Ketika membaca Sayap-Sayap Patah, saya merasakan kegetiran yang dialami oleh seorang Gibran ketika cintanya direnggut oleh entitas lain. Gibran jatuh cinta pada Selma Karamy, anak perempuan dari sahabat ayahnya, Farris Effandi Karamy. Pertemuan keduanya berujung pada perkenalan Selma dan Gibran hingga benih-benih cinta timbul di antara mereka.
Novel ini mengambil judul Sayap-Sayap Patah–dalam bahasa Arab, al-Ajnihah al-Mutakassirah–yang agaknya untuk menggambarkan kegetiran yang dialami Gibran. Kisah cinta Gibran dan Selma harus patah akibat hadirnya seorang pendeta yang datang melamar Selma untuk keponakannya, Mansour Bey Galib. Pada zaman itu, hampir tidak ada yang bisa menentang keinginan seorang pendeta, termasuk Farris Effandi, ayah Selma. Meskipun Farris tahu betul Mansour adalah sosok yang kasar dan niat mereka melamar Selma bukan sebab cinta melainkan harta kekayaan Farris.
Bila kebanyakan tulisan tentang Sayap-Sayap Patah berfokus pada patahnya hati Gibran terhadap Selma, saya memilih untuk tidak terlalu terfokus pada poin tersebut. Sebab, selain karena memang sudah banyak yang membicarakan, saya merasa itu hanya akan mengorek luka lama yang sudah susah payah saya sembuhkan.
Saya justru melihat dari sisi kemurnian cinta yang dimiliki oleh Gibran dan Selma. Ada banyak sekali kutipan teduh dalam buku tersebut perihal cinta yang membuat saya senyum-senyum sendiri membacanya. Bahkan mungkin orang-orang akan melihat saya gila karena tersenyum ketika membaca kisah yang tragis. Tapi sekali lagi, poin saya pembahasan bukan mengarah ke situ.
Apa itu Cinta?
Pada perjalanan awal saya memahami cinta, saya selalu beranggapan bahwa cinta sejati selalu mengkultuskan satu nama yang dipuja. Namun pada akhirnya saya berpikir bahwa pemujaan atas individu akan bersifat fana, karena manusia bergerak dinamis. Cinta tidak akan menjadi abadi jika yang dipuja adalah sosok, bukan cinta itu sendiri. Banyak sekali perubahan yang dialami manusia seiring berjalannya waktu, seperti sifat dan rupa yang terus berubah yang akan memudarkan cinta.
Sosok seharusnya hanya jadi sifat perantara akan pemujaan pada bentuk cinta sesungguhnya. Dalam hal ini, Gibran melihat Selma sebagai seberkas cahaya yang membawanya memahami makna kehidupan. Selma menuntun Gibran untuk masuk dengan rela ke dalam surga cinta murni dan kebenaran dengan kemanisan dan cinta kasihnya.
Dalam Sayap-Sayap Patah, Gibran berumpama kisah Adam dan Hawa untuk menggambarkan kisahnya. Sebilah pedang membara mengusir Adam dari Surga mirip dengan apa yang menakut-nakuti Gibran dan memaksanya untuk menjauhi surga cinta yang berwujud Selma. Bedanya, Gibran tidak pernah mengabaikan suatu perintah selayaknya Hawa meminta Adam mencicipi buah dari pohon terlarang.
Sependek pemahaman saya pada bagian awal dalam novel ini, Gibran tidak serta-merta hanyut pada kecantikan sosok Selma. Akan tetapi, Selma lah yang menghadirkan cinta untuk Gibran. Hal tersebut yang menjadikan cinta tersebut kokoh. Konsekuensi yang diterima, ketika cinta tersebut telah mati (atau dipaksa mati), yang tersisa hanya sebaris kedukaan yang bersemayam di atas pusara. Meninggalkan mimpi-mimpi indah dan kenangan yang menyakitkan. Persis seperti sebuah sayap yang patah, tidak bisa lagi mengepak.
Sayap-Sayap Patah Menggali Perspektif Baru Perihal Cinta
Cinta, pada dasarnya merupakan sesuatu yang amat dekat dengan manusia sekaligus paling misterius dan sukar untuk dipahami. Seseorang dapat berbicara, menulis puisi cinta, dan bahkan menasehati orang jatuh cinta. Tapi jika orang itu belum pernah merasakan jatuh cinta, apa yakin yang mereka bicarakan itu betul-betul cinta?
al-Ajnihah al-Mutakassirah memberikan saya perspektif bahwa untuk memahami jatuh cinta perlu masuk dalam relung paling dalam dari cinta itu sendiri. Jatuh cinta membuka pikiran dan memberi pengetahuan tentang apa yang sebelumnya tidak diketahui.
Namun terkadang, ketika telah mengalami jatuh cinta sekalipun, perasaan asing terhadap cinta itu sendiri masih ada. Dalam novel ini pula, Gibran menjelaskan dengan diksi-diksi puitis untuk menjelaskan bagaimana sulitnya memahami cinta. Cinta dapat mengubah realitas yang ada dalam waktu singkat, mengubah cara pandang seseorang atas sesuatu, dari yang tadinya amat asing menjadi lebih familier atau sebaliknya. Cinta dapat menguras sekaligus memenuhi hati seseorang dengan dukacita dan kebahagiaan. Meskipun demikian, dimensi rasa akan membawa pengetahuan atas cinta hanya pada seseorang yang mengalaminya.
Dari Sayap-Sayap Patah pula, saya menjadi lebih memahami bahwa cinta merupakan pertemuan dua jiwa. Cinta dapat hadir dan bertumbuh ketika dua jiwa berada pada satu gelombang frekuensi yang sama.
Selayaknya Gibran dan Selma, cinta mereka tumbuh karena berada pada frekuensi yang sama. Kesamaan itu membuat dua jiwa bertaut dan lebih membuat bahagia ketimbang dengan jiwa yang berada di level dan frekuensi yang berbeda.
Gibran yang pada dasarnya seorang pemurung dan tidak ceria karena dalam hidupnya mengalami banyak masalah, bertemu dengan Selma yang merupakan seorang pemurung juga. Kemurungan dan kesedihan jiwa Gibran dan Selma bertemu dalam frekuensi yang sama dan berakibat jiwa mereka menjadi mudah bertaut. Seperti halnya Gibran menulis,“Jiwa yang duka menemukan ketentraman manakala bersatu dengan sesama. Jiwa-jiwa itu bersatu dalam kebersamaan rasa. Seperti orang asing yang bergirang hati manakala bertemu dengan orang asing lainnya di negeri asing. Seperti hati yang disatukan lewat dukacita takkan terpisahkan oleh kemenangan rasa bahagia.”
Cinta dan Narasi Kepedihan Akibat Patah Hati
Perlu diakui, cinta tidak hanya berbicara perihal kebahagiaan dan sukacita melainkan tentang kepedihan dan penderitaan juga. Meski saya enggan membahas bagian ini, tapi kurang fair rasanya bila hanya menceritakan hal-hal baik dari cinta. Terlebih, penderitaan merupakan aspek paling menonjol dari Sayap-Sayap Patah.
Bila dibandingkan cerita lain dari tanah Arab yangbertema serupa, seperti Layla Majnun karya Nizami Ganjavi, penderitaan Gibran dan Selma dipengaruhi perampasan cinta oleh individu lain alih-alih karena penolakan. Dua jiwa yang awalnya saling menerima harus dipatahkan akibat realitas sosio-kultural pada masa itu yang tidak menghendaki mereka berjalan bersama hingga akhirnya penderitaan itu hadir secara bertahap.
Keadaan yang memaksa untuk menerima kepahitan memang sulit untuk dijalani, tetapi kembali lagi, itu adalah konsekuensi nyata dari jatuh cinta. Selalu ada orang yang mengatakan bahwa cinta hadir untuk berpisah. Entah itu karena suratan takdir kematian atau dipisahkan realita yang ada. Saya mengamini itu, karena telah mengerti bagaimana hal itu terjadi.
Cinta Gibran dan Selma membuka pikiran saya untuk belajar menerima apa yang telah terjadi sejauh ini. Karena sejauh apapun kita menolak menerima, mempertanyakan mengapa bisa terjadi, bila hal itu telah datang menghampiri, apa yang bisa diperbuat? Cinta datang untuk mengisi sekaligus menguras hati seseorang dengan kedukaan dan kebahagiaan, hal itu yang saya pelajari dari novel ini.
Editor: Nurul Hanifah