Saung Budaya Sunda, Jatinangor (21/04) – Komunitas Rumah Konflik, sebuah komunitas independen yang lahir dari kegemaran anggotanya untuk beropini mengenai problema keseharian, menggelar sebuah acara diskusi yang menjadi puncak dari keseluruhan rangkaian acara “Buku Bercerita”.
Selain bertujuan untuk memperingati Hari Buku Sedunia pada tanggal 23 April mendatang, rangkaian acara “Buku Bercerita” juga memiliki intensi esensial lainnya, yaitu untuk menghidupkan kembali budaya membaca dan mengeksistensikan berbagai komunitas yang ada di Unpad dan Jatinangor. Nur Arif Novian Abidin selaku koordinator Rumah Konflik bulan April mengaku puas dengan proses pelaksanaan acara ini, terutama melihat antusiasme peserta yang tidak hanya dari mahasiswa Unpad, tapi juga dari mahasiswa IKOPIN dan Unand.
Acara dibuka dengan pemutaran film dokumenter The Love of Books : A Sarajevo Story. Pemilihan film dirasa tepat untuk menyoroti wacana “Buku Telah Mati“ sebagai tajuk acara karena film ini menceritakan kisah sekelompok pecinta buku yang mempertaruhkan hidup mereka demi menyelamatkan sebuah perpustakaan ketika Perang Bosnia sedang berlangsung. Film ini memantik sebuah diskusi singkat, namun berkualitas tentang eksistensi buku dari berbagai periode dan perspektif.
Acara dilanjutkan dengan obrolan santai perihal buku dan perpustakaan bersama Bang Anton Solihin, pendiri Perpustakaan Batu Api. Rupanya, Batu Api bukanlah sekadar perpustakaan yang berperan sebagai “gudang buku”, namun suatu komunitas yang menyediakan pendidikan alternatif untuk mengedukasi anggotanya lewat buku, musik, dan film.
Tak hanya mahasiswa UIN dan Unpad, ternyata banyak juga buruh pabrik garmen yang menjadi anggota perpustakaan Batu Api. Walaupun begitu, masih banyak kegelisahan yang dirasakan Bang Anton sebagai seorang pegiat literasi. Menurutnya, selama bertahun-tahun, kondisi minat baca di kampus dinilai buruk, padahal kampus dikenal masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang sangat dekat dengan buku dan kepustakaan. Realitasnya, kondisi minat baca di masyarakat memang belum mengalami perubahan yang signifikan.
Selain minat baca, apresiasi mahasiswa terhadap karya sinema dan musik juga minim. “Era digital seharusnya mengubah cara menonton kita yang seragam. Kita tidak bisa lagi seragam. Orang harus punya sikap, harus mengubah cara pandangnya terhadap film,” ujarnya.
“Selain itu, ada masalah dengan kurator dan selera di kampus. Apresiasi terhadap buku, musik, dan film juga rendah, padahal saya percaya bahwa dasar estetika tersebut bisa membawa seseorang sampai ke tingkat intelektual tertentu,” tambahnya.
Bang Anton membenarkan bahwa untuk sampai ke tahap tersebut diperlukan waktu yang tidak singkat. Namun, apabila hal tersebut tercapai, maka karya seni, termasuk seni rupa, arsitektur, dan karya sastra dapat dinikmati secara tepat, bukan hanya “terpaksa” dinikmati karena desakan akademis.
Literasi tentu saja bukan sekadar membicarakan tentang bagaimana cara meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Literasi adalah integrasi dari berbagai bidang seperti ekonomi, teknologi, media, dan informasi. Seseorang dikatakan literat apabila ia mampu memahami sesuatu karena informasi yang dibacanya sudah tepat sehingga ia dapat mengimplementasikan pemahamannya terhadap suatu informasi dalam kehidupannya.
Kini, Komunitas Rumah Konflik dan Perpustakaan Batu Api sama-sama sedang berusaha menghidupkan kembali budaya literasi di lingkungan terdekat mereka. Keberadaan mereka menciptakan optimisme sendiri bagi kita bahwa suatu saat budaya literasi dapat tercipta. Sekarang, tinggal diri kita sendiri yang menentukan, sudah siapkah kita menjadi generasi literat? (NA)