‘Football is Coming Home’: Sebuah Kepercayaan Diri atau Kesombongan?

Fajar Hikmatiar
879 views
','

' ); } ?>

Semenjak bergulirnya Piala Dunia 2018 di Rusia, media Inggris mulai menggembar-gemborkan slogan “Football is coming home” untuk menunjukan dukungan mereka kepada The Three Lions—julukan Timnas Inggris. Hal ini tidak lepas dari mulai munculnya generasi emas Timnas Inggris yang berisikan bintang-bintang muda yang menjanjikan untuk tampil bersama di ajang internasional. Walaupun gagal merengkuh titel juara dunia, Inggris pada 2018 berhasil menjadi semifinalis dan finish di peringkat 4 turnamen. Tapi, apakah maksud sesungguhnya dari “Football is coming home”?

Jika dilihat dari berbagai sumber sejarah, banyak disebutkan bahwa sepak bola ditemukan di tanah Inggris. Salah satu yang menjadi bukti adalah fakta bahwa klub sepak bola tertua di dunia saat ini adalah Sheffield FC, klub liga Inggris yang kini berkompetisi di Northern Premier League. Begitupun asosiasi sepak bola tertua di dunia adalah asosiasi sepakbola Inggris (The Football Association aka FA). Berdiri pada tahun 1871, FA disebut telah melahirkan aturan permainan sepak bola pertama yang dirumuskan oleh para pendirinya.

Selain itu, banyak sumber menyebutkan bahwa sepak bola berawal dari sebuah permainan bola yang kerap dimainkan di sekolah umum di Inggris pada abad pertengahan. Turnamen sepakbola tertua pun berasal dari tanah Inggris, dengan mulai digelarnya turnamen FA Cup pada tahun 1872. Tapi, apakah itu serta merta membuat Inggris layak disebut sebagai rumah dari sepakbola?

Frasa “Football is Coming Home” sendiri memang dapat diterjemahkan sebagai ‘Sepak bola akan pulang ke rumah’. Namun, makna dari frasa tersebut bisa lebih dari itu. Jika merujuk pada kondisi di Inggris, yang mana Inggris telah menjadi kiblat sepakbola dunia tetapi tim nasional mereka amat kering prestasi, kata “sepak bola” dalam frasa tersebut dapat dimaknai sebagai prestasi di ajang internasional. Tidak lain dan tidak bukan, terakhir kali Inggris meraih gelar di ajang internasional adalah ketika mereka menjuarai Piala Dunia 1966 yang digelar di negara mereka sendiri. Sehabis itu, Inggris mengalami puasa gelar bertahun-tahun yang menyebabkan “Football isn’t coming home” karena mereka telah berkelana ke berbagai turnamen, namun tak pernah lagi merengkuh titel internasional.

Ungkapan “Football is Coming Home” ini boleh jadi menjadi sebuah bentuk dukungan dan kepercayaan diri untuk mengembalikan kejayaan Inggris dalam dunia sepak bola. Tapi yang menjadi permasalahan bagi penikmat sepak bola, publik Inggris—terlebih medianya, terlalu berlebihan