10 hingga 24 Juli 2021, tim #AkuKamuKitaMariBersuara menerima 15 cerita dari 14 penyintas kekerasan seksual di Universitas Padjadjaran (Unpad). Seluruh penyintas masih berstatus aktif sebagai mahasiswa Unpad ketika mengalami kejadian tersebut.

Kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami oleh para penyintas tidak hanya terdiri dari satu bentuk saja. Mulai dari ujaran bernada seksual melalui pesan singkat, intimidasi seksual saat berada di dalam mobil, pelecehan seksual di lingkungan kampus, bahkan hingga pemerkosaan. Terlebih, 10 dari total 14 penyintas mengaku mengalami kejadian tersebut secara berulang. Ana, salah seorang penyintas, menjadi salah satu yang bersedia untuk membagikan ceritanya lebih lanjut kepada kami.

Kala itu, sekitar April 2019, Ana, seorang mahasiswi angkatan 2017, diajak Putra untuk jalan-jalan ke Bandung. Putra merupakan seorang mahasiswa angkatan 2014, yang banyak dikenal sebagai pemilik salah satu kedai kopi di Jatinangor.

Dalam beberapa waktu ke belakang, Ana cukup sering berinteraksi dengan Putra melalui pesan singkat dan sesekali bertemu. Merasa tak ada gelagat yang mencurigakan, Ana tidak berpikir macam-macam ketika mendapat ajakan tersebut. Terlebih, Putra punya reputasi baik di lingkungan Unpad. 

Sepulang dari Bandung pada tengah malam, Putra mengajak Ana singgah ke kontrakannya. Awalnya, Ana ingin segera pulang dari kontrakan Putra. Namun, kosannya sudah terlanjur ditutup sehingga membuatnya terpaksa menginap di kontrakan Putra. Malam itu, awalnya semua berlangsung baik-baik saja, sampai kemudian tiba-tiba Putra meminta Ana untuk melakukan seks oral kepadanya. Ana menolak, tetapi Putra terus menerus memaksanya. Terjebak dalam kondisi itu, Ana merasa tak bisa berbuat banyak.

Kejadian itu barulah awal. Pada sejumlah kesempatan berikutnya, Putra kerap memaksa dan mengancam untuk bertemu dengan Ana, terutama di kontrakannya.

Puncaknya terjadi pada Mei 2019, Putra lagi-lagi meminta Ana untuk bertemu di kontrakannya. Pola yang ia terapkan hampir mirip dengan apa yang dilakukan pada bulan April. Namun kali ini, tidak hanya memaksa untuk melakukan seks oral, Putra juga melakukan tindak pemerkosaan.

Ana sudah berkali-kali menolak dan mengatakan ia tidak mau. Namun, Putra sama sekali tidak menghiraukan dan tetap memperkosa Ana. Ana sampai menangis karena merasa begitu kesakitan.

Pasca kejadian itu, Putra bersikap seolah semuanya biasa saja. Ia bahkan masih kerap menghubungi Ana dan meminta bertemu.

“Setelah kejadian itu, untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan setelahnya, aku berusaha memendamnya dalam-dalam, aku nggak mau ingat lagi,” ujar Ana.

Kejadian itu mulai menggerogoti kepercayaan diri Ana. Nilai akademik serta performa pekerjaannya menurun, ia juga semakin jarang masuk kuliah. Sampai puncaknya, Ana mulai memasuki fase depresi. Ia mengurung diri di kamarnya, tidak mau bertemu siapa pun, dan selalu menangis setiap bertemu seseorang.

Ana bukanlah satu-satunya korban Putra. Hal ini ia ketahui dari sebuah unggahan menfess atau mention confess, yaitu pesan yang ingin disampaikan oleh seseorang tanpa mengungkapkan identitasnya di Twitter, tentang ciri-ciri pelaku kekerasan seksual yang mirip dengan Putra. Menfess itu ternyata mendapatkan banyak komentar dari mereka yang juga pernah menjadi korban Putra. Menurut keterangan Ana, setidaknya ada 2-3 temannya yang juga menjadi korban pelecehan hingga pemerkosaan oleh Putra.

