Baru berjalan dua hari, kuliah daring menuai drama. Meskipun hidup itu sendiri adalah drama penuh rekayasa dan bahkan manusia itu sendiri adalah aktor menurut Dosen Telaah Drama saya, agaknya drama yang tersaji di seminggu ini—setidaknya apa yang baru saja terjadi di jurusan saya—bisa saya katakan amatlah kekanak-kanakkan.
Bagaimana tidak, drama ini bermula ketika angkatan bawah—angkatan saya—mengambil mata kuliah semester depan. Kita tentu sudah tahu, bahwa hal tersebut lumrah terjadi di dunia perkuliahan, dan hal tersebut adalah hak angkatan bawah untuk mengambil mata kuliah semester depan. Namun, di grup WhatsApp kelas tersebut -yang merupakan grup mata kuliah untuk semester atas, hak angkatan bawah ini justru malah disindir oleh angkatan atas yang merasa bahwa mata kuliah yang diambil adik tingkatnya adalah prioritas mereka. Sungguh aneh tapi nyata.
Hal ini bermula ketika beberapa orang di angkatan yang sama mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa join Google Meet yang berkapasitas 100 orang. Atas nama angkatan atas, mereka mengemukakan argumen mereka, kurang lebih bernada bahwa merekalah yang berhak untuk masuk ke dalam Google Meet yang berkapasitas 100 orang itu.
Tentu saja argumen itu tidak berdasar. Menurut saya, mau angkatan berapapun yang mengambil mata kuliah tertentu tidak seharusnya menjadi soal. Argumen itu seolah-olah hanya berlandaskan arogansi senior yang merasa memiliki prioritas lebih untuk memilih suatu mata kuliah agar “lulus cepat”. Ini adalah buah dari atribut senioritas yang belum sepenuhnya tercerabut dalam budaya akademik kita. Terlebih jurusan saya, yang agaknya menghapus senioritas hanya dengan mengganti sapaan “Kang” dan “Teh” saja, bukan hal-hal fundamental dalam senioritas yang harusnya dihapus, seperti yang baru saja terjadi.
Drama semakin berkecamuk terlebih ketika banyak dari angkatan atas yang alih-alih memberikan solusi yang solutif agar di pertemuan selanjutnya bisa lebih baik, justru malah semakin memperkeruh suasana. Dengan keukeuh mereka tetap memberikan argumen dan stiker-stiker senyum sembari menyindir angkatan bawah, karena merekalah yang merasa paling berhak untuk masuk ke dalam 100 orang di Google Meet tersebut.
Meskipun begitu, ada salah satu orang di angkatan atas yang sebenarnya ingin menengahi dan membuat situasi lebih cair. Ia mengusulkan agar semuanya tetap tenang, karena ini baru pertemuan pertama dan kendala-kendala lain akan diselesaikan di pertemuan selanjutnya.
Namun, api kadung berkobar. Beberapa orang di angkatan atas lainnya tetap menyindir dan angkatan yang tertuju sudah kepalang dongkol dengan kata-kata yang terucap. Meski akhirnya sudah “saling minta maaf”, saya kira mungkin kebenciaan akan terus berdiam di dalam tubuh-tubuh mahasiswa “senior” ini atau bahkan mungkin pada angkatan yang tertuju.
Saya mengerti, tidak kebagian tempat dan diburu pertanyaan kapan lulus adalah suatu hal yang begitu menyebalkan. Tapi, mendasarkan argumen pada “nilai senioritas” , merasa paling berhak dan harus diprioritaskan hanya karena “paling dulu masuk kampus” adalah suatu nilai kesia-siaan yang tak perlu “dijual” dan dilontarkan.
Padahal, menurut saya, ada hal lebih penting yang perlu dikritik dan disindir dari sekadar mengemukakan argumen: “Kami senior, kami yang berhak untuk mengambil kelas ini.” Yaitu pihak kampus yang tidak mampu mengakomodir aplikasi pertemuan daring yang mampu menampung jumlah partisipasi 100 orang lebih.
Pihak dekan dan kampus tidak mampu mengevaluasi kuliah daring secara cermat. Mereka tidak bisa mengantisipasi aplikasi yang tidak bisa menampung jumlah partisipasi 100 orang lebih. Tentu ini menjadi pertanyaan, terlebih di masa sekarang, UKT yang harus dibayarkan malah tidak dipotong sama sekali. Penyesuaian terhadap UKT pun malah harus mengarungi lautan birokrasi yang begitu kompleks.
Nah, hal itulah yang patutnya dipertanyakan oleh mahasiswa, terutama mahasiswa yang ngakunya “senior” tapi malah menyalahkan mahasiswa bawah yang bahkan mereka nggak salah sama sekali untuk mengikuti mata kuliah semester depan. Jika mereka melepaskan atribut kesenioritasannya, saya pikir nsicaya argumen tersebut tidak akan keluar, dan justru kira-kira akan keluar seperti ini: “Saya sudah bayar UKT, tapi kenapa kampus tidak mampu membeli aplikasi pertemuan daring yang mampu memuat lebih dari 100 partisipan, Pak/Bu?”
Usut punya usut, ternyata permasalahan ini bukanlah yang pertama kali. Di jurusan-jurusan lain pun sempat terjadi “perang kelas antar angkatan” yang ujung-ujungnya malah angkatan ataslah yang “merasa” paling berhak untuk mengambil suatu mata kuliah. Pola ini tak ubahnya seperti anak TK yang saling berebut untuk meminta dibelikan mainan pada orang tuanya.
Selain itu, pihak yang seharusnya mengakomodir permasalahan ini juga harus turun tangan. Wabil khusus, BEM Gama FIB.
Sebagai Badan Eksekutif Mahasiswa yang dianggap merepresentasikan mahasiswa FIB, sudah seharusnya hal tersebut menjadi perhatian yang serius untuk diajukan pada pihak dekan. Selain memiliki wewenang yang lebih besar daripada mahasiswa kebanyakan, BEM tentunya akan lebih “didengar” oleh pihak dekan. Dengan fokus BEM terhadap berbagai permasalahan kuliah daring yang begitu penting di masa pagebluk sekarang—terlebih soal tidak tersedianya aplikasi yang mampu menampung lebih dari 100 partisipasi (Zoom Premium dan sebagainya)—niscaya akan membuat para mahasiswa FIB merasa terwakili oleh BEM Gama FIB.
Entahlah usul saya ini didengar atau tidak, intinya, saya sudah muak dengan senioritas terselubung dan birokrasi yang belibet ini.
Tapi, bukan bermaksud membanding-bandingkan, ketika permasalahan partisipasi Google Meet ini menimpa angkatan saya—yang juga terjadi hari Rabu lalu (17/2) karena ada juga dari angkatan di bawah kami yang bergabung—kami tidak menyindir mereka. Kami, dengan inisiatif, akan menggalang dana hanya untuk sekadar bertatap muka dengan dosen tercinta. Ini tentu lebih solutif dibanding jualan senioritas seperti yang dilakukan angkatan atas saya kemarin (16/2).
Namun pertanyaan muncul. Jika penggalangan dana setiap mahasiswa di angkatan saya dilakukan, lantas, kalau begini, untuk apa kami bayar UKT?
Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra
Ngomong-ngomong soal fasilitas, kemarin saya juga sempet bingung bengong waktu ngisi kuesioner di laman PAUS tentang penilaian fasilitas yang “tersedia” di kampus tercinta. Padahal fasilitas berkuliah sehari-hari hanya sekadar laptop, meja, earphone, dkk. Nominal UKT yang harus dibayar pun tetap sama, duh…