“Kritik Harus Membangun”: Politisasi Bahasa Tinggalan Orba yang Nggak Harus Dilestarikan

Muhammad Firyal Dzikri
788 views
','

' ); } ?>

Akhir-akhir ini, jagat media sosial diramaikan lagi oleh permasalahan RKUHP yang kian pelik. Draft RKUHP yang telah diperbantukan kepada DPR RI, tinggal beberapa langkah lagi akan disahkan. Namun, yang masih menjadi persoalan ialah terdapatnya pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP tersebut. Sebelumnya, pada 2019 lalu, wacana mengenai RKUHP mendapat penolakan keras dan memicu gelombang demonstrasi. Akibatnya pengesahan RKUHP ditunda terlebih dahulu, yang katanya, untuk mendengarkan masukan dari publik.

Sekarang, persoalan RKUHP kembali mengemuka dan selama penundaan tersebut, pasal-pasal kontroversial masih tetap termuat. Salah satu pasal kontroversial termuat dalam pasal 218 ayat (2) yang berbunyi: “Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.” Dalam kalimat berikutnya, “Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang obyektif.”

Kalimat yang saya beri tanda tebal tersebut merupakan pasal yang kontroversial. Gimana nggak, kritik terhadap presiden dan wakilnya haruslah disertai dengan solusi. Padahal urusan solusi, sih, harusnya urusan yang ada di atas hehe. Namun, kritik yang mewajibkan solusi sebetulnya pernah dipake sejak lama, loh.

Kritik Ala Soeharto: *) S&K Berlaku

Istilah “kritik harus membangun” sudah digunakan pada masa Soeharto berkuasa. Tujuannya, tak lain dan tak bukan, tentu saja menciptakan pemerintahan yang “tentram” dan stabil. Makanya, usaha-usaha kritik terhadap Soeharto dibungkam dengan penggunaan istilah “kritik harus membangun.” 

Dalam Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XV 1993, Soeharto mewanti-wanti kalau kritik itu harus bermutu―dengan merujuk Pedoman Pelaksanaan Penghayatan Pancasila (P4) ―serta harus “…sopan santun. Di mana-mana etika itu ada,” ungkap Soeharto dalam buku tersebut.

Bagi Soeharto, kritik yang meresahkan dan keluar dari pakem yang telah ia sebutkan hanya akan membuat kondisi tidak “stabil.” Terlebih lagi ketika kritik ditambah dengan embel-embel “membangun.” Kata “membangun” sendiri sudah sangat familiar pada masa Orde Baru. 

Gak heran, toh, rezim tersebut lebih berorientasi dan begitu terobsesi dengan pembangunan. Makanya, semua hal harus membangun, termasuk kritik sekalipun heheu. Akibatnya, Orde Baru berhasil meredam kritikan yang berpotensi menimpanya secara lebih jauh. Pun istilah tersebut udah mirip mantra yang dipake dari pejabat tingkat atas sampe tingkat RT.

Emangnya Kritik Harus Membangun? Ga Juga!

Istilah “kritik yang membangun” telah lazim dipakai oleh Soeharto dan Orde Barunya. Padahal, sekarang Orde Baru udah mampus, tapi tinggalannya seolah ga kehapus kayak kenangan mantan. Mirisnya lagi, istilah ini digunakan lagi di era Reformasi, yang katanya berpilar pada kebebasan berpendapat hmmm. Dan makin ironis lagi dipake dalam produk hukum pula, astaga!

Padahal kalau berpilar pada kebebasan berpendapat, istilah “kritik yang membangun” seharusnya tidak lagi relevan dan tidak perlu dipakai kembali. Istilah tersebut mengindikasikan bahwa sebelum mengkritik harus juga memikirkan solusinya apa, akibatnya, ya, orang makin enggan dong buat kritik. Ngalamin masalah yang harus dikritik aja udah pening, ini harus mikirin solusinya apa, hadeuh.

Padahal, lazimnya kritik merupakan tindakan dalam meninjau dan melihat persoalan secara lebih jeli dan kritis. Apa yang diungkapkan dalam kritik tentu saja bukan hanya kebaikan, tetapi juga kejelekannya yang udah-udah. Sikap kritis dalam melakukan kritik inilah yang menjadi jembatan dalam menyoroti permasalahan secara lebih tajam. 

Jadi, ya, jangan heran kalau kritik pada dasarnya emang bikin telinga merah dan jiwa meradang. Singkatnya, kritik lebih berkonotasi pada hal-hal yang sifatnya menyentil dan menyoroti persoalan secara kritis, betul ketika Daniel Dhakidae menegaskan bahwa kritik haruslah tajam menghujam, menguliti apa yang tersurat dan menohok yang tersirat, menjelujur hingga jantung persoalan.