Melalui bukti percakapan antara Ana dengan Putra yang diperlihatkan Ana kepada kami, Putra mengakui perbuatannya kepada Ana. Namun, Putra berdalih bahwa ia tidak ingat pernah melakukan hal serupa kepada penyintas lainnya, dua termasuk teman Ana. Putra justru merasa ia menerima tuduhan yang salah sasaran.

Hal tersebut mengindikasikan korban dari Putra kemungkinan masih banyak tersebar di luar sana. Dari pengakuan Ana, salah satu temannya yang bukan korban dari Putra menelusuri jawaban-jawaban penyintas lain di menfess tersebut dan melaporkan beberapa kasus yang dilakukan Putra kepada Girl Up Unpad, salah satu komunitas di Unpad yang berfokus pada isu kekerasan seksual. 

Kekerasan seksual di kampus Unpad Kekerasan Seksual Unpad
Tangkapan layar menfess

Kepala Departemen Riset dan Advokasi Girl Up Unpad, Revina Nanda, membenarkan adanya laporan tersebut. Menurutnya, isi laporan tersebut memiliki ciri-ciri pelaku yang sama dengan Putra, dan setidaknya terdapat 15 korban lain dari perbuatan Putra.   

Girl Up Unpad sebenarnya tidak membuka layanan advokasi kekerasan seksual. Meskipun begitu, jika ada penyintas yang ingin melapor, kami dengan senang hati membantu untuk memenuhi kebutuhan penyintas dengan menghubungkannya ke lembaga pelayanan advokasi yang sesuai dengan kebutuhan penyintas. Sampai saat ini, kami mendapatkan lebih dari 5 laporan kasus kekerasan seksual di Unpad, termasuk laporan dari salah satu teman Ana yang bukan korban itu,” ujar Revina. 

Ana sendiri sempat ingin melaporkan kasus ini kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH), tetapi ia merasa takut untuk melapor. Kini, Ana perlahan bisa mengobati rasa traumanya setelah mendapat bantuan dari psikolog dan psikiater. Meski Ana tidak tahu secara pasti sanksi sosial apa yang pantas untuk Putra, ia ingin orang-orang tahu bagaimana Putra sesungguhnya agar dapat waspada terhadap predator seksual satu ini.

Turut menimpa mahasiswa baru

Selain Ana, ada pula Bunga dan Ayu yang bersedia menceritakan kisahnya kepada kami. Mereka merupakan mahasiswa angkatan 2020 dan masih terhitung sebagai mahasiswa baru ketika mengalami kejadian tersebut. 

Bunga dan Ayu mengenal pelaku dari internet. Mereka sama-sama dilecehkan oleh seorang pria, yang masing-masing diketahui berstatus mahasiswa tingkat akhir di Unpad.

Mulanya, Ayu diajak jalan-jalan ke Jatinangor oleh Agus. Alih-alih menuju Jatinangor, Agus justru membawa Ayu ke tempat kostnya tanpa sepengetahuan Ayu.

Mereka awalnya hanya mengobrol biasa, hingga perlahan Agus mulai melancarkan aksinya. Tangannya bergerak memegang rambut, pipi, hingga kemudian dada Ayu. Hal ini sontak membuat Ayu kaget, dan membuatnya menangis. Tak tinggal diam, Ayu berusaha melakukan perlawanan dengan menendang Agus, hingga berteriak minta tolong. Sayang, tidak ada yang merespons teriakan Ayu karena daerah kost tersebut terbilang sepi.

“Dah lo nikmatin aja!” kata Agus memaksa.

Agus berusaha memperkosa Ayu, tapi Ayu terus melawan. Pemerkosaan itu akhirnya tak terjadi, tapi Agus masih belum mau melepas Ayu. Ia memaksa Ayu membuatnya ejakulasi dengan mengarahkan tangan Ayu ke alat vitalnya.

Kejadian itu tidak serta-merta jadi yang terakhir. Beberapa bulan setelahnya, Agus kembali melakukan hal serupa kepada Ayu. Saat itu, ia bahkan meminta Ayu menanggalkan seluruh pakaiannya. Kejadian tersebut meninggalkan memori kelam bagi Ayu. Sampai saat ini, ia masih takut menceritakan kejadian tersebut ke siapa pun, bahkan ke orang terdekat.

