Tidak sedikit orang mengalami masalah gangguan kecemasan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Gangguan kecemasan merupakan hal yang wajar dialami oleh setiap manusia, tetapi ia memiliki dampak yang besar jika berkepanjangan karena akan memicu kondisi stress bahkan depresi.
Sebagian dari kita berpandangan bahwa gangguan kecemasan hanya berdampak buruk pada mood atau kondisi respons konsentrasi. Namun, ternyata, gangguan kecemasan dapat berdampak pada fisik seperti timbulnya jerawat, kerontokan rambut, tinnitus pada telinga, sakit kepala, dan ketegangan otot yang mulanya dipicu oleh hormon stres dalam tubuh manusia.
Terlebih, Sstres yang terjadi secara intens dapat membuat tubuh sering mengalami peradangan. Diinformasikan oleh dr. Kevin Adrian bahwa respons stres dapat memperburuk fungsi otak yang kemudian dapat memicu berbagai penyakit kronis, seperti gangguan saluran pencernaan (​​irritable bowl syndrome), gastroesophageal reflux disease (GERD), kardiovaskular, dan diabetes.
Di dalam tubuh manusia, terdapat kelenjar adrenal yang berfungsi melepaskan hormon stress, yakni kortisol, epinefrin, dan norepinefrin. Hormon-hormon ini sangat tidak baik untuk kesehatan manusia.
Disampaikan oleh dokter onkologi, David Khayat, bahwa stres dapat menurunkan efisiensi antibodi yang berfungsi melindungi tubuh dari ancaman virus, bakteri, dan sel kanker sehingga orang yang sedang mengalami stres kronis rentan terserang penyakit karena terjadi penurunan fungsi antibodi akibat stres. Ia juga menambahkan bahwa respons stres yang berkepanjangan akan merusak secara perlahan banyak organ dan sel.
Informasi selanjutnya disampaikan oleh dokter penyakit dalam Emory University Hospital, Sharon Horesh Bergquist, bahwa ketika hormon stres mengalir melalui aliran darah mereka sampai dengan mudah ke pembuluh darah dan jantung. Epinefrin membuat jantung berdetak lebih cepat dan menaikan tekanan darah yang lambat laun menyebabkan hipertensi. Selain itu, Kortisol yang mengalir di darah dapat membentuk lapisan di dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan penumpukan plak kolesterol di dalam arteri manusia yang dapat meningkatkan risiko serangan jantung bahkan stroke.
Contoh kasus yang berdampak pada sistem pencernaan adalah ketika kita mengalami stres, otak akan mengaktifkan sistem saraf otonom. Melalui jaringan koneksi saraf ini, otak mengomunikasikan hormon kortisol, epinefrin, dan norepinefrin ke sistem saraf saluran pencernaan, yaitu usus. Koneksi antara otak dan usus dapat mengganggu kontraksi ritmis alami yang menyalurkan makanan melalui usus, lalu menyebabkan sindrom iritasi usus dan meningkatkan kepekaan usus terhadap asam sehingga membuat seseorang rentan merasakan perih di bagian dada.
Hidup akan selalu dipenuhi dengan situasi yang membuat kita mengalami kondisi stress. Hal terpenting untuk menghadapi masalah tersebut adalah sebagaimana kita menghadapinya. Apabila kita memandang gangguan kecemasan atau stres sebagai ancaman yang dapat dikuasai dan selama kita bisa mengendalikannya, stres tidak akan menciptakan risiko penyakit kronis. Namun, sebaliknya, ketika seseorang sampai di titik keresahan yang paling dalam sehingga merasa sulit untuk bangkit dan tidak bisa menguasai stres dalam emosinya maka itu akan menjadi suatu tanda kebahayaan yang akan terjadi bagi kesehatannya.