Seorang pegiat Aksi Kamisan Bandung sedang melakukan orasi
(Ilyansyah Nashrul/Parasastra)
Bandung, Pena Budaya—Bocah-bocah bermain layangan di sekitar Monumen Perjuangan Bandung, depan Gasibu, di langit Kamis (2/9) sore yang cukup cerah, tapi agak muram.
Semua nampak berbahagia, tak ada mimik wajah yang mengisyaratkan bocah-bocah itu tidak bahagia, karena mungkin, ini pertama kali mereka ke luar rumah dan bermain, setelah hampir satu tahun lebih pemerintah melarang orang-orang untuk bercengkerama di ruang publik terkait situasi pandemi yang urung selesai.
Beberapa bocah lain yang sedang mengadu layangan, nampak kusam. Layangannya putus, terbawa angin, hilang dan tanpa kabar.
Tepat ketika kekusaman itu ia gambarkan dalam wajahnya, beberapa jarak dari adu layangan itu, sekumpulan orang berbaju hitam tengah memperingati rentetan peristiwa kelam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di bulan September yang mungkin saja tidak pernah dipelajari di sekolah bocah-bocah yang tengah bermain layangan itu.
“Peringatan Aksi Kamisan ini digelar untuk merawat ingatan sekaligus memberi pengetahuan kepada diri sendiri dan pada orang-orang awam, tentang apa itu HAM dan begitu banyak kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan oleh negara sampai sekarang,” ujar Fayad, salah satu pegiat Aksi Kamisan Bandung.
Aksi Kamisan ke-360 di awal bulan September ini, mengusung tema “September Hitam: Bulan Kelam dengan Rentetan Pelanggaran HAM”. Dari Pembunuhan Munir (7 September 2004), Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984), Tragedi Semanggi II (24 September 1984), Tragedi Genosida 1965–1966, hingga kasus-kasus pelanggaran HAM baru seperti brutalitas aparat saat Reformasi Dikorupsi (2019), penembakan Randi dan Yusuf (2020), serta penembakan pendeta Yeremia (2020) menjadi peristiwa-peristiwa yang diperingati dalam aksi kamisan di depan Gasibu Bandung itu.
Acara yang semula direncanakan di halaman depan Gedung Sate, harus pindah ruang ke depan Gasibu. Menurut Fayad, hal ini agak aneh karena setiap kawan-kawan akan melakukan aksi di hari kamis, halaman depan Gedung Sate selalu ditutup.
“Mungkin karena kebijakan PPKM jadi ditutup, tapi anehnya ketika hari selain hari Kamis—hari di mana aksi kamisan dilakukan—selalu terbuka. Ini menjadi pertanyaan, apakah ini suatu pembungkaman ruang demokrasi atau apa? Meskipun kami ingin sekali melaksanakan aksi di sana, tapi ditakutkannya ada hal-hal yang tidak diinginkan juga menjaga keamanan kawan-kawan lainnya,” jelasnya keheranan.
Dari sela-sela wawancara itu terdengar seru menderu:
Di depan sekali menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Seru salah satu pegiat Aksi Kamisan Bandung serak ketika membacakan puisi Chairil Anwar berjudul Diponegoro keras-keras. Puisi-puisi lain tentang perlawanan diteriakkan ke langit-langit. Ketika negara tak mau mendengar lagi, mungkin langit masih mau mendengar.
Selain diisi mimbar bebas tentang refleksi pelanggaran HAM dan puisi-puisi auditori macam W.S Rendra dan sebagainya, rangkaian acara juga diisi aksi teatrikal dari Teater Akar Rumput. Acara berjalan lancar dan peserta aksi tetap menjalankan protokol kesehatan sebagaimana mestinya.
Di beberapa sela dalam acara itu, saya melihat ke pinggiran penonton dan menemukan bocah yang mukanya kusam akibat layangannya yang hilang tanpa kabar tadi. Kini, rautnya semakin kusam, matanya nyalang, memercikkan kepal kemarahan. Bukan karena layangannya hilang, tapi ia baru tahu, dari Aksi Kamisan yang digelar di tempat biasa ia bermain layangan, betapa negara dengan mudahnya menghilangkan nyawa orang layaknya layangan yang ia terbangkan sore hari tadi.
Nampaknya, kesadaran itu berhasil ditumbuhkan. Melalui aksi-aksi merawat ingatan dan orang-orang yang mungkin sedang iseng berlalu lalang di ruang publik karena kepenatan pandemi, jadi mengerti apa-apa yang pernah dilakukan negara ini pada penduduknya sendiri, tanpa diketahui secara jernih dari berita-berita yang mereka baca.
Dari generasi ke generasi, kesadaran mulai tumbuh dan harapan mungkin saja akan berpendar sekecil apapun itu. Namun, dari generasi ke generasi pula, negara seakan-akan tak pernah sadar, atau sepertinya menolak untuk sadar dan ingat tentang pelanggaran HAM yang ia lakukan dulu dan bahkan baru-baru ini.
Saya pergi dari aksi tersebut ketika lagu “Darah Juang” selesai dikumandangkan di sekitar jam 20.30, di kemerlap lampu Kota Bandung yang tak pernah mati, sekaligus menyudahi Aksi Kamisan ke-360 yang berlangsung khusyuk itu. Aksi ini akan selalu dilangsungkan lagi dan lagi, pada kamis-kamis lainnya, pada lilin-lilin kecil yang menerangi dingin malam, sampai negara benar-benar sadar dan kasus pelanggaran HAM benar-benar diselesaikan.