Iduladha menjadi perayaan besar bagi umat Islam di dunia dengan ciri khas penyembelihan hewan, seperti sapi atau kambing sebagai kurban. Pada tanggal 28-29 Juni lalu, seluruh masyarakat Indonesia merayakan hari raya ini dengan pulang ke kampung halaman atau memasak masakan khas di rumah.
Bagaimana Awal Mula Iduladha?
Iduladha diperingati sebagai bentuk melepas rasa kepemilikan duniawi. Dalam sejarah kebudayaan Islam, sebenarnya berkurban sudah ada sejak zaman Nabi Adam AS, tapi syariat berkurban ini baru muncul pada zaman Nabi Ibrahim AS.
Pada bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim, ayah Nabi Ismail, mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail. Ia pun melaksanakan perintah-Nya dengan ketegaran hati bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Sebagai imbalan ketegaran untuk melepas rasa kepemilikan tersebut, Allah menggantikan Nabi Ismail dengan seekor hewan sembelihan (Udl-hiyyah) yang sehat dan gemuk. Sejak saat itulah umat Islam merayakan Iduladha dengan menyembelih hewan kurban, seperti unta, kambing, dan sapi, lalu dagingnya dibagikan kepada saudara sekitar, khususnya orang-orang yang tidak mampu.
Selain penyembelihan hewan kurban, perayaan Iduladha juga identik dengan kegiatan beribadah haji. Dalam sejarah Indonesia, pelaksanaan ibadah haji yang sukar dilakukan membentuk suatu regulasi pemberian gelar kepada umat Islam yang telah melaksanakannya. Hal ini melahirkan stratifikasi sosial, “hanya si kaya yang mampu berhaji”. Masyarakat yang mendapat gelar haji diperlakukan khusus dalam masyarakat, seperti mendapat sikap lebih dihormati dibanding orang lain yang belum berhaji. Bukankah ini menegaskan stratifikasi sosial pada masyarakat?
Lika-liku Ibadah Haji di Indonesia
Dikutip dari sebuah artikel jurnal Pananglutik yang berjudul “Latar Belakang Pemakaian Gelar Haji” dijelaskan bahwa penggunaan gelar haji sebenarnya telah tercatat jauh sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Bukti itu tertulis pada sebuah prasasti tertua dari Kerajaan Sunda, yaitu Prasasti Kebon Kopi (854). Dalam prasasti disebutkan “…bar pulihkan haji ri sunda…”. Kalimat itu berarti sebagai kembali berkuasanya raja Sunda yang oleh para ahli ditafsirkan bahwa sebelumnya Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Sriwijaya (Sumadio, 1990: 356). Prasasti Sanghyang Tapak menyebutkan bahwa Sri Jayabhupati adalah haji ri Sunda (Raja Sunda) dan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda (Sumadio, 1990: 360). Jika ditelusuri dan dibandingkan dengan berbagai prasasti baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat penggunaan kata “haji” dikaitkan dengan sesuatu yang dihormati. Namun, penggunaan gelarnya tidak hanya berorientasi pada manusia, melainkan wilayah, bangunan, jabatan, hingga sebuah aktivitas. Istilah “haji” muncul kembali karena haji dalam Islam berarti ibadah yang pelaksanaannya terdapat persyaratan tertentu. Dengan demikian orang yang sudah berhaji mempunyai kedudukan yang terhormat di masyarakat. Fenomena “menghormati orangnya” bukan “ibadahnya” dapat dikatakan sebagai retradisionalisasi gelar haji.
Penggunaan Gelar Haji sebagai Strategi Politik Pada Masa Kolonial
Penggunaan gelar haji sebagai suatu kebudayaan masyarakat yang telah ada sejak lama dimanfaatkan dalam sebuah kebijakan politik Belanda pada masa kolonial, yaitu resolusi 1825. Dikutip dari sebuah jurnal Asyhadi Mufsi Syadjali yang berjudul “Kelas Haji Sosial”, dijelaskan bahwa pada awalnya campur tangan kolonial dalam hal ibadah haji diawali dari sebuah kecurigaan bahwa masyarakat Nusantara yang baru pulang dari tanah suci akan mendapatkan pemikiran baru untuk membentuk sebuah gerakan Islam yang menentang kolonialisme. Kecurigaan ini kemudian dijadikan sebagai transparansi prosesi ibadah haji agar memudahkan dalam mengontrol pergerakannya. Oleh karena itu, Belanda pun menetapkan kebijakan ongkos yang tinggi. Resolusi 1825 berkenaan dengan ONH (ongkos naik haji) yang ditentukan oleh pihak kolonial sebanyak 110 gulden atau setara dengan Rp930.276,72, tidak termasuk uang pembuatan paspor (surat jalan dari penguasa setempat), biaya hidup, ongkos pulang dan diharuskan wajib lapor kepada pemerintah setempat sepulangnya ke tanah air. Pemerintah kolonial paham betul dengan kekuatan doktrin agama dan juga fanatisme umat Islam di Nusantara, intensitas dan jumlah jamaah haji tetap akan melimpah dan terus bertambah (Sadzali, 2018).
Selain dari Resolusi 1825, pemerintah Belanda juga mewajibkan masyarakat Hindia Belanda untuk menggunakan gelar haji bagi yang telah menunaikan ibadah haji. Kebijakan itu digunakan agar memudahkan pengontrolan aktivitas masyarakat Hindia Belanda. Mahal dan sukarnya proses ibadah haji menelurkan perlakuan khusus bagi umat yang telah menunaikan ibadah. Mereka sangat dihormati dan diperlakukan secara mulia serta terpandang. Sikap ini yang menggerus makna rukun Islam kelima. Perlakuan khusus bagi yang telah menunaikan ibadah haji dan diskriminasi bagi yang belum mempertegas kelas sosial pada masyarakat.
Dari laporan arsip Belanda kita bisa melihat terjadinya peningkatan jumlah jamaah pada tahun 1890 menjadi 10.040 orang, dan peminatnya selama kurun waktu 1891 – 1893 mengalami fluktuatif 18.017, 11.508, 13.856 orang (Sadzali:2018). Alasan khusus mengapa umat Islam pada saat itu sangat tertarik untuk melaksanakan ibadah haji selain untuk beribadah ialah mengantongi kehormatan. Perjalanan haji menjadi jembatan untuk hidup bergengsi bahkan dipandang sebagai tamasya ke tanah suci, dan tempat mulia untuk meninggal dan dikuburkan. Terlihat jelas bahwa haji telah menjadi sebuah kelas sosial tersendiri dalam masyarakat Nusantara pada masa kolonial.
Lalu, bagaimana Pemaknaan Gelar Haji Dewasa Ini?
Berkaca pada perjalanan sejarah, hingga saat ini gelar haji masih menjadi simbol penghormatan untuk umat Islam. Minat masyarakat meningkat, puluhan agen haji pun menjamur. Hal ini diperkuat dengan peningkatan jumlah jemaah haji pasca pandemi Covid-19. Dalam artikel Databoks dijelaskan bahwa “Indonesia mengirim jamaah haji terbanyak pada tahun 1444H/2023 ini, yaitu total 229.000 orang. Jumlah ini adalah jumlah jamaah haji Indonesia terbesar sepanjang sejarah,” ujar Abdul Aziz dikutip dari Kompas.com, Rabu (24/5/2023). Meskipun ongkos ibadah mahal, banyak umat Islam yang tetap mendaftarkan diri untuk menjadi peserta, sehingga kuota keberangkatan pun dibatasi oleh pemerintah. Namun sekali lagi, hal itu tidak menurunkan minat masyarakat.
– – –
Hakikat ibadah haji adalah untuk menyempurnakan kelima rukun Islam, bukan legitimasi kesalehan dalam masyarakat, bukan seperti gelar akademik. Pemaknaan gelar haji menjadi kebanggaan semu sebagai topeng keimanan dalam lingkungan mayoritas.
Jadi, apakah gelar haji bisa dikatakan cukup relevan digunakan di masa kini?