Sepemikiran saya, saya percaya bahwa kebebasan memilih pasangan (bukan pasangan caleg, tentu saja) adalah hak setiap orang. Oleh karenanya, keputusan memilih siapa pun untuk dijadikan pasangan hidup, haruslah didasarkan pada hati nurani yang bersangkutan, bukan opini orang.
Maka dari itu, ketika Twitter @DraftAnakUnpad menerima banyak mention confess (menfess) yang kebanyakan bertanya terkait kecocokan seseorang dari fakultas A dengan fakultas B andai mereka menjalin suatu hubungan romantis, saya mengernyitkan dahi.
Di setiap cuitan twitter, mereka biasa menggunakan kata bf untuk boyfriend dan gf untuk girlfriend.
Pada awalnya, saya kira, mungkin pengirim atau sender benar-benar bertanya secara serius. Mungkin pengirim menyimpan prasangka tertentu terhadap orang dari fakultas FIB (yang gondrong, urakan, suka minum-minum, snob parah, dan tidak rajin menabung), misalnya.
Atau dari fakultas kedokteran (yang punya wajah Cina berkacamata, kutu buku, introvert, nggak asik, nggak suka KFC, dan sebagainya).
Atau FEB (tipikal cowok fakboy banyak duit, dan ceweknya yang mata duitan). Mereka bisa saja perlu berpikir dua kali sebelum berlanjut ke fase yang lebih jauh.
Selain fakultas, bf-gf-an di DAU juga menyasar lintas universitas. Misalnya, boyfriend Unpad girlfriend ITB atau sebaliknya mengandaikan suatu kondisi pasangan yang “ideal.” Ideal karena keduanya berasal dari dua universitas top, dianggap jenius, punya kemampuan di atas rata-rata, dan sebagainya.
Namun, lama kelamaan, menfess seperti ini jadi menyebalkan karena frekuensinya jadi berlipat ganda. Tiap saya membuka timeline twitter, rasa-rasanya saya kepengin mengucapkan ini di hadapan si pengirim, “Bisa disimpen dulu nggak capernya?”
Orang-orang jadi latah, tiap jam pasti ada menfess serupa yang berseliweran. Tentu, ada saja orang yang memang ingin bercanda dengan mengirimkan menfess tersebut. Ada pula yang caper. Atau malahan ada yang benar-benar serius dengan pertanyaan tersebut.
Saya jadi ngeri rasanya membayangkan kenyataan orang-orang tak lagi bisa menentukan pasangan berdasarkan kebaikan, kecocokan, prinsip, pemikirannya, tetapi hanya lewat sentimen fakultas belaka.
Saya pikir, mau boyfriend atau girlfriend kalian berbeda fakultas pun, selama kalian merasa cocok, ya, lanjut saja. Terlebih, nggak akan ada yang peduli juga dengan latar belakang pasangan kalian. Serius. Nggak bakal ada yang peduli.
Namun, jujur, bagi saya, yang membuat menfess tersebut menyebalkan adalah karena ia terkadang (atau seringnya) menutupi dan mengubur menfess-menfess yang lebih penting, seperti soal perkuliahan, transportasi Jatinangor-Bandung, hingga curahan hati soal betapa capeknya kuliah sambil kerja, yang lebih layak mendapat perhatian.
Lagipula, jawaban macam apa, sih, yang diharapkan oleh si pengirim menfess tersebut? Andai dijawab yay, kalo si pengirim dan pasangannya memang tak cocok, ya, bisa apa? Andai banyak yang jawab nay sekali pun, jika kalian ditakdirkan untuk bersama (anjay), ya kalian pasti akan bersama (itu juga kalo kalian percaya sama takdir, sih). Bagi saya, jawaban paling mudah, ya, dengan secara langsung mengenal si orang dari fakultas tersebut.
Btw, kalo menurut kalian, bf Unpad gf UPI yay/nay?