Pengalaman kekerasan seksual di tahun pertama menjadi mahasiswa tak hanya terjadi pada Ayu. Pengalaman tersebut juga terjadi pada Bunga.

Saat itu, Bunga memiliki indekos di Jatinangor yang ia tempati ketika ada urusan kegiatan di kampus. Ketika sedang berada di sana, Andre, mahasiswa angkatan 2015 yang cukup dikenal di kalangan mahasiswa Unpad, mengajak Bunga untuk minum di indekos milik Bunga. 

Singkat cerita, setelah minum sebentar, Bunga memilih tidur di kasurnya dan membiarkan Andre minum sendiri. Di tengah tidurnya, Bunga tiba-tiba terbangun karena mendapati Andre sedang memeluknya. Bunga merasa risih lalu menepis tangan Andre. Tak lama, ia kembali terbangun ketika Andre memeluknya lagi sambil memegang bagian dadanya. Sontak Bunga kaget. Ia lalu langsung meringkukkan badan dan menangis ketakutan. 

Andre sempat berhenti sejenak, bersikap seolah-olah peduli terhadap Bunga. Ia berjanji tak akan melakukan perbuatan itu lagi kepada Bunga. Namun, janji hanyalah janji. Setelahnya, Andre justru kembali mengulangi perbuatannya, bahkan memaksa Bunga untuk mencium, memegang, serta menjilat kemaluannya.

Pada akhirnya, Bunga berhasil mengusir paksa Andre dari tempat kostnya. Kejadian itu meninggalkan trauma yang serius bagi Bunga. Ia beberapa kali mendatangi psikolog untuk mengatasi rasa trauma yang dialaminya. Namun, biaya yang cukup mahal dari pemulihan di psikolog tersebut membuat Bunga harus berhenti.

Bunga tidak pernah melaporkan pelecehan yang dialaminya, karena ia merasa tidak ada tempat yang tepat untuk mengadu. Selain itu, ia juga takut kasusnya akan ramai dibicarakan, dan pahit-pahit, justru akan berbalik arah menyerangnya.

Ruang kampus yang tidak aman dari kekerasan seksual

Kejadian kekerasan seksual di Unpad tidak hanya terjadi di kontrakan atau indekos. Berdasarkan pengakuan penyintas yang bersedia diwawancarai oleh tim #AkuKamuKitaMariBersuara, 3 dari 14 penyintas mengalami tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus Unpad, Jatinangor.

Cerita pertama datang dari Andin. Saat itu, ia masih berstatus mahasiswa baru tahun 2019. Andin tinggal di asrama putri Bale Wilasa 1. Ia kerap menyempatkan diri untuk belajar di kantin Bunda Bale Wilasa 1 setiap sore.

Suatu hari, ketika tengah fokus belajar di salah satu meja kantin yang menghadap ke arah hutan bambu, tiba-tiba ia melihat seorang pria yang keluar dari sana lalu melakukan masturbasi di hadapannya. Melihat hal itu, Andin sempat terdiam sesaat sebelum kemudian segera mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi.

Menurut pengakuan Andin, ia sudah familiar dengan sosok pelaku karena pernah beberapa kali berpapasan di area kantin. Berdasarkan keterangan dari kepala asrama Bale Wilasa 1 dan beberapa kakak tingkatnya, pelaku tidak hanya sekali dua kali saja melakukan tindakan itu. Pelaku juga diketahui merupakan seorang mahasiswa afirmasi yang tengah menempuh pendidikan S2.

Cerita lainnya datang dari Aqila. Ia bahkan mengaku tiga kali mengalami tindak pelecehan seksual selama menginjakkan kaki di Kampus Unpad Jatinangor. Salah satu kejadiannya mirip dengan yang dialami Andin, tetapi dengan pelaku yang berbeda.

Saat itu, Aqila dan seorang temannya mengunjungi ATM center yang berlokasi di dekat gerbang selatan (gerbang lama) di dalam kampus, untuk menarik uang. Ketika keluar dari ATM center, ia melihat seorang pria yang tengah duduk di halte odong-odong (transportasi umum mahasiswa yang disediakan Unpad), tepat di seberang ATM center, sedang masturbasi. Merasa takut dan risih, Aqila dan temannya buru-buru meninggalkan tempat itu. 

Pada lain waktu, Aqila mengalami catcalling oleh seorang pria paruh baya yang sedang membersihkan jendela di fakultasnya. Pelecehan seksual juga pernah dialaminya ketika berada di odong-odong sepulang kuliah. Seorang mahasiswa yang tak ia lihat jelas wajahnya, dengan sengaja menempelkan tubuh bagian depannya ke bagian belakang tubuh Aqila.

Pelecehan berulang kali yang dialami Aqila menimbulkan trauma yang mendalam baginya. Peristiwa tersebut pun membuka luka lamanya yang dahulu sempat sembuh. Aqila sendiri memilih untuk tidak melaporkan kejadian tersebut karena bingung perihal bagaimana prosedur pelaporan kekerasan seksual di Unpad.

Selain kedua kasus di atas, kekerasan seksual di lingkungan kampus juga pernah dialami Nayla. Kejadian yang menimpanya ini sempat ramai menjadi perbincangan di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), tempat terjadinya perkara. 

Fasilitas toilet fakultas yang seharusnya menjadi ranah privat dan aman bagi mahasiswa, justru menjadi ladang bagi Bobi, seorang mahasiswa angkatan 2017, yang juga merupakan wakil ketua himpunan salah satu jurusan di FIB saat itu, untuk melancarkan aksinya.

Kejadian ini bermula pada awal tahun 2019. Di tengah-tengah kegiatan perkuliahan, Nayla izin untuk pergi ke toilet. Dalam perjalanan menuju toilet Gedung C FIB, Nayla bertemu dengan Bobi. Mereka bertegur sapa dan sempat berjalan bersama menuju toilet sambil mengobrol.

Sesaat setelah memasuki toilet, Nayla menyadari ada tangan yang mengarahkan kamera handphone ke arahnya melalui bagian atas bilik toilet. Menyadari hal itu, Nayla yang terkejut kemudian berusaha mencari pelaku di sekitaran gedung dan lorong tersebut, tetapi ia tidak menemukan apa pun.

Setelah melalui berbagai penyelidikan yang dibantu oleh rekan-rekan mahasiswa dan pihak organisasi kemahasiswaan internal, diketahui fakta bahwa Bobi merupakan pelaku dari tindakan tersebut.

Kejadian ini kemudian meninggalkan trauma bagi Nayla, terlebih saat mengetahui bahwa dia bukanlah korban satu-satunya. Menurut pengakuan Nayla, setidaknya terdapat 2 penyintas dan 1 orang yang hampir menjadi korban, dan diketahui mengalami kejadian serupa yang berlokasi di toilet yang sama. Nayla menyatakan bahwa ia telah melaporkan kejadian ini kepada pihak program studi (prodi) dan fakultas. 

Selain itu, Nayla dan dua penyintas lain juga mendapat bantuan dari Samahita Bandung, komunitas di Bandung yang berfokus melawan kekerasan dan pelecehan seksual dengan mengadakan kampanye anti kekerasan seksual dan menyediakan tempat advokasi kepada para penyintas kekerasan seksual. 

Lathifah, selaku pendamping dari Samahita Bandung yang mendampingi Nayla dan dua penyintas lain mengatakan bahwa meskipun pihak dekan dan prodi sangat terbuka untuk mendengarkan, namun solusinya kurang tegas. 

“Prodi hanya menawarkan pelaku (Bobi) untuk pindah kelas. Jadi, waktu itu dua penyintas satu kelas sama pelaku, satu penyintas lagi beda kelas. Kalau pelaku mau dipindahkan kelas, berarti satu penyintas ini atau dua penyintas itu juga harus pindah kelas, ‘kan, biar gak sama lagi,” jelasnya.

Tim #AkuKamuKitaMariBersuara mencoba mengonfirmasi adanya pelaporan tersebut kepada pihak prodi dan fakultas yang saat itu menangani kasus Nayla. 

Pihak prodi melalui ketua prodi terkait, menyampaikan bahwa mereka sudah melewati serangkaian proses investigasi bekerja sama dengan fakultas, dan karena peristiwa yang dilaporkan terjadi di lingkungan FIB, prodi sudah menyerahkan kasus ini ke fakultas. 

“Karena sudah dilakukan pelimpahan tanggung jawab, coba bisa tanyakan ke fakultas.” ujar Ketua Prodi terkait. 

Sementara itu, pihak fakultas melalui Manajer Pembelajaran, Kemahasiswaan, dan Alumni, Inu Isnaeni Sidiq, mengatakan bahwa ketika mendapatkan laporan tersebut, pihaknya mendengarkan keterangan dari para pelapor bersama kaprodi dan dosen pendamping kemahasiswaan prodinya saat itu. Setelah mendapatkan laporan tertulis dari terlapor, kasus ini segera diteruskan kepada pimpinan untuk ditindaklanjuti.

“Kesulitan dari kami adalah bukti kuat yang mendukung laporan tersebut. Pada saat menjelaskan kepada orang tua wali terlapor, kami sampaikan resiko akademik yang akan diterima terlapor apabila terbukti, dan terlapor beserta orang tuanya sangat paham. Di sisi lain, terlapor juga tetap menyangkal bahwa dia melakukan perbuatan tersebut,” ujar Inu. 

Menurut pengakuan Nayla, Bobi sejatinya sempat mendapatkan sanksi sosial berupa pencabutan jabatan dari wakil ketua himpunan dan tidak digubris oleh teman-temannya saat berada di kelas, yaitu ketika seluruh kegiatan masih dilaksanakan secara offline. Namun, menurut Nayla, Bobi akhirnya lepas dari sanksi secara hukum dan tetap bisa berkeliaran seperti tanpa ada kejadian apa pun. 

Mekanisme pelaporan yang minim sosialisasi

Dari 14 penyintas yang mengisi formulir, hanya dua penyintas yang sudah melapor. Hampir semua penyintas, yang sama sekali belum pernah melapor, mengungkapkan alasan yang sama, yakni merasa takut dan bingung harus melapor ke mana. Mereka juga tidak mengetahui adanya Peraturan Rektor Unpad Nomor 16 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Pencegahan Pelecehan Seksual di Lingkungan Universitas Padjadjaran.

Menurut Putri Indy Shafarina, Presiden Girl Up Unpad, ketidaktahuan beberapa penyintas tentang adanya Peraturan Rektor tentang Penanganan dan Pencegahan Pelecehan Seksual di Unpad tersebut menandakan bahwa sosialisasi yang dilakukan pihak kampus tidak terlaksana dengan baik dan masif. 

“Buat apa kita punya peraturan kalau sivitas akademikanya aja nggak tau kita punya peraturan? Nggak akan efektif implementasinya,” ujar mahasiswi yang akrab disapa Farin ini. 

Belum masifnya sosialisasi ini pun diakui oleh Direktorat Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni, Boy Yoseph Cahya Sunan Sakti Syah Alam. Ketika dihubungi pada hari Senin (13/9) lalu, Boy mengatakan bahwa kondisi pandemi seperti saat ini menjadi penghalang utama. Sehingga, hal ini membuat pihak Unpad baru sebatas melaksanakan pemberian wawasan terhadap kekerasan seksual melalui webinar yang diadakan sekaligus untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, November 2020 lalu.

“Kami juga ada rencana untuk melaksanakan program tentang penanganan pelecehan seksual di kampus. Karena ternyata meskipun masih pandemi, saya mendapatkan info bahwa kekerasan seksual juga terjadi di media sosial. Saat ini pun, kami sedang menangani beberapa kasus kekerasan seksual yang sedang diproses,” tukas Boy.

Meskipun begitu, menurut Farin, Unpad belum melakukan hal lain yang menunjang implementasi peraturan tersebut. Ia juga mengkritisi peraturan rektor yang menurutnya justru membuat para penyintas jadi takut melapor. 

Seperti pada pasal 5 BAB IV yang berbunyi, “jika kejadian pelecehan seksual oleh/terhadap mahasiswa, maka laporan atau pengaduan disampaikan melalui Direktorat Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni”. 

