Ditanya Mengenai Mekanisme Pemberian Gelar Kehormatan, Prof. Rina: ‘Unpad Tidak Pernah Memiliki Masalah Mengenai Pemberian Gelar Honoris Causa’

Fajar Hikmatiar
1163 views
','

' ); } ?>

Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. Fathur Rokhman menjadi perbincangan publik setelah memberikan anugerah doktor kehormatan atau doktor honoris causa kepada mantan koruptor yang juga pernah menjabat sebagai ketua umum PSSI, Nurdin Halid. Ia dianggap berjasa dan memiliki prestasi dalam bidang industri olahraga ketika menjadi orang nomor satu di induk organisasi sepakbola Indonesia tersebut. 

Pemberian gelar ini menjadi kontroversi karena dianggap tidak transparan dan berpotensi menjadi praktik obral gelar universitas untuk kepentingan tertentu. Diduga ada kepentingan politik tersendiri yang melatarbelakanginya.

Kejanggalan ini terendus oleh berbagai pihak dan mendapat reaksi penolakan. Saat prosesi pengukuhan, sejumlah mahasiswa UNNES berunjuk rasa menentang pemberian gelar kepada Nurdin. Dengan membawa spanduk bernada protes seperti, “Tegakkan Integritas Kampus, Jangan Obral kepada Tikus”

Menurut Rektor UNNES dalam sesi diskusi yang disiarkan langsung oleh kanal Youtube Tempo (17/2), menyebutkan bahwa Nurdin direkomendasikan mendapat gelar doktor honoris causa dari sejumlah pihak, salah satunya dari PSSI–tempat di mana Nurdin dianggap berjasa dan berprestasi. Hal ini dinilai semakin janggal karena sebetulnya PSSI di era kepemimpinan Nurdin Halid tidak dapat dikatakan berprestasi.

Dalam kesempatan yang sama, Prof. Fathur menyampaikan bahwa seluruh proses yang telah dilalui untuk memberikan gelar kepada Nurdin sudah mengikuti prosedur yang berlaku. Bahwa pembahasan mengenai kelayakan Nurdin mendapat gelar honoris causa tersebut telah dikaji oleh tim promotor dari tingkat prodi, fakultas hingga senat. Fathur pun menjelaskan bahwa setiap reaksi yang berkembang akan diterima sebagai kritik. Namun ketika ditanya mengenai kemungkinan mencabut gelar tersebut, Fathur tidak menjawab secara tegas. “Kami tidak mempunyai kewenangan untuk mencabut” ujar Prof. Fathur.

Ubedillah Badrun, pengamat politik sekaligus dosen Universitas Negeri Jakarta mengatakan, yang menjadi permasalahan adalah, dalam beberapa tahun terakhir argumentasi mengenai kelayakan penerima doktor honoris causa justru melenceng dari argumen-argumen substantif. Misalnya argumen soal Permenristekdikti nomor 65 tahun 2016 yang memberikan otonomi kepada kampus, dan yang menjadi persoalan adalah bagaimana kampus menafsirkan Permen tersebut. Tidak melakukan diskursus yang panjang oleh senat universitas bahkan cenderung didominasi oleh segelintir elit senat universitas serta cenderung dimulai dengan pertemuan di berbagai kesempatan sebelumnya yang sulit untuk ditafsirkan selain adanya lobi-lobi sejumlah calon penerima kepada kampus. 

Hadir di acara yang sama, Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Rina Indiastuti berpendapat bahwa tidak ada istilah “obral gelar” di perguruan tinggi. Pada kesempatan tersebut, ia menjelaskan bahwa selama 63 tahun berdiri, Unpad baru menganugerahkan 8 gelar honoris causa yang sebagian diberikan kepada tokoh luar negeri, seperti mantan Perdana Menteri Vietnam Ho Chi Minh, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad dan mantan Presiden Yugoslavia, Josep Broz Tito.

Selain itu, Rina menjelaskan soal ukuran mengenai jasa dan prestasi luar biasa yang harus jelas sehingga tidak menjadikannya masalah. Yang perlu digarisbawahi adalah gelar honoris causa ini tidak sama dengan gelar akademik. Sehingga tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan naik pangkat atau sebagainya. Selain itu, pemberian honoris causa yang lazim dilakukan di berbagai belahan dunia memantik isu benefit untuk kampus itu sendiri. Dalam pemaparannya, Prof. Rina mengatakan bahwa ketika tidak semua orang dapat menempuh pendidikan S-3, namun atas dasar karya yang mereka kerjakan selama berkiprah yang telah dinilai layak akan diberi penghormatan berupa gelar yang setara dengan gelar doktoral namun berbeda dengan gelar doktor akademis. Akan menjadi keuntungan bagi universitas apabila pemberian itu tepat sasaran dan mendapat persetujuan dari masyarakat.

Kehadiran Rektor Unpad dalam sesi tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah Unpad memiliki catatan tersendiri mengenai masalah pemberian gelar honoris causa seperti yang terjadi pada sejumlah kampus. Laporan majalah Tempo bertajuk “Main Obral Doktor Humoris”, memberi keterangan bahwa sejumlah kalangan, termasuk guru besar dan dosen, menilai kampus kerap mengobral gelar doktor kehormatan kepada mereka yang sebenarnya tak layak mendapatkannya. Gelar itu kian mudah didapat setelah terjadi perubahan aturan. Unpad sendiri tercatat pernah memberikan gelar honoris causa kepada Chairul Tanjung pada 2013 dan Megawati Soekarnoputri pada 2016 silam. Namun, rektor Unpad menegaskan bahwa selama 63 tahun berdiri, Unpad tidak pernah mempunyai masalah mengenai pemberian gelar honoris causa tersebut.
(Fajar Hikmatiar/Ananda Bintang) 

Sumber: tempo.co 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran