Beberapa masalah yang dikaitkan dengan keyakinan seringkali muncul sebagai objek yang berkepanjangan. Keyakinan yang seharusnya dimiliki sebagai objek pribadi, menjadi kabur dan membias manakala aturan Agama yang bermain. Hal ini disebabkan karena keyakinan yang kuat sudah tertanam dan mendoktrin sejak masa kanak-kanak. Konsep benar dan salah serta baik dan buruk sudah ditanamkan secara perlahan. Menyebabkan sirkuit otak berjalan dan mengahasilkan moral yang baik. Memang kesadaran moral perlu bertahun-tahun untuk menjadi matang, tapi pengalaman yang dilakukannya akan menuntun kearah itu.
Otak anak kecil memiliki banyak neuron, sehingga menimbulkan rasa fantasi yang kuat dalam berimajinasi. Terkadang pula tidak bisa membedakan antara realitas, fantasi maupun mimpi. Saya teringat ketika masih kanak-kanak, Ibu memberitahu bahwa jangan menelan biji jeruk, karena suatu hari biji itu akan tumbuh di perut saya. Kala itu saya merasa takut karena tidak sengaja menelan dua biji jeruk. Imajinasi saya mulai bermuculan, seperti tumbuhnya pohon yang keluar dari perut. Ini membuktikan hubungan koneksi yang belum matang antara fakta dan imajinasi.
Begitupula dengan dongeng, animasi, maupun gambar kartun yang akan melekat lebih kuat dibanding dengan hal-hal yang bersifat realita. Hal ini menjawab, kenapa anak kecil lebih menyukai menonton kartun daripada drama ataupun jenis film lainnya. Dengan dasar ini, orang tua menerapkan keyakinan terhadap anaknya dengan jalan sederhana. Seringkali ditanamkan ketakutan tentang penggambaran neraka dan keindahan surga jika seorang anak bisa berperilaku dengan baik. Bersamaan dengan itu, sifat Tuhan mulai dikaitkan pada pendidikan anak. Yang memberi imajinasi bahwa Tuhan akan marah jika seorang anak berbohong ataupun perilaku negatif lainnya.
Ketika anak mulai menerima kehadiran Tuhan, ia membangun konsepkerjanya sendiri tentang salah dan benar serta baik dan buruk. Dalam hal ini ajaran Agama membantu anak untuk membangun keyakinan moral dasarnya. Setahap demi setahap terus ditanamkan oleh orangtua, begitu juga dengan sekolah-sekolah yang membantu menguatkan pondasi terhadap keyakinannya itu. Praktik spiritual pun mulai diajarkan. Sehingga mulai berasumsi bahwa keyakinan yang sudah tertanam lebih baik daripada keyakinan lainnya. Maka dari itu, ketika ia dewasa keyakinan itu terus tumbuh dan melekat erat sebagai arah hidupnya.
Lalu bagaimana dengan orang yang mengubah pandangannya atau keyakinannya? Mungkinkah pondasi yang ditanamkannya kurang kuat? Ada banyak faktor yang mengubah hal itu, kelenturan saraf otak yang memungkinkan merubah haluan secara halus. Bukan berarti keyakinannya dulu tidak hilang secara sepenuhnya.
Tapi hal ini tidak menyempitkan pandangan bahwa mengubah keyakinanseseorang itu mudah. Semakin bertambahnya usia, semakin dewasa dan semakin matangnya keyakinan akan lebih sulit diubah pandangannya. Oleh karena itu percuma saja melakukan aktifitas itu dengan cara kekerasan, bahkan hal itu menjadi keliru karena merubah pandangan. Menurut saya hanya bisa dilalakukan secara perlahan menggunakan logika. (radc)