Invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki tarikh satu tahunnya. Puncak dari hubungan tegang antara Moskow dan Kyiv setelah Revolusi Maidan dan Separatisme Donetsk-Luhansk pada 2014 telah membawa kedua kubu pada perang terbuka secara langsung pada 24 Februari tahun lalu. Apa yang menjadi angan Putin akan “Operasi Militer Spesial” yang diharapkan berlangsung selama 3 hari berakhir menjadi konfrontasi penuh korban selama satu tahun. Pasukan terjun payung Rusia, VDV gagal untuk mengambil Bandara Hostomel yang penting untuk jalur suplai para penyerang yang akan datang dari wilayah Belarus. Serangan Pasukan Barat untuk menembus Kyiv dan menaklukan ibu kota pun dihalangi serangan gerilya hebat dari pasukan Ukraina dan gerilyawan lokal. Tentara Rusia harus bertahan tepat di depan gerbang ibu kota Ukraina. Hingga akhirnya, Moskow menarik kembali Pasukan Barat ke pertahanan di Belarus pada akhir Maret 2022 lalu.
Kegagalan serangan Kyiv ini mengakibatkan kabar buruk yang mungkin telah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya sebelum perang ini terjadi. Moskow gagal mendapatkan kemenangan kilat dalam menaklukan Pemerintah Kyiv dibawah Volodymyr Zelenskyy. Rusia harus menerima akan adanya konfrontasi yang berlangsung lama di mana akan membahayakan permasalahan domestiknya. Sanksi yang telah diberikan oleh negara barat sejak 2014 semakin memberatkan ketika Rusia menginvasi Ukraina. Minyak dan Gas Rusia diberhentikan, proyek pipa gas Nordstream 2 harus pupus, dan terutama perlengkapan teknologi dari Perancis dan Jerman yang diperlukan Rusia untuk memodernisasi angkatan perang mereka terhenti. Konsekuensi ini membawa Putin tidak bisa kembali ke titik mundur. Jika ia memberhentikan Perang ini, itu sama saja dengan mengakibatkan citra sangat buruk bagi publik kepada dirinya dengan menyia-nyiakan puluhan ribu tentara Rusia yang telah tewas. Moskow juga akan butuh waktu panjang dan biaya yang sangat besar agar dapat mengembalikan kekuatannya seperti sebelum perang ini dimulai.
Saya juga cukup terkejut dengan responsi barat yang besar terhadap Ukraina. Dalam tulisan sebelumnya, saya menuturkan bahwa Washington terlihat kurang antusias dalam membantu pertahanan Ukraina (walau saya baru mengetahui bahwa kerja sama intelijen telah terbentuk sebelum perang berkecamuk). Kini, Washington menjadi sponsor bantuan militer terbesar untuk Ukraina. Jerman juga terlihat antusias dengan memberikan Ukraina peralatan militer (walau pada awalnya, saya cukup pesimis dengan gaya politik Scholz yang hanya ingin menggunakan diplomasi). Kini, Jerman telah memperbolehkan Tank Leopard 2 untuk dikirim ke Ukraina, bersamaan dengan mereka mengirimkan varian Leopard 2A6 yang masih dapat dikatakan standar mutakhir bagi Bundeswehr (Tentara Jerman).
Satu hal yang saya belum tambahkan dari tulisan sebelumnya ialah bagaimana situasi setelah perang ini berakhir nanti. Memang, dengan adanya batasan jumlah kata dari editor serta terlalu luasnya cangkupan tulisan tersebut maka tidak saya cantumkan. Namun, hal ini kembali menggugah saya untuk memikirkan bagaimana perang ini akan merubah wajah Eropa ataupun geopolitik dunia nantinya. Banyak spekulasi yang berkeliaran di internet bahwa perang ini akan berakhir pada kehancuran Federasi Rusia, ataupun kematian Putin “secara mendadak”, satu hal yang mungkin lebih liar adalah dengan diadakannya Revolusi Rusia kedua yang masih belum bisa saya gambarkan bagaimana hal itu akan terjadi, tapi satu hal yang saya yakini, perang ini akan merubah wajah Eropa Timur ke depannya.
Baik, mari terlebih dahulu dibahas, apakah kehancuran Federasi Rusia adalah hal yang mungkin? Saya menilai kejadian itu memiliki perbandingan 50:50 kemungkinan akan terjadi. Jika dilihat dari bagaimana Kekaisaran Rusia runtuh pada tahun 1917, belum ada orang yang sangat berkarisma dan bisa menggerakkan massa dari St Petersburg hingga Moskow sebesar Lenin untuk saat ini. Mungkin apabila pembaca sering mengikuti gejolak politik Rusia, sepintas nama Alexei Navalny dapat menjadi oposisi dari Putin. Akan tetapi, Navalny masih lemah secara kekuatan politik dan belum dapat menguasai suara mayoritas di perkotaan utama Rusia, seperti Petersburg dan Moscow.
Navalny sendiri belum memiliki basis tentara ataupun massa yang aktif. Selain itu dengan kondisi ekonomi Rusia pra pandemi yang masih sehat, tidak ada mosi yang bisa membangkitkan semangat revolusioner masyarakat. Kecuali, apabila perang ini semakin menjadi dan terus memaksa para pemuda Rusia untuk wajib militer, layaknya Tsar Nicholas II yang memantik para lelaki Rusia untuk berperang melawan Jerman dan Austria. Selama Militer belum berada dalam sisi para revolusioner, agaknya akan sulit untuk terus mempertahankan revolusi itu terjadi. Bila ditinjau lagi, perkiraan itu juga akan mematahkan kemungkinan akan Revolusi Rusia II.