Lain dengan kritik, lain pula dengan kata “membangun.” Kata tersebut lebih condong pada hal-hal yang cenderung menunjukan sebuah pencapaian yang positif. Padahal dalam kritik kan ga sepenuhnya seperti itu. Jika kritik harus membangun, akan sangat sulit menyentil persoalan yang dikritik karena terkekang oleh “norma” yang sengaja diciptakan untuk menumpulkan kritik itu sendiri.

Intinya, ya, namanya kritik ga perlu membangun. Kritik, ya, lakukan aja sebagai trigger warning buat menyentil hal-hal yang harus disentil.

Membangun dengan Kritik: Upaya Lepas dari Jerat Logika Orba

Sudah seharusnya istilah “kritik harus membangun” kita enyahkan. Dalam konteks inilah mereka yang dikritik bukan bertindak pasif, berdiri di belakang ketiak penguasa atau aturan hukum yang karet, tetapi bersifat aktif dalam menerima kritik. Toh kritikan juga pada hakikatnya sebagai konsekuensi dalam kehidupan demokrasi dan pertanggungjawaban atas jabatan yang diemban.

Pun dengan istilah “membangun dengan kritik” dapat memantik diskusi dan perdebatan ihwal persoalan yang tengah dibincangkan secara lebih jauh. Jadi, persoalan kritik ga harus melulu disertai solusi, kalau logiknya kayak gitu gimana mau maju, maunya disuapin terus hehe.

Memang sudah seharusnya kritik digunakan sebagai upaya reflektif dalam meninjau kembali atau upaya korektif terhadap hal yang menjadi kritikan. Kritik haruslah dijadikan sebagai suatu hal yang lumrah dalam ruang-ruang kehidupan, toh kritik pun pada dasarnya ga harus disikapi sebagai bentuk permusuhan, tetapi sebagai upaya bersama dalam memperbaiki persoalan yang terjadi.

Kenikmatan dalam kebebasan berpendapat di era Reformasi ini sejatinya mesti disikapi dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, termasuk dalam perumusan pasal yang akan digunakan di lingkungan warga negara. Untuk itu, jika logika “kritik yang membangun” dilegalisasi dalam regulasi hukum, hal tersebut yang dapat membahayakan kehidupan berdemokrasi, terlebih jika pasal tersebut bersifat karet. Segala bentuk kritik apabila tak membangun, akan diselewengkan sebagai tindakan “penghinaan” atau, dalam bahasa Orde Baru, subversif. TBL alias Takut Banget Loh!

Bukan Persoalan Bahasa Semata

Istilah “kritik harus membangun” yang dipopulerkan pada masa Orde Baru tampaknya masih sangat eksotis untuk digunakan kembali di era setelahnya, Reformasi. Persoalan istilah tersebut sejatinya memang persoalan bahasa, tetapi persoalan tersebut jangan hanya diciutkan sebatas “bahasa” dan dianggap tak memiliki pengaruh luas.

Ariel Heryanto dalam tulisannya berjudul Jerat Warisan Bahasa Orde Baru, bahasa bukanlah perangkat yang netral, ia tak lepas dari struktur kekuasaan yang mempolitisasi bahasa untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, politisasi bahasa seperti itu yang kemudian membuat persoalan bahasa menjadi lebih kompleks tatkala diterapkan ke dalam aturan hukum.

Persis dengan kasus dalam salah satu pasal RKUHP tersebut. Jika dibiarkan akan sangat berbahaya karena dikhawatirkan mengancam kebebasan berpendapat, terlebih ketika hendak mengkritik pemerintah yang mengharuskan adanya solusi. Akan sangat aneh masyarakat yang akan mengkritik rumitnya sebuah kebijakan, harus dibebankan pula memberikan alternatif solusinya. Ibarat sudah jatuh ketiban tangga. Kalau masyarakat kritik harus ada solusi, lalu bagaimana dengan pemerintah sendiri?

***

Jika seandainya istilah tersebut tetap dipertahankan dan RKUHP disahkan, apa bedanya dengan masa Orde Baru yang getol meredam kritik? Bukankah ini bentuk nyata dari kemunduran berdemokrasi, ketika kritik seolah dibatasi lewat regulasi hukum?

Secara tersirat, dalam tajuk tulisan ini, saya juga hendak menegaskan kembali bahwa istilah “kritik harus membangun” haruslah ditinggalkan. Alasannya karena merupakan tinggalan Orde Baru yang dapat mengekang kebebasan berpendapat―saya tidak menggunakan kata “warisan” karena akan mengindikasikan bahwa istilah Orde Baru tersebut akan diwarisi dan digunakan kembali, meskipun sekarang hendak digunakan kembali. Aneh.

Semoga saja para pejabat mafhum dengan makna istilah dan konteks historis istilah tersebut, itupun bila mereka menerima kritik hehe.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran