Ukraina-Rusia Tarik Tambang Geopolitik Terbesar Dekade Ini

Lazuardi Atsa Valencia
673 views
','

' ); } ?>

Tahun 2022 ini, dunia diramaikan dengan berita mengenai kemungkinan terjadinya perang terbuka antara Ukraina dengan Rusia. Mobilisasi pasukan Rusia yang membentuk barisan pertahanan di perbatasan membuat Ukraina khawatir. Saat ini saja, terdapat lebih dari 200 ribu pasukan Rusia yang sudah tiba dan memperkuat garis pertahanan tersebut. Dengan pasukan sebanyak itu, tentu bukanlah suatu kemustahilan bahwa Negeri Beruang Merah sedang merencanakan sesuatu.

Is Russia going to invade Ukraine and what does Putin want? - BBC News

(Presiden Ukraina, Vlodymyr Zelensky, berkunjung ke garis tempur Ukraina-Rusia (06/12/21) Foto: BBC)

Ukraina memang dalam posisi yang sulit selama dua dekade terakhir. Berbagai separatisme yang terjadi pasca-Euromaidan menguras waktu dan tenaga Ukraina. Hal ini diperparah ketika Rusia dengan sepihak menginvasi Krimea dan membantu secara diam-diam–walau akhirnya terkuak–gerakan separatis di Donbass. 

Selain itu, tarik ulur atas keanggotaan Ukraina dalam NATO mengakibatkan ketidakpastian negara ini. Anggota NATO seakan segan memasukkan Ukraina sebagai mitra pertahanan mereka.

Menurut pengamatan saya, terdapat beberapa alasan utama yang membuat Ukraina menjadi suatu wilayah yang diperebutkan saat ini, baik dari Blok Barat maupun Timur. Namun, sebelum membahas bagian itu, akan dijelaskan secara umum bagaimana sentimen orang-orang Ukraina membahas Rusia serta mengapa rakyat Ukraina menolak pengaruh Rusia di negerinya.

Hegemoni Rusia di Ukraina, bila dilihat dari sejarahnya, bermula pada abad ke-17. Ukraina menjadi bagian dari protektorat Ketsaran Moskow. Namun, pengambilalihan kekuasaan Ukraina secara penuh oleh Rusia baru terlaksana pada awal abad ke-18, ketika Peter Agung memproklamasikan Kekaisaran Rusia dan memasukkan seluruh wilayah Ketsaran Moskow (termasuk Ukraina) untuk menjadi bagian dari Kekaisaran. 

Pada masa Kekaisaran Rusia, Ukraina menjadi etnis grup terbesar kedua setelah Rusia. Namun, secara kedudukan pemerintahan (atau kekuasaan Bangsawan Ukraina) mereka termasuk dalam golongan bawah. Kebudayaan Ukraina juga dianggap “tidak relevan” setelah dirusifikasi (dileburkan ke dalam budaya Rusia).

Akibatnya, para kaum intelektual Ukraina mulai melakukan gerakan nasionalisme saat Musim Semi Eropa (Mencuatnya gerakan revolusi sosial di kerajaan-kerajaan Eropa pada 1840-an) merebak. Gerakan-gerakan intelektual ini memprotes kebijakan rusifikasi dan menuntut pemurnian kebudayaan Ukraina. Kekaisaran merespon dengan melakukan penangkapan kepada kaum intelektual Ukraina dan melarang penggunaan Bahasa Ukraina di berbagai instansi. 

Hal ini diketahui sebagai awal adanya kesenjangan Ukraina terhadap Rusia yang mengakibatkan mereka ikut mendukung Revolusi Bolshevik pada 1917 dan membentuk Republik Rakyat Ukraina tiga tahun setelahnya. Pada tahun 1922, Ukraina bersama Rusia, Negara-Negara Kaukasus serta Belarusia, membentuk Uni Soviet.

Walau Ukraina merupakan salah satu negara pembentuk Republik Sosialis Uni Soviet, ketegangan Ukraina dan Rusia justru semakin mencuat setelah pembentukannya, terutama pada saat kekuasaan Stalin. Pada masa ini, terjadi perkembangan nasionalisme di antara rakyat Ukraina. Berbagai literasi romantisme atas identitas nasional Ukraina mulai tersebar pada tahun 1920-an. 

Selain itu, terjadi berbagai penolakan terhadap Kebijakan Pertanian Kolektif Soviet. Akibatnya, tokoh-tokoh dominan Nasionalis Ukraina yang mayoritas sastrawan, menjadi target dalam Pembersihan Besar Stalin pada tahun 1937. 

Terdapat beberapa perdebatan mengenai apakah Holodomor–kelaparan massal pada tahun 1933 di Ukraina–juga menjadi bagian dari kebijakan Stalin untuk menekan Nasionalis Ukraina. Terlepas dari perdebatan tersebut, kejadian ini membuat sentimen anti-Rusia berkembang pesat.

Dari sinilah, Ukraina memiliki alasan dasar mengapa mereka tidak ingin dipengaruhi oleh Rusia lagi. Kepahitan sejarah yang dialami negara ini dengan Rusia mengakibatkan gelombang protes pasca kehancuran Uni-Soviet dan kemerdekaan Ukraina pada 1992. Ukraina menginginkan kemerdekaan dan pelepasan dari Persemakmuran Negara Merdeka (Organisasi antar negara anggota eks-Soviet). 

Namun, perceraian Ukraina dengan Rusia tidak direstui oleh Rusia. Moskow memang telah mengakui Ukraina sebagai negara merdeka setelah adanya perjanjian untuk mengembalikan peralatan nuklir era-Soviet, tetapi rakyat dan politisi Rusia masih setengah hati untuk mengakui negara ini.

Inilah yang akan dibahas selanjutnya mengenai alasan Rusia menginginkan Ukraina kembali ke pangkuan Rusia sekaligus alasan Blok Barat juga melirik Ukraina. Tarik tambang Barat-Timur di Ukraina setidaknya dalam pengamatan saya, memiliki tiga alasan utama. Alasan tersebut ialah ekonomis, geografis, dan politis.

Secara geografis, Ukraina membentuk “taring” antara Eropa dan Rusia. Negara ini menjorong ke arah Slovakia dan Polandia, dan 500 km dari Moskow, ibukota Rusia. Selain itu, wilayah Ukraina yang umumnya berupa dataran stepa dapat dengan mudah menjadi jalan pasukan-pasukan untuk melakukan penyerangan. Tentu bagi Blok Barat (NATO), hal ini sangat strategis. Bila Ukraina lebih mendekat kepada Barat atau bergabung dengan NATO, wilayah utama Rusia dapat ditaklukan dengan mudah apabila Moskow berencana untuk mengancam Eropa. 

Bagi Rusia, tentu hal ini merupakan suatu ancaman yang sangat berbahaya. Bilamana Pasukan NATO ditempatkan di Ukraina, Moskow tidak akan memiliki ruang gerak yang cukup untuk memperkuat pengaruhnya terhadap negara-negara eks-Soviet, terutama wilayah Baltik dan Laut Hitam. Selain itu, Moskow akan sulit melakukan negosiasi dengan Ukraina karena status politiknya yang semakin kuat didukung oleh negara-negara NATO.

Dari alasan ekonomis, posisi Ukraina merupakan jalur pipa gas yang sangat penting bagi Eropa. Ekspor gas bumi Rusia ke Eropa mayoritas melalui pipa gas yang berada di wilayah Ukraina dan Laut Hitam. Gas bumi menjadi komoditas krusial Eropa untuk menghidupkan listrik serta penghangat mereka. Apabila Rusia menguasai Ukraina, akan dengan mudah bagi Rusia mengatur arus ekspor komoditas ini tanpa perlu memikirkan penolakan dari Ukraina. Tentu hal ini akan memperkuat pengaruh Rusia di Eropa. Inilah yang mengakibatkan beberapa negara Eropa merasa enggan untuk membantu Ukraina, seperti Jerman yang berdilema untuk mengirim pasukannya.

Terakhir, ialah alasan politis. manuver Vladimir Putin untuk melakukan agresi terhadap Ukraina tak lepas dari berkurangnya elektabilitas dirinya di mata publik Rusia. Kemunduran Ekonomi, mosi pro-demokratis, serta pandemi yang memukul sektor publik Rusia sangat memengaruhi pandangan publik terhadap Putin. 

Selain itu, Pemilu Presiden Rusia yang akan digelar dua tahun lagi dapat mengancam kekuasaan Putin bila ia berambisi untuk mempertahankannya. Hal ini bukanlah spekulasi belaka, mengingat agresi Putin di Krimea pada 2014 lalu meningkatkan popularitasnya secara signifikan, adalah suatu hal yang logis bila tindakan agresi ini merupakan manuver politiknya.

Bagi NATO, permasalahan politik sebetulnya bukanlah hal yang paling signifikan. Namun, bagi Amerika, konflik Ukraina akan mempertaruhkan nama mereka di panggung Internasional. Apalagi setelah mundurnya pasukan mereka dari Afghanistan, Amerika perlu mencari muka untuk mengembalikan reputasinya. 

Jika dilihat dari manuver internasional Biden pun, ia kurang begitu tertarik dengan Ukraina dan lebih memilih memfokuskan pada masalah Asia, terutama Laut Cina Selatan. Amerika harus bertindak cepat untuk tetap mempertahankan komitmen negara mitra mereka. Hal ini akan memengaruhi tingkat kepercayaan negara-negara sekutu Amerika untuk tetap memercayai dirinya sebagai kekuatan adidaya.

Lalu, bagaimana konflik ini akan berakhir? Saya sulit untuk menerka apakah konflik ini akan berakhir menjadi kontak senjata atau tidak. Rusia kemungkinan besar tidak menginginkan konflik berkelanjutan mengingat kekuatan ekonominya selama beberapa tahun terakhir mengalami pelemahan, terutama setelah sanksi Barat akibat pencaplokan Krimea. 

Moskow memang akan terlihat digdaya saat mengirimkan ribuan perlengkapan perang dan juga ratusan ribu pasukan, tetapi permasalah domestik Rusia akan semakin memburuk bila perang besar terjadi. Tetapi tak terelakkan pula, alasan politis yang sudah disebutkan sebelumnya mengakibatkan manuver ini adalah suatu keharusan. Bagaimanapun, Pemerintahan Rusia akan dilema untuk tetap angkat senjata, atau berunding di meja.

Bila membicarakan Barat, terdapat keraguan terhadap solidaritas untuk membendung Rusia. Permasalahan sosial, ekonomi dan gejolak politik di negara Eropa selama pandemi membuat mereka sulit untuk berfokus terhadap permasalahan internasional. Hal ini seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terlihat pada beberapa negara Eropa. 

Jerman sebagai pemimpin Eropa saat ini terlihat tidak antusias dan hanya ingin eskalasi secara pasifis. Sementara itu, Perancis tidak memberikan komitmen kuat apakah akan mengirim pasukannya atau berdiplomasi. Hal ini kontras dengan Inggris yang secara terang-terangan akan membantu Ukraina dalam membendung Rusia. 

Pada akhirnya, Ukraina akan menjadi tali tarik tambang antara Barat dan Timur. Segala manuver politik baik Ukraina, Barat, dan Timur akan memiliki efek signifikan bagi keberlangsungan konflik ini. Apabila seluruh pihak masih mempertahankan inisiatif politiknya, tak bisa dipungkiri bahwa Eropa akan semakin panas dan seluruh Dunia akan menatap Eropa Timur. Waktu terus berlalu dan begitu pula para pasukan yang menunggu. Bagaimana akhir konflik ini, hanya waktu yang dapat memberi tahu.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran