Berangkat dari narasi dan keluh kesah keseharian, Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening melahirkan “Dosa, Kota dan Kenangan” pada 2015 yang menjadi album pertama Silampukau. Mengusung Folk sebagai aliran musiknya, Silampukau sukses mengeksekusi lirik, musik yang kharismatik dengan sangat rapi dan tajam.
Dengan dua gitar akustik, juga bantuan terompet, gitar bass, piano, biola dan pianika di beberapa lagu. Album yang berisikan 10 lagu ini hampir semuanya merekam apa saja yang terjadi dan dialami rakyat Surabaya, mulai dari perantuan kemacetan, tempat hiburan, bahkan hingga tempat prostitusinya. “Doa 1” mungkin menjadi lagu yang ikonik bagi Silampukau, bercerita tentang perjalanan seorang musisi yang tak semulus aspal di Jembatan Suramadu,
”Duh Gusti, aku kesasar di jalur indie. Terima sablon, kaos, dan kadang gantungan kunci. Musisi, Gusti, musisi Bukan jadi penjaga distro kayak gini”
Dari kesengsaraan yang jauh dari kata musik apalagi musisi, perjalanan dilanjutkan dengan keras dan keringat pengorbanan hingga mimpi-mimpinya terjadi.
”Dan inilah nyanyianku
Semoga terkenal, terpandang, dan banyak uang”
Pengaruh literatur, keras rasanya terdengar dari lagu-lagu ini, Kharis yang dominan menulis lirik lagu-lagu Silampukau merupakan alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga dan juga erat bergaul dengan penyair-penyair Surabaya. Penggalan larik, Di dasar kerat-kerat bir di lagu “Sang Juragan” ia pinjam dari puisi yang ditulis oleh Indra Cahyadi, seorang penyair dan juga teman dari Kharis.
Ketika diwawancara oleh Sorge Magazine, Eki menerangkan bawah musik Silampukau adalah cerita kolektif yang terjadi di warung kopi, dikemas dengan sederhana tentang orang-orang yang sederhana juga.
Sebagai pendengar, saya merasa bahwa lagu-lagu di album ini seakan merayu dan menarik saya ke Surabaya, menapaki setiap tempat yang ditulis di dalamnya, sejenak merasakan apa yang mereka alami di tempat-tempat ini, di Taman Remaja hingga Dolly.
Suara Surabaya mungkin menjadi frasa yang tepat untuk mendeskripsikan album Dosa, Kota dan Kenangan ini. ”Malam Jatuh di Surabaya” memusikaliasi kemacetan yang gila di Jalan Ahmad Yani saat terbenam fajar, merupakan pemandangan sehari-hari bagi orang-orang kota. Juga ada “Bianglala”, yang bercerita tentang bagaimana para muda-mudi di Surabaya mendapat hiburan murah yang merakyat di Taman Remaja Surabaya. Hingga “Si Pelanggan” yang meromantisasi dan membawa kita ke sudut pandang berbeda dari tempat prostitusi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu.
”Waktu sekedar hitungan yang melingkar kekal di kehampaan” Silampukau (Balada Harian)
Editor : Irna Rahmawati