Akan tetapi, hal yang dapat menjadikan kehancuran tersebut dapat terjadi adalah dengan munculnya tentara pribadi (Private Military Company/Private Army) di Rusia yang semakin beragam. Hingga saat ini, faksi Wagner PMC yang dipimpin Yevgeny Prigozhin menjadi faksi paramiliter yang memainkan peran paling menonjol dalam invasi Rusia ke Ukraina. Namun, semakin lama tiap kubu oligarki Rusia membentuk faksi paramiliternya sendiri. Sergei Shoigu, Menteri Pertahanan Rusia mengerahkan pasukan pribadinya bernama Patriot. Ramzan Kadyrov yang dikenal sebagai Presiden Chechnya pun memiliki tentara pribadi. Hingga tulisan ini dibuat, bahkan sekelas perusahaan minyak Rusia, Gazprom sudah membentuk tentara pribadi. Apabila pembentukan tentara pribadi ini semakin tidak terkendali, hanya menunggu waktu akan terjadinya saling perebutan kekuasaan akibat akuisisi senjata yang tidak teratur.
Skenario yang digambarkan sebelumnya juga terjadi saat Perang Sipil Rusia pecah tatkala kelompok Bolshevik menggulingkan Kekaisaran Rusia pada Revolusi Oktober 1917. Kekaisaran Rusia mengalami keruntuhan lalu diikuti kemerdekaan berbagai kelompok etnis dari bekas wilayah Kekaisaran yang mendapatkan bantuan militer dari banyak negara seperti Jerman, Inggris, Jepang, Swedia, Polandia, Perancis, dan Tiongkok (Republik). Berbagai negara mikro dan makro dari Sungai Dnieper hingga Ujung Timur Siberia saling memiliki intrik sendiri, walau pada akhirnya sebagian besar dari mereka terbagi menjadi dua faksi, yaitu Tentara Merah (Uni Soviet) dan Tentara Putih (Pasukan Pro-Kekaisaran pimpinan Alexander Kolchak) atau bila ditelaah juga ke tetangga mereka, Tiongkok, di mana masa Jenderal Perang (Warlord) pada 1920-1940an memerintah berbagai provinsi-provinsi di Tiongkok. Semuanya memiliki tentara pribadi yang bahkan memiliki angkatan udara tersendiri, walaupun perjalanan masa Jenderal Perang ini tidak sedestruktif bagaimana Perang Sipil Rusia terjadi.
Bagaimana dengan Ukraina sendiri? Saya masih cukup optimis mereka berada pada zona yang cukup nyaman, walau perang ini akan membuat mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk pulih seperti masa sebelum perang. Aksesi Ukraina sebagai kandidat Uni Eropa beberapa bulan setelah invasi dimulai menjadi pengamanan posisi keanggotaan negara ini dengan masyarakat Eropa sejak Revolusi Maidan 2014 lalu. Bila hal ini memang terus bergulir hingga keanggotaan resmi mereka, Ukraina akan mendapatkan bantuan ekonomi yang menjanjikan. Ukraina juga akan mendapat akses bantuan serta mitra perdagangan yang semakin erat dengan Eropa.
Saya juga optimis apabila Ukraina akan ditarik ke NATO. Dengan pengalaman perang yang cukup selama setahun ini serta adaptasi cepat dari Tentara Ukraina terhadap peralatan NATO, ini merupakan aset besar bagi Pakta Atlantik Utara tersebut sebagai bahan evaluasi dan pengalaman bagi medan pertempuran selanjutnya. Cukup ironis memang bahwa apa yang diimpikan Putin agar Ukraina tidak akan pernah bergabung dengan NATO harus pupus setelah invasi ini dimulai dan justru malah menjadi aset berharga bagi pakta tersebut. Serangan yang dimulai Putin dan komitmen besar para anggota NATO terhadap Ukraina akan semakin memantapkan diri masyarakat mereka untuk bergabung dalam pakta ini agar tetap mempertahankan eksistensi mereka.
Akan tetapi, semua hal manis ini mungkin harus dipikirkan sebagai suatu jangka panjang. Perang ini akan berakhir dengan korban serta kehancuran infrastruktur Ukraina (terutama Tepi Timur Sungai Dnieper atau Ukraina Timur). Ukraina akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali memulihkan segala infrastruktur yang rusak dan hancur akibat perang ini. Banyaknya penduduk yang meninggalkan Ukraina tatkala Pasukan Rusia semakin dekat dengan pintu kota Kyiv akan mengakibatkan pengurangan tenaga manusia yang signifikan untuk kembali membangun negeri mereka. Hal ini juga belum termasuk dari korban jiwa yang diakibatkan perang ini. Ukraina harus benar-benar berkomitmen dalam memperbaiki negaranya untuk dapat mengembalikan situasi sosio-ekonomi mereka seperti sebelum perang ini terjadi.
Dapat dikatakan, nasib Rusia dan nasib Ukraina akan saling bertolak belakang. Layaknya apa yang telah saya sebutkan dalam tulisan sebelumnya, Rusia memang terlihat digdaya ketika mengirim ratusan ribu tentara dan peralatan. Namun, permasalahan domestik mereka akan semakin memburuk (bahkan dapat menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan mereka sendiri). Ukraina mungkin akan memiliki prospek jangka panjang yang cukup menjanjikan, tapi itu semua harus ditelan dengan tingginya korban dan kerugian akibat perang ini. Perlu ada komitmen yang kuat bagi komunitas dunia untuk mengembalikan ketenteraman dari kedua negara bilamana perang ini berakhir.