Fenomena Mentoring Poligami: Seni Memanipulasi dengan Tameng Agama

Annisa Ayu Shafira
751 views
','

' ); } ?>

Di negara heterogen seperti Indonesia, persoalan poligami menjadi sebuah isu sensitif yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. Meskipun bermayoritas muslim, gagasan mengenai poligami masih sangat tabu dan hanya diterima oleh sebagian kecil masyarakat di Indonesia.

Namun dewasa ini, Narasi mencoba mengangkat kembali isu ini dalam videonya yang berjudul “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar: Buka Mata”, yang diunggah 10 hari yang lalu pada Selasa (16/11/21).

Video berdurasi 22 menit tersebut berisi sebuah liputan mengenai salah seorang mentor sekaligus pelaku poligami, Hafidin atau biasa disapa Coach Hafidin. Video ini berhasil meraup 2,2 juta view dalam 10 hari dan menjadi pembicaraan hangat di beberapa media sosial karena pernyataan-pernyataan kontroversinya. Video ini bahkan berhasil menarik perhatian Kevin Nguyen seorang pemuda kritis yang eksis di media sosial Tiktok dan Instagram membahas pernyataan kontroversial Hafidin “poligami tak perlu mapan” dalam Videonya berjudul “Bahas Statement Mentor Poligami”.

Pernyataan yang paling menyulut emosi netizen adalah alasan Hafidin dalam menceraikan salah satu istrinya yang sudah menopause. Pernyataan ini bahkan ditanggapi oleh seorang aktris papan atas sekelas Prilly Latuconsina menggunakan akun  resminya. “Diceraikan karena menopause? berarti menikahi perempuan karena untuk dalam kolom komentar di akun youtube pribadinya reproduksi saja ya? Ya Allah semoga hamba tidak mendapatkan jodoh seperti ini yang meninggalkan hamba karena kodrat yang engkau tentukan, Aamiin.” ujar Prilly.

Yang paling meresahkan masyarakat adalah bahwa para pelaku poligami ini semakin berani mencari tempat di tengah masyarakat dengan merebaknya pamflet mentoring poligami berbayar di sosial media, seperti Instagram. Meskipun terdengar konyol bagi sebagian orang, Hafidin memiliki cukup banyak pelanggan, bahkan sampai menghasilkan penghasilan sebesar Rp100 juta perbulan.

Sejarah Poligami

Poligami adalah tradisi yang sudah lama ada, bahkan sebelum Islam dibawakan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, poligami dalam Islam sebenarnya hanya merespons tradisi poligami yang sudah ada  mencoba memberikan batasan yang jelas.

Tradisi ini sendiri muncul di berbagai belahan dunia termasuk di Eropa dan china karena adanya relasi yang tidak imbang anatara laki-laki dan perempuan. Di mana salah satu pihak merasa bahwa dirinya lebih tinggi daripada yang lain, dalam hal ini pada objek kekerasan seksual, pelecehan akan lebih mungkin terjadi. Apalagi dalam sejarahnya, perempuan bahkan pernah diragukan sebagai manusia. Hal ini pernah dibahas oleh Dorothy Sayers salah satu dari teolog wanita lulusan Oxford pertama dalam bukunya “Are Women Human?” yang terbit di awal 1900-an yang menceritakan tentang bagaimana wanita diperlakukan di Inggris.

Agama Like di Cina memperbolehkan poligami sampai 130 orang. Dalam Hindu seorang Brahmana boleh mengawini perempuan sebanyak apapun yang dia suka. Begitu pula dengan Yahudi dan Nasrani yang memperbolehkan pernikahan kedua, ketiga dan keempat. Bahkan di Amerika serikat pada 1830 M, sekte Mormons mengatakan bahwa jika laki-laki terikat hanya pada satu perempuan adalah sebuah anomali.

Dalam sejarah poligami Arab pra-Islam, seorang lelaki dapat memiliki sepuluh, dua puluh, bahkan 100 istri terutama jika ia seorang raja. Namun, Nabi Muhammad pada saat itu telah bersabda pada Ghilan bin Salamah ketika ia memeluk Islam sedangkan ia mempunyai 10 istri, “pertahankan empat saja dan ceraikan selebihnya”. Kemudian Naufal bin Mu’awiyah bercerita, “aku memeluk islam sedangkan aku mempunyai 5 istri”. Maka Nabi berkata, “Ceraikanlah satu dari mereka”. (H.R. Imam Syaafii dalam Musnadnya)

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ، فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Artinya, “Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga atau empat. Lalu bila kalian khawatir tidak adil (dalam memberi nafkah dan membagi hati di antara mereka), maka nikahilah satu orang perempuan saja atau nikahilah budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat pada tidak berbuat aniaya.”

Surat An-Nisa ayat 3, di atas menjadi dalil dan pengesahan dari orang-orang bernafsu berkedok ibadah. Dengan hanya mengutip ‘maka’ dan menghilangkan syaratnya ‘Bila’. Dalam ayat tersebut disebutkan sebuah kondisi bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap seorang perempuan. Maka hanya jika syarat tersebut terpenuhi ia boleh menikahi satu sampai empat perempuan. Kalimat selanjutnya memperjelas bahwa monogami lebih diutamakan karena dapat menghindari ketidakadilan. Dengan ini jelas perintah poligami itu tidak ada di Al-Quran.

Dalam video yang diunggah Najwa Shihab “Shihab & Shihab – Pernikahan Dalam Islam: Poligami Dalam Islam (Part 3)” Quraish Shihab memaparkan, “poligami itu sebagai pintu darurat, posisinya di belakang dan tidak ada yang boleh duduk di depan pintu tersebut kecuali  dalam situasi menekan”.

Mengapa Poligami Semakin Marak?

Fenomena kampanye poligami sebenarnya sudah marak semenjak 2018 lalu. Digitalisasi teknologi yang super cepat membuat informasi apapun memiliki hak yang sama untuk beredar. Isu ini pernah disinggung oleh Vice Indonesia dalam video YouTube-nya yang berjudul ‘Polemik Poligami di Indonesia: Berbagi Surga’. Dalam video wawancara tersebut, Arzia Wargadiredja berusaha mengenali kehidupan keluarga berpoligami dengan berinteraksi langsung bersama mereka.

Dalam video tersebut Arzia datang ke salah satu konferensi poligami di Jawa Barat dan mendengarkan pernyataan-pernyataan yang sama kontroversialnya dengan yang dilakukan oleh Hafidin. Riski Ramdani selaku CEO dari konferensi poligami tersebut memiliki argumen yang persis seperti Hafidin, yaitu menjadikan nafsu laki-laki sebagai alasan dari praktek poligaminya. Dengan alasan terhindar dari dosa tersebut, poligami menjadi jalan keluarnya.

Berbeda dengan Hafidin yang hidup dengan sederhana, Riski adalah orang yang dapat dibilang mapan dan memiliki pendidikan yang tinggi. Meskipun begitu ada dua kesamaan antara kedua pelaku poligami ini: mereka sama-sama pandai bicara dan memanipulasi istri-istrinya.

“Ketika saya mengobrol dengan kedua istrinya, Riski selalu ada di sekitar kami. Saya juga mendengar istrinya berkali-kali mengulang argumen yang sama dengan Riski,” ujar Arza.

Meskipun begitu Azra mencoba menetralkan sudut pandangnya dengan mewawancarai seorang penyintas poligami. 

“Saya gak, percaya. Masa ibadah harus menyakitkan? Apakah tidak ada ibadah yang lain? Apakah masuk surga hanya lewat poligami?” ujar penyintas yang lebih memilih meninggalkan suaminya daripada dipoligami.

Sementara Riski menganggap poligami adalah bagian vital dalam mencapai kesalehan. Nina Nurmila seorang akademisi Islam yang selama belasan tahun telah menggiati poligami mengatakan bahwa, poligami memperparah ketimpangan gender dan tidak membenarkan adanya poligami karena rentan akan adanya kekerasan psikis terhadap perempuan.

Kekerasan perempuan dalam poligami yang paling sering terjadi adalah kecemburuan. Pelaku poligami menganggap bahwa rasa sakit atas cemburu adalah cara untuk mendapat ridha dan surga-Nya. Namun hal ini dibantah oleh Nina, “Tidak, yang benar itu nyaman di hati. Islam mengajarkan untuk bahagia dunia akhirat. Rabbana attina fidunyya hasanah wafil akhiratil hasanah,” ujar Nurmila.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran