Saat pertama kali menginjakkan kaki di FIB, kira-kira bagaimana kesan pertama kamu akan fakultas ini? Biasanya impresi kuno, kotor, juga horror, akan menjadi anggapan yang langganan diutarakan oleh para mahasiswa baru ataupun masyarakat umum. Kesan-kesan seperti ini pun pernah saya terima secara langsung, yaitu ketika saya mengajak salah satu teman yang bukan mahasiswa Unpad untuk pergi ke FIB (walau rencana awalnya nggak mau ke sana).
Kejadian itu terjadi di hari kedua sejak teman saya datang ke Jatinangor. Niat hati ingin mengajaknya berkeliling Unpad menaiki Odong, kami malah hanya berakhir duduk-duduk di Bangbir mengikuti rapat yang harus saya hadiri. Saya nggak bisa mangkir saat itu, sebab acaranya hendak dilaksanakan dalam waktu dekat. Alhasil, teman saya cuma bisa melihat-lihat FIB saja. Hal ini bikin saya minta maaf berkali-kali ke dia karena nggak bisa melanjutkan ajang jalan-jalan tersebut. Awalnya saya sudah meminta dia buat pulang ke kosan lebih dulu, tapi ternyata ia menolak karena nggak ada teman dan takut bosan nantinya.
Ketika kami akhirnya pulang ke kosan, saya iseng bertanya soal first impression teman saya setelah menginjakkan kaki di FIB. Sambil mengusap rambutnya yang basah, ia berkata, “kayak hutan ya, Na. Banyak pohon gede”, saya reflek tertawa terbahak-bahak sekaligus bingung harus ngerasa senang atau sedih mendengar komentar itu.
Apa yang dikatakan teman saya ada benarnya juga, sih. FIB memang memiliki banyak pohon besar yang sudah uzur selayaknya mendiang pohon Bodhi. Apalagi ditambah dengan arsitektur gedung-gedungnya yang bergaya kuno dan berdinding kusam (kecuali gedung D sih). Meskipun begitu, menjadi mahasiswa FIB nggak rugi-rugi amat kok, sebab ada beberapa hal dari fakultas ini yang menurut saya bisa membuat kita bersyukur dan berbangga (dikit).
1. Adem dan asri (bukan adem sari)
Mendiang pohon Bodhi dan pepohonan besar lainnya yang tumbuh di sekeliling fakultas memang membuat suasana menjadi jauh lebih gelap serta memberi image suram. Namun, mereka jugalah yang membuat udara yang kita hirup jauh lebih sehat dan segar. Saya baru menyadari perbedaan ini ketika saya berjalan dari kosan ke halte Odong, hingga saat sudah sampai di FIB. Cuaca yang tadinya terasa begitu panas, ditambah dengan polusi udara yang saya hirup dari knalpot-knalpot kendaraan, seketika berganti dengan udara segar dan suasana yang jauh lebih sejuk. Ketika hari menjelang siang pun, udaranya masih terasa sama. Sinar matahari nggak pernah terasa begitu menyengat apalagi sampai membakar kulit.
Nggak semua fakultas di Unpad berudara sesehat FIB, bahkan beberapa fakultas ada yang begitu gersang hingga jumlah pepohonannya juga bisa dihitung dengan jari tangan saja. Biasanya karena gersang itu, fakultas tersebut cenderung seringkali terlihat sepi, entah di mana para mahasiswanya bersantai sehabis kelas ataupun berdiskusi. Hal ini berbanding terbalik dengan fakultas hutan saya yang selalu ramai. Kalau saya jadi salah satu mahasiswa fakultas tersebut, tentu saya bakal bete bukan main. Sudah capek-capek melawan polusi udara Jatinangor, eh malah harus panas-panasan juga ketika berada di fakultas. Jadi, walaupun FIB terlihat seperti hutan, setidaknya hal ini bikin kamu jadi nggak bakal emosi karena panasnya udara di sekitar (tapi emosinya sama tugas, hehe).
2. Tempat nongkrong yang dijamin bikin pewe banget
Udara yang sejuk di fakultas ini juga ditambah dengan berbagai spot nongkrong yang sangat nyaman dan bikin betah. Kebanyakan fakultas hanya akan punya salah satu dari dua hal itu saja, tapi FIB punya keduanya. Tempat-tempat nongkrong yang saya maksud di sini bukan kantin, tapi fasilitas yang disediakan fakultas bagi mahasiswa yang ingin sekadar duduk-duduk saja, atau bahkan untuk kerja kelompok. Contohnya seperti Bangbir (Bangku Biru) yang saya sebutkan di atas, Teras Abu, Bangku Bangsal dan masih banyak lagi. Semua tempat tersebut dikelilingi oleh pepohonan di sekitarnya. Salah satu spot yang paling sering saya diami adalah Bangbir.
Bangbir ini memang tempatnya nyaman, teduh, dan strategis. Fyi, Bangbir ini letaknya tepat di samping Kansas (Kantin Sastra) yang juga bersebelahan dengan jalanan yang biasa dilalui odong ataupun kendaraan lainnya. Sebab itulah, saya sering duduk-duduk di situ untuk kerja kelompok. Walaupun kadang berisik, tapi pemandangannya nggak sumpek. Saya bisa berpikir soal materi presentasi sambil melihat kendaraan atau curi-curi pandang mahasiswa dari fakultas lain *eh. Kalau di tengah-tengah diskusi lapar pun, bisa langsung nyebrang ke Kansas buat beli cemilan.
Walaupun fasilitas nongkrong itu dibuat seadanya, setidaknya keberadaannya digunakan sebagaimana mestinya. Nggak terbengkalai seperti yang saya perhatikan dibeberapa fakultas. Dan saya juga (lumayan) bersyukur pihak dekanat punya niatan membangun fasilitas tersebut, sebab beberapa fakultas bahkan nggak punya fasilitas nongkrong sebanyak FIB (walaupun rada nggak niat juga sih bikinnya).
3. Punya banyak kantin, terlebih harganya sangat kantong mahasiswa-friendly.
Selain Kansas, FIB punya dua kantin lainnya, yakni Atep dan Shokudo. Sudah kantinnya nggak cuma satu, ketiga tempat ini memiliki harga yang sangat kantong mahasiswa-friendly alias begitu terjangkau pula. Maka dari itu, jangan heran kalau ada mahasiswa dari fakultas lain ikut singgah di kantin-kantin FIB, khususnya mahasiswa FH, hehe.
Kantin Atep adalah salah satu kantin favorit saya. Kantin ini terletak di bagian belakang gedung C, dari pelataran depan gedung kalian harus naik beberapa tangga hingga sampai di Atep. Nama Atep sendiri diambil dari salah seorang pedagangnya yang paling hits di situ, yang menjual Papeda, berbagai cemilan, serta minuman. Selain Atep, ada beberapa penjual lainnya yang menjajakan berbagai macam menu seperti Mang Siomay Batagor yang katanya pawang hujan, terus ada aneka macam jus, warteg yang murah banget, nasi gila, dan masih banyak lagi.
Saking banyaknya pembeli, kadang saya sendiri sampai nggak kebagian tempat duduk. Kalau sedang apes dan nggak ada satu pun tempat yang kosong, biasanya saya akan melipir ke sebelah kanan Atep kemudian duduk menghadap ke LapSas (Lapangan Sastra). Jatuhnya jadi nggak benar-benar apes sih, walaupun harus duduk lesehan tapi saya bisa menikmati angin sepoi-sepoi.
4. Gedung yang dapat beralih fungsi jadi tempat olahraga
Selain udaranya yang bikin para mahasiswa sehat, tangga-tangga di tiap Gedung FIB juga ikut andil menyehatkan jasmani para penghuni fakultas ini, lho! Apalagi yang beraktivitas di gedung B atau C. Kalau sudah hampir telat kita harus berlari sambil melalui banyaknya tangga dari lantai dasar sampai lantai tujuan. Sesampainya di kelas, tentu saja akan ngos-ngosan, tidak lupa keringat juga akan bercucuran. Itu lah yang saya rasakan tiap ada kelas pagi (Iya, memang sering mepet hampir telat, hehe). Niat hati ingin memulai hari dengan penampilan terbaik biar kuliahnya juga semangat, eh malah udah kacau semua gara-gara tangga.
Kalau kalian tidak berhati-hati, tangga-tangga itu akan menjadi petaka. Karena ukuran titiannya berdiameter kecil, jadi kalian harus hati-hati menaikinya, jangan sampai salah pijakan. Masalahnya kalau sampai terjungkal reputasi kalian jadi taruhannya. Sakit sih bisa dikesampingkan, malu kan nggak bray.
Setidaknya itulah yang saya rasakan selama kuliah luring satu tahun lalu. Tujuan tulisan ini semata-mata untuk menyalurkan rasa rindu saya terhadap suasana perkuliahan sebelum musibah ini datang melanda. Mungkin memang terkesan meromantisasi, tapi justru karena itu. Saya yakin saya nggak bakal kepikiran buat meromantisasi FIB dan segala isinya kalau bukan karena pandemi ini. Karena kalau saya ketemu FIB terus-terusan setiap harinya, dijamin bakal lebih banyak keluhan dibanding pujian yang keluar dari mulut saya, hehehe.
Editor: Tatiana Ramadhina