“Duka itu akan perlahan hilang. Namanya akan kembali terlupakan. Pertandingan akan kembali dimainkan, suporter kembali bersorak-sorai. Tapi ibunya? Seumur hidup akan membenci sepakbola.”
Duka mendalam yang kini terjadi tidak hanya dirasakan oleh para insan sepakbola, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia, bahkan mungkin dunia. Peristiwa kelam–amat kelam–merenggut ratusan nyawa, menyisakan tangis ratusan orang tua, dan meninggalkan jejak luka. Mereka tahu, anaknya pamit untuk menonton sepakbola, bukan pergi untuk selamanya.
Saya masih ingat betul malam di mana peristiwa naas itu terjadi, saya membatalkan niat menonton pertandingan liga Spanyol antara Sevilla menghadapi Atletico Madrid. Hati saya terlampau sesak, saya marah, kecewa, dan kalut melihat puluhan nyawa hilang begitu saja hanya karena sebuah pertandingan sepakbola di malam itu—kini sudah berjumlah ratusan.
“Tak ada satupun kemenangan yang sebanding dengan nyawa” adalah kalimat paling klise, basi, dan hanya dipakai sebagai jargon semata tanpa adanya pemahaman yang mutlak dari esensi dari pertandingan sepakbola itu sendiri. Football it’s just a game. Sepakbola adalah medium paling nyata untuk menyampaikan pesan-pesan tentang cinta, persaudaraan, persatuan, dan saling menghargai—apalagi di era industrialisasi ini.
Saya mengerti, Aremania turun ke lapangan untuk menumpahkan rasa kekecewaan akibat buruknya performa tim kebanggaan mereka. Namun, sikap anarkisme dan intimidatif rasanya bukan suatu jalan untuk menumpahkan kekecewaan.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menghakimi siapa yang pantas dijadikan kambing hitam secara mutlak. Berbagai elemen yang terlibat turut andil dalam peristiwa paling kelam dalam sejarah sepak bola di negeri ini.
Meskipun Komisi Disiplin PSSI telah memutus hukuman terhadap Arema FC dan panitia pelaksana pertandingan, tetapi bagi saya, itu belum cukup. Masih banyak aspek yang perlu dibenahi.
Seperti yang sudah beredar, panpel Arema FC telah mengirimkan permohonan kepada PT. LIB sebagai regulator liga agar pertandingan dimajukan ke sore hari. Namun, permohonan pemajuan sepak bola tersebut ditolak PT. LIB. Konon, penolakan ini didasari rating televisi yang tinggi pada malam hari.
Indosiar sebagai pihak broadcaster dapat dikatakan memiliki andil, mengingat semua sepak bola pertandingan Liga 1 yang digelar malam hari berlangsung di atas pukul 8 malam. Penyelenggaraan sepak bola yang dinilai terlalu malam ini yang menjadi sorotan berbagai elemen suporter hingga akhirnya disuarakan tagar #boikotIndosiar beberapa waktu lalu dengan tuntutan adanya perubahan jam tayang dan waktu sepak bola dengan alasan keamanan penonton ketika malam hari.
PSSI sebagai federasi pun dirasa kurang tegas dalam mengambil sikap terhadap berbagai kerusuhan yang terjadi dalam sepak bola Indonesia. Berbagai hukuman yang diberikan seakan tidak pernah menimbulkan efek jera. Hukuman hanya berakhir dengan denda ratusan juta hingga milyaran rupiah yang entah uangnya mengalir ke mana. Seolah tunduk pada permintaan pihak broadcaster, PSSI menghiraukan gugatan suporter yang meminta kickoff digelar tidak terlalu malam.
Panpel Arema FC kini telah diputus bersalah oleh Komdis PSSI. Beredar kabar bahwa panitia penyelenggara mencetak tiket melebihi kapasitas stadion. Bahkan, kabar terbaru terdapat indikasi kelalaian panpel terkait ditemukannya botol miras bersegel di dalam stadion. Namun, hal tersebut telah dibantah oleh perwakilan Aremania.
Selain itu, pihak keamanan, dalam hal ini TNI dan Polri, perlu dievaluasi terkait kemampuannya dalam crowd management. Pernyataan Polda Jatim bahwa gas air mata yang digunakan untuk mengendalikan massa itu telah sesuai SOP. Pertanyaannya, SOP siapa?
Dalam ranah sepak bola, aturan yang dipakai tentu regulasi yang telah ditetapkan induk sepak bola dunia, yaitu FIFA. Dalam regulasi, FIFA dengan tegas melarang penggunaan gas air mata yang dicantumkan dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pasal 19b. Lagi-lagi, faktor keamanan diabaikan.
Apakah nalar mereka tidak sampai untuk memikirkan bahwa stadion itu adalah ruang tertutup? Mereka yang ada di stadion bukanlah demonstran di gedung parlemen atau istana negara, tetapi keluarga yang ingin menikmati malam dengan suguhan permainan sepak bola.
Harapannya, peristiwa kelam ini menjadi titik balik yang merestorasi sepak bola Indonesia secara keseluruhan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris pasca peristiwa Hillsborough tahun 1989.
Pada era Hooligan, sedang marak-maraknya di sepak bola Inggris, mereka kerap disusupi ideologi politik tertentu untuk memainkan peran sebagai biang rusuh. Puncak gunung es Hooliganisme Inggris terjadi ketika peristiwa Tragedi Heysel 1985 dan Tragedi Hillsborough 1989 yang total menghilangkan ratusan nyawa. Meskipun banyak yang meyakini bahwa tragedi tersebut bukan sepenuhnya ulah Hooligan, tragedi tersebut membuat Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris kala itu, marah besar dan semakin mengukuhkan ketidaksukaannya pada sepak bola dan basis suporter yang militan.
Thatcher sepenuh hati mendukung sanksi larangan bertanding di kompetisi Eropa yang diberikan oleh Asosiasi Sepak bola Uni Eropa (UEFA) untuk klub-klub Inggris. Padahal, kala itu klub Inggris sedang berada di puncak kejayaan. Thatcher hanya ingin menghilangkan Hooliganisme yang terlanjur mengakar di budaya sepak bola Inggris. Untungnya, setelah hukuman dicabut pada tahun 1990, Inggris merestorasi iklim sepak bolanya hingga lebih tertata hingga ke aspek pengendalian massa yang membuat kerusuhan antarkelompok suporter dapat lebih diminimalisir.
Hukuman perlu diberikan secara tegas. Tanpa memikirkan kepentingan apapun–apalagi masih memikirkan tuan rumah Piala Dunia U-20–hukuman tegas perlu diberikan kepada klub, bahkan liga atau federasi. FIFA dan AFC, tolonglaaaaaaah~
Sepak bola di negara ini merupakan olahraga favorit, olahraga rakyat, dan olahraga yang (seharusnya) dapat mempersatukan. Fanatisme bangsa ini terhadap sepak bola tak perlu diragukan lagi. Namun, sayangnya cinta mereka kepada sepak bola kadangkala tak dibarengi oleh akal sehat sehingga hanya menampilkan fanatisme buta.
Tragedi Kanjuruhan seakan memberikan bukti bahwa negara ini gagal menyelenggarakan sepak bola. Negara ini terlampau besar dengan sepak bola yang jalan di tempat selama puluhan tahun. Sepak bola bangsa ini hanya dijadikan alat pemuas kepentingan oleh orang politik bau tengik.
Sejak puluhan lalu, entah berapa ratus nyawa telah melayang sia-sia hanya karena sebuah pertandingan sepak bola. Tapi, pernahkah bangsa ini berpikir, mengapa lingkaran setan ini terus berputar dan seakan tidak pernah ingin berhenti?