Belakangan, pembicaraan terkait pembatasan penggunaan volume speaker masjid tak henti menjadi pembicaraan di kalangan pengguna media sosial. Terbaru, isu ini kembali ramai setelah adanya pemberitaan Kementerian Urusan Islam Arab Saudi yang mengeluarkan surat edaran yang membatasi penggunaan speaker masjid.
Aturan ini mulai berlaku untuk menyambut bulan Ramadhan. Tentu saja, aturan ini menuai reaksi di kalangan netizen Indonesia, walaupun aturan tersebut berlaku di Arab Saudi. Reaksi ini agaknya cukup normal mengingat aturan serupa juga sempat menghiasi lini masa media sosial Indonesia.
Reaksi tersebut pada akhirnya mengundang kesan ‘menggelitik’ dengan komentar yang mengaitkan dengan reaksi orang yang kontra dengan aturan serupa yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Indonesia beberapa waktu lalu.
Sebagaimana diketahui, beragam riuh pendapat pro dan kontra mengenai pengeras suara masjid pernah banyak menghiasi jagat media di Indonesia beberapa waktu lalu. Silang pendapat yang tak jarang berakhir adu jotos argumen tersebut memperlihatkan bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia mudah sekali terguncang akibat logika berpikir yang amat sempit.
Goncangan itu bermula dengan adanya Surat Edaran Menteri Agama No. 5 Tahun 2022 tentang penggunaan pengeras suara masjid atau musala. Salah satu yang diatur adalah mengenai volume maksimal pengeras suara, yaitu maksimal 100 desibel. Langkah Menteri Agama untuk mengatur penggunaan pengeras suara masjid ini dinilai tepat oleh sebagian pihak, sebab dewasa ini seringkali terjadi penyalahgunaan speaker masjid untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan yang bersifat keagamaan.
Namun, langkah Menteri Agama ini juga dinilai sebagai pembatasan kegiatan beribadah umat muslim di Indonesia, bahkan ekstremnya, dianggap berusaha menghilangkan suasana Islam di lingkungan masyarakat Indonesia.
Di luar dari kontroversi, yang harus diperhatikan dari SE & pernyataan Menag soal pengeras suara masjid adalah aturan yang akan membatasi penyalahgunaan speaker masjid, bukan semata-mata larangan azan atau bahkan menyamakan azan dengan gonggongan anjing. Sulit sekali menafsirkan Surat Edaran Menag beserta pernyataannya di Pekanbaru sebagai hal-hal demikian. Faktanya, jelas sekali dalam Surat Edaran Menteri Agama No. 5 Tahun 2022 tersebut masih memperbolehkan azan. Hal yang menjadi tujuan mengapa speaker masjid perlu diatur pun jelas, untuk mempersempit penggunaan pengeras suara luar yang nantinya terbatas hanya untuk azan, iqamah, dan pengajian beberapa menit sebelum masuknya waktu salat.
Jika jemaah masjid ingin melakukan pengajian di luar dari aturan yang ditetapkan, pun tetap diperbolehkan. Namun, disarankan untuk menggunakan pengeras suara dalam.
Sementara untuk kasus Arab Saudi, dikutip dari The National melalui Kompas, keputusan tersebut didasarkan pada hukum Islam dan sabda Nabi Muhammad. Pasalnya, bahkan saat salat berjamaah pun, mereka tidak boleh menyebabkan ketidaknyamanan satu sama lain melalui bacaan keras selama salat. Surat edaran itu juga menekankan bahwa suara imam harus didengar oleh semua orang di dalam masjid selama saalat, tetapi tidak perlu didengar di rumah terdekat atau di luar.
Aturan ini dinilai perlu mengingat keadaan yang terjadi di masyarakat. Selain karena memang kerap disalahgunakan, pembatasan penggunaan speaker masjid ini untuk menciptakan keharmonisan dan kenyamanan dalam melaksanakan syiar agama Islam.
Mengutip dari BBC, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung aturan tersebut, tetapi meminta Kementerian Agama (Kemenag) untuk tidak kaku dalam pelaksanaannya dan disertai insentif kepada tempat ibadah sehingga dapat meningkatkan kualitas pengeras suaranya. Senada dengan MUI, Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga mendukung pengaturan tersebut, tetapi dengan menggunakan pendekatan persuasif karena penggunaan pengeras suara telah menjadi “budaya” dalam masyarakat.
Aturan ini juga mengatur perihal volume maksimal untuk pengeras suara Masjid. Hal tersebut dilakukan demi menghindari adanya kebisingan berlebih. Terkadang, masyarakat yang sedang melakukan kegiatan yang membutuhkan ketenangan harus terganggu dengan ‘kebisingan’ masjid. Selayaknya seorang ibu yang susah payah menidurkan bayinya agar ia bisa mengerjakan pekerjaan rumah lain.
Aturan ini pun dinilai sebagai pijakan bahwa orang tidak serta merta bisa dipidana karena protes suara keras yang berasal dari speaker masjid hanya karena mengkritisi suara masjid yang dianggap terlalu bising. Dengan demikian, kasus penistaan agama seperti yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dengan terdakwa Meiliana yang divonis 18 bulan penjara tidak terjadi kembali.
Demikianlah, berbagai macam kebijakan yang dinilai sumbang sebetulnya tidak melulu menghasilkan produk aturan buruk kepada masyarakat. Salah tafsir di kalangan masyarakat sendirilah yang sebetulnya menciptakan gaduh-gaduh yang membuat goncangan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Terdengar mustahil rasanya apabila aturan ini dipersepsikan untuk mengurangi bahkan menghilangkan gema syiar Islam di Indonesia, mengingat negara ini menyandang predikat sebagai negara dengan umat muslim terbesar di dunia. Suatu hal yang jelas, aturan ini keluar hanya semata-mata untuk menghindari anggapan lebih jauh dari sebagian pihak bahwa suara masjid ‘mengganggu’ dan lebih mengutamakan kenyamanan dan ketentraman antar umat beragama di Indonesia.