Agustus lalu, Magdalene telah menerbitkan sebuah buku berjudul Menjadi Perempuan yang berisi kumpulan esai-esai pilihan tentang kesetaraan gender. Kalau kalian belum tahu, Magdalene adalah majalah daring yang berfokus pada isu-isu terkait perempuan, empowerment, toleransi, dan aspek-aspek lain mengenai masyarakat yang progresif. Mereka memberikan pandangan yang segar dari para feminis, orang-orang yang peduli dengan kesetaraan gender, juga para penulis dan pemikir progresif dari seluruh Indonesia.
Saya adalah salah satu dari sekian banyak pembaca setia Magdalene. Jadi, ketika saya mendengar bahwa mereka akan menerbitkan buku berisi esai-esai, saya tentu merasa sangat bahagia. Yang saya suka dari penulis-penulis di Magdalene adalah betapa cerdas dan tajam pikiran mereka. Mereka sangat kritis, namun tidak in a condescending way.
Buku ini tidak hanya memberikan insight tentang seperti apa rasanya menjadi perempuan di zaman modern ini, namun sesuai dengan judul bab-bab yang ada di dalam buku, mereka juga berbicara banyak mengenai kecantikan dan citra tubuh, politik, gender dan seksualitas, agama dan spiritualitas, serta relationship. Buku ini adalah buku yang tepat untuk dibaca oleh kalian yang ingin tahu atau belajar lebih banyak mengenai isu-isu tersebut. Buku ini tidak hanya perlu dibaca oleh perempuan di seluruh Indonesia, buku ini juga ditujukan untuk para laki-laki.
Sejak kecil, kita diajarkan untuk menjadi perempuan yang lemah lembut dan girlish, sedangkan perempuan-perempuan lain yang memiliki preferensi berbeda disebut cewek tomboy dan kerap kali dipandang aneh dan sebelah mata. Hal-hal ini juga selalu ada hingga kita beranjak dewasa. Kita diharapkan atau bahkan dianjurkan untuk pandai memasak, serta mengurus rumah. Kita diajarkan bahwa ini adalah gol paling utama dalam hidup perempuan, bahkan di kehidupan modern sekalipun. Tapi, di Menjadi Perempuan, dengan penjelasan yang lugas dan tidak bertele-tele, mereka mampu membahas isu-isu yang sangat relevan ini dengan apik.
Kesetaraan gender bukan berarti bahwa semua perempuan membenci semua laki-laki, atau semua perempuan tidak menunjukkan sisi keperempuanannya. Justru kesetaraan gender seharusnya berarti seluruh perempuan mempunyai akses yang setara dengan laki-laki untuk mendapatkan edukasi, pekerjaan, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Selain itu, perempuan juga harus bisa merasa aman dan nyaman dalam kehidupannya. Saya rasa, tidak ada laki-laki yang merasa takut tiap kali mereka berjalan pulang sendiri pada malam hari, kan? Atau merasa tidak nyaman jika berada di kendaraan umum yang mayoritas isinya lawan jenis?
Budaya pemerkosaan atau yang biasa disebut rape culture serta victim blaming adalah masalah yang masih sangat lazim di Indonesia. Dalam subbab Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia, salah satu kontributor dalam buku ini, Devi Asmarani, mengatakan, “Saya tumbuh menjadi pribadi yang selalu waspada untuk tidak mengirim sinyal-sinyal yang salah kepada anak laki-laki dan pria dewasa, sesuatu yang secara bawah sadar masih saya lakukan sampai sekarang.” Ini merupakan salah satu dari sekian banyak kalimat yang membuat saya terenyuh, karena sejujurnya saya bisa menempatkan diri saya di posisi sang penulis, karena saya sadar kita ternyata sama.
Gender equality have come a long way adalah sesuatu yang sering kita dengar. Banyak yang masih berpikir bahwa perempuan dan laki-laki sudah setara, tapi nyatanya kita masih harus berjuang lebih keras dan banyak lagi. Masih banyak kekerasan pada perempuan dan anak, perempuan masih dianggap sebagai second-class citizens, dan jika ada kasus pemerkosaan, pertanyaan pertama yang dilayangkan kepada korban perempuan adalah hampir selalu, “Baju apa yang Anda kenakan saat itu?” Kita semua bisa berkontribusi untuk membuka dialog mengenai perubahan progresif, dan Menjadi Perempuan melakukannya! Mereka telah membuka diskusi tentang kesetaraan gender yang mampu membuat pembaca berpikir. Kesetaraan gender hingga saat ini masih menjadi subyek yang kontroversial, jadi Menjadi Perempuan perlu dibaca dengan pikiran dan hati yang terbuka lebar. (Ervana Trikarinaputri).