Bandung — BandungBergerak menyelenggarakan Festival Bandung Menggugat pada Sabtu (12/04) di Lapangan Bale RW Dago Elos, Bandung. Berbagai lapisan masyarakat turut hadir memeriahkan Festival Bandung Menggugat. Festival ini dikemas secara menarik dengan diadakannya diskusi-diskusi, orasi, pameran foto, dan pertunjukan seni.
Festival Bandung Menggugat diadakan sebagai upaya merawat kobaran api perlawanan, terutama di Dago Elos dan daerah lain yang mengalami nasib serupa. Fokus utamanya adalah isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga kini masih belum terselesaikan di era reformasi, dan justru mengalami peningkatan.
Festival diawali oleh diskusi dengan tajuk “Selagi Mahasiswa Berani Bersuara, Kampus Belum Akan Mampus” yang dipantik oleh Cindy Veronica selaku Penulis “Melawan dengan Gagasan”; Bivitri Susanti, Akademisi STHI Jakarta; Zen RS, Penulis; dengan Tofan Aditya dari BandungBergerak sebagai moderator diskusi. Secara keseluruhan diskusi ini membahas mengenai upaya pergerakan mahasiswa yang masih terbatas dikarenakan ruang geraknya dibatasi oleh otoritas kampus.
Sistem yang diterapkan di perguruan tinggi saat ini seperti sengaja untuk membentuk kelas pekerja daripada untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Hal ini tentu menjadi keresahan sendiri bagi kelompok tertentu dan mahasiswa itu sendiri karena dengan adanya sistem yang mengekang ruang gerak mahasiswa, maka pergerakan mahasiswa akan selamanya dipandang sebelah mata oleh publik. “Ketakutan itu diciptakan oleh penguasa, ketakutan itu bisa dimaklumi dan hal yang harus kita lakukan adalah melawan,” ujar Bivitri. Ketakutan sengaja dibentuk oleh penguasa agar masyarakatnya patuh terhadap kebobrokan yang mereka buat. Kepatuhan tersebut tentu saja dapat merepresi pemikiran-pemikiran kritis yang dimiliki oleh mahasiswa.
“Kampus menyulitkan kalian untuk berlatih otak dan otot pengorganisiran karena struktur ekonomi dan politiknya tidak memungkinkan terlalu banyak eksperimen. Maka memang harus terlibat dalam sekolah-sekolah liar dan itu semua tidak ada di dalam kampus. Datanglah ke titik-titik dimana kita bisa terhubung dengan masyarakat,” ujar Zen.
Selain diskusi tersebut, terdapat juga diskusi lain yang bertema demokrasi dalam rezim baru dengan Heri Pramono, Asfinawati, serta Virdinda La Ode Achmad sebagai pembicara. Orasi-orasi juga ditampilkan di festival ini oleh Kalis Mardiasih dengan orasi bertema pergerakan perempuan dalam penindasan serta Herry “Ucok” Sutresna yang berorasi tentang upaya membangun gerakan politik alternatif.
Ada pula pertunjukan seni seperti Teater Bale Warga, Unacceptable, Accident, Tarang Karuna, Bendi Harmoni, bahkan Sukatani, band yang sempat diintimidasi oleh pihak kepolisian turut memeriahkan Festival Bandung Menggugat. Hujan di sore hari bukanlah halangan bagi penonton untuk menikmati acara musik. Penonton mulai membentuk moshpit di tengah-tengah lapang yang menandakan mereka menikmati musik yang digaungkan oleh band Unacceptable, Accident dan Sukatani.
Terdapat Pameran foto dengan tema “Melawan sebagai Keseharian” yang menarik perhatian pengunjung. Sebanyak 23 foto yang dipotret oleh dua jurnalis andalan BandungBergerak yaitu, Virliya Putricantika dan Prima Mulia ditampilkan di sekitar titik kegiatan. Foto-foto yang dipamerkan merupakan foto ketika aksi demonstrasi sedang berlangsung, dimulai dari May Day (2019) sampai dengan Penolakan UU TNI (2025). Selain itu, foto-foto dari aksi perjuangan warga Dago Elos, Tamansari, Kebon Jeruk, serta Anyer Dalam yang sedang mempertahankan lahan mereka juga ditampilkan dalam pameran ini.