“Bunyi pasal tersebut jelas membuat penyintas tidak nyaman atau bahkan mengurungkan kembali niatnya untuk melapor, karena belum tentu direktorat memberikan layanan yang memang diperlukan penyintas. Bisa saja penyintas bertujuan melapor hanya sebatas untuk meminta bantuan psikologis, layanan medis, atau perlindungan hukum. Bantuan juga tidak melulu tentang memberikan sanksi kepada pelaku,” ujar Farin. 

Selain dari kurangnya sosialisasi dan mekanisme pelaporan yang masih kurang ramah penyintas, ketakutan penyintas untuk melapor dan masih banyaknya kekerasan seksual yang terjadi juga datang dari stigma masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki dan malah menyalahkan korban atas apa yang mereka alami.

Hal ini diungkapkan oleh Dewan Pembina HopeHelps, Putri Salsa. HopeHelps sendiri merupakan kelompok penyedia layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di kampus di Indonesia. 

Menurut Putri, salah satu cara untuk mencegah kekerasan seksual terjadi adalah dengan mengintervensi humor-humor seksis atau rape jokes. Dengan intervensi atau peneguran seperti itu, secara tidak langsung akan memberikan pesan bahwa humor seksis seperti itu tidak bisa ditoleransi lagi. Sehingga hal tersebut bisa menjadi efek domino yang menyebarkan kesadaran tentang kekerasan seksual yang berperspektif korban, dari mulai diri sendiri sampai ke komunitas yang lebih besar. 

“Ketika berbicara mengenai pencegahan kekerasan seksual, sebenarnya bukan dalam konteks bagaimana cara agar tidak menjadi korban, tapi bagaimana cara kita sebagai komunitas berhenti memaklumi bentuk-bentuk kekerasan seksual dan meningkatkan kesadaran tentang hal-hal yang umum mengenai kekerasan seksual kepada lingkungan sekitar kita,” ujarnya.

Butuh SOP dan pusat aduan

Meskipun keberadaan Peraturan Rektor ini menjadi nilai positif tersendiri. Pasalnya, selama Unpad memiliki rektor, baru kali ini ada yang mau menaikan isu kekerasan seksual. Namun, pihak Pusat Riset Gender dan Anak, Antik Bintari, yang dilansir dari artikel dJatinangor 8 Maret 2021 lalu, mengatakan bahwa mekanisme pelaporan dalam peraturan rektor saja sebenarnya tidak cukup untuk membuat penyintas merasa aman dalam melapor.

“Peraturan tersebut sifatnya umum sekali, baru diproses ketika ada kasus. Sehingga perlu adanya SOP (Standard operating procedure) yang lebih detail dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Mulai dari mau laporan ke dosen mana, mekanisme surat menyuratnya bagaimana, pendampingan seperti apa, siapa yang berhak untuk mendampingi dan yang pasti perlu ada lembaga konsultasi layanan psikologis khusus kekerasan seksual,” ujar Antik.

Serupa dengan Antik, menurut Farin, Unpad idealnya harus memiliki pusat layanan terpadu untuk melaporkan kasus yang memang jelas memberikan layanan yang dibutuhkan bagi penyintas. Oleh karena itu, menurutnya, peraturan rektor ini pun sesungguhnya belum bisa diimplementasikan dengan efektif, masih diperlukan SOP yang menjelaskan lebih teknis terkait mekanisme pelaporan dan penanganan kasus. Hal itu diperlukan agar alur penanganan kasus transparan dan penyintas bisa merasa lebih aman.

“Setelah pihak kampus memiliki pusat aduan dan SOP yang jelas, pihak kampus bisa memulai sosialisasi dengan mewajibkan adanya kurikulum pencegahan kekerasan seksual di acara penerimaan mahasiswa baru, mengadakan sosialisasi khusus ke fakultas dan prodi di Unpad, hingga mengajak lembaga mahasiswa untuk sama-sama memahami kekerasan seksual dan mensosialisasikannya,” ujar mahasiswi Fikom ini. 

Pendapat lain datang dari Putri Salsa. Pada awal-awal terbentuknya HopeHelps, Putri Salsa juga mengatakan bahwa HopeHelps gencar mengadakan sosialisasi terkait kekerasan seksual, sehingga akhirnya mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak. 

“Meskipun sudah ada kanal melapor, tapi perlu ada sosialisasi lebih lanjut dan harus tetap meningkatkan kesadaran juga. ‘Ini loh ada tempat untuk melapor’, kita juga perlu tahu korban ini mau menindaklanjuti kasusnya itu atau hanya sekadar cerita saja. Kami (HopeHelps) sebenarnya membantu korban untuk memberikan bantuan psikolog atau hukum dari jejaring yang kami punya,” ujar Putri.  

Ia juga mengingatkan bahwa jika di dalam peraturan rektor tersebut sudah ada niat untuk membuka kanal pelaporan, kampus juga harus berkomitmen untuk melawan kekerasan seksual dengan meningkatkan tingkat kesadaran civitas akademika tentang kekerasan seksual dan bagaimana caranya mengakses keadilan, dan jika dirasa perlu, akses jemput bola juga bisa dilakukan. 

Sementara itu, Boy mengatakan bahwa sebenarnya untuk melaporkan kekerasan seksual di Unpad bisa melalui dosen wali terlebih dahulu, lalu setelah itu ke ketua prodi atau ke pihak fakultas. Jadi, penyelesaian dilakukan dalam tingkat fakultas terlebih dahulu. Meskipun begitu, ia juga mengatakan pihak kampus, khususnya tim Komunikasi Publik Unpad, akan mencoba membuat semacam Hotline pengaduan.

“Untuk saat ini lapor dosen wali terlebih dahulu. Terkait konseling, itu bisa langsung ke Pusat Konseling Universitas Padjadjaran (PKUP). Meskipun belum memiliki konseling khusus dalam menangani kasus kekerasan seksual, insyaallah teman-teman di PKUP dan dari kampus siap memfasilitasi korban,” tegasnya.

Gerakan dari mahasiswa 

Ketika kampus belum sepenuhnya memberikan sosialisasi tentang kekerasan seksual secara masif, mahasiswa-mahasiswa Unpad sedang gencar-gencarnya melakukan kampanye anti kekerasan seksual. Dari mulai lembaga-lembaga kemahasiswaan seperti himpunan, unit kegiatan mahasiswa, sampai BEM, mulai membuat konten-konten yang menyebarkan kesadaran tentang kekerasan seksual ini.

Tak hanya itu, Girl Up Unpad bersama beberapa BEM Fakultas membuat kampanye khusus bertajuk “Lawan Kekerasan Seksual” yang sudah dimulai dengan pembuatan akun instagram @aliansiunpadlawanks Senin (13/9) lalu. 

Georgius Benny, selaku salah satu inisiator Aliansi Unpad Lawan Kekerasan Seksual menyatakan bahwa terbentuknya aliansi tersebut juga menjadi salah satu langkah mahasiswa Unpad dalam mengawal isu kekerasan seksual. Salah satu fokus utamanya adalah dalam pengawalan Peraturan Rektor Penanganan Kekerasan Seksual, yang alur birokrasinya masih dinilai terlalu rumit dan belum menjelaskan mengenai tindakan apa saja yang termasuk ke dalam kekerasan seksual. 

“Aliansi ini terbentuk dari keresahan, karena kekerasan seksual di Unpad ini seperti fenomena gunung es yang sebenarnya kasusnya banyak, tapi korban memilih untuk diam karena belum punya wadah untuk speak up,” ujar mahasiswa FISIP ini. 

Diharapkan Aliansi Unpad Lawan KS ini kelak dapat menjadi wadah atau semacam pusat aduan untuk para penyintas, agar mereka bisa merasa aman untuk berkonsultasi dan melapor.

Tim Aliansi Pers Mahasiswa Unpad
Editor: Tatiana Ramadhina & Hatta Muarabagja

[Jika merasa ada informasi yang keliru atau keberatan dengan liputan ini, silahkan kirim hak jawab ke alamat email: persmaunpad@gmail.com]


Baca artikel tentang kekerasan seksual lain di laman khusus liputan #AkuKamuKitaMariBersuara

*jika visual belum muncul harap refresh website
Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran