Seorang kawan—sebut saja namanya Arindha—sempat berujar pada saya untuk tidak terlalu khusyuk mengimani Subagio. Pasalnya, ia bilang, memang sudah patutnya kita hindari saja hal-perihal berbau 3M (merenung, menyesal, meninggal) terutama di masa-masa kritis era pagebluk seperti sekarang. Saya yang biasa terpaku mengilhami kalimat “Bahkan tak ada kesan kesedihan pada muka dan mata itu, yang terus memandang, seakan mau bilang dengan bangga:—Matiku muda—” rupa-rupanya tersentak pula. Ada benarnya juga, saya pikir. Sudahlah belum sempat bersilaturahmi dengan truk besar Jatinangor, saya belum pula dapat kesempatan untuk kembali bertukar sapa dengan pemilik perpustakaan usang di Jalan Pramoedya. Masa sudah buru-buru mau koit?
Meski begitu, saya cukup yakin kawan saya yang satu ini sedikit banyak munafiknya. Menghindari 3M ujarnya, tetapi ia tiada pula kuasa berhenti mengutip The Bell Jar. “Ada baiknya kita fokus baca yang cinta-cintaan saja,” begitu sarannya. Ia mengusul agar kami sedia meluangkan waktu untuk mencari hikmah di balik setiap tulisan rintiksedu, yang kemudian saya tolak dengan halus. Seolah sebuah bola lampu menyala di atas kepala cemerlangnya, ia kemudian mengucap dengan semangat, “Bagaimana kalau Aan Mansyur?!” yang saya iringi dengan anggukan kepala.
Aan Mansyur—saya tak paham betul bagaimana cara yang pantas untuk menyebut sosok ini; apakah Mas Aan, Bung Aan, Pak Aan, atau cukup Aan saja?—beberapa kali pernah melintas di lini masa akun Twitter saya. Cuitannya serupa seorang intelektual beken, sedikit banyak mengkritisi pemerintah, dan sesekali mengunggah potongan sajak karyanya. Satu yang saya suka, begini bunyinya:
MASA TUA
semenjak punya smart-
phone, ibu menghabiskan
hari-harinya di whatsapp,
facebook, & youtube
bersama masa mudanya
yang sudah lama hilang
kami curi.
Sajak ini, ketik Aan, ia tulis dalam rangka “ketika pikiran dan kesedihanku semakin sering berlatih memakamkan tubuh ibu”. Saya tiada kenal dengan ibu dari penyair satu ini, tidak pula paham benar siapa Aan Mansyur itu sendiri, bagaimana kecenderungan ideologinya, dan apakah puisinya dipengaruhi Sartre atau tidak. Satu-satunya yang saya pahami adalah, sajaknya mengingatkan pada sosok Ibu saya sendiri.
Menulis tentang Ibu tidak akan pernah jadi hal yang mudah bagi saya. Sosoknya ruwet, kompleks, dan hubungan yang terjalin di antara kami berdua bagaikan kabel kusut yang sulit diurai. Sebagaimana tulis Aan, Ibu menghabiskan waktunya berselancar di media sosial; ia juga gemar menyebarkan berita semi palsu di grup Whatsapp keluarga. Ajaibnya, di lain hari, ia mampu berceloteh dua jam lamanya perihal efisiensi anggaran belanja negara tahun ini.
Ibu tidak pernah menggandeng, tidak pernah mencium, tidak pula memeluk. Ia lebih memilih untuk memaksa saya sembahyang subuh, membuatkan teh manis hangat, dan melarang anaknya makan mi instan. Tapi mata Ibu mendelik ketika melihat buku Aidit di atas tempat tidur, kupingnya memanas ketika saya bilang tak setuju dengan Mardigu, dan kepalanya pasti akan berasap jikalau tahu geretan yang ia cari selama ini tengah tersimpan rapi di kolong kasur.
Saya paham betul bahwa kami sama keras kepalanya dan menulis tentang Ibu mungkin sia-sia dan tiada ujungnya. Tapi toh, meski Ibu tak pernah lupa mencekal saya tiap pagi; tak sungkan berkacak pinggang dan mengomel habis-habisan: “baca buku tak boleh bikin kau jadi arogan dan melawan pendapat orang tua!”, ia rela-rela saja membiarkan karirnya dulu dirampok habis oleh anak yang harus menyusu dan berganti popok.
Dan sebagaimana pada sajak Aan yang lain, bahwa:
HIDUP
cukup dekat
untuk kau bisa
memeluknya
cukup jauh
untuk ia bisa
menghancurkan-
mu
Saya juga tiada segan menggedor pintu tempat Tuhan bersemayam; memaksanya membiarkan Ibu hidup kekal.
Tulisannya bagus, nyaman buat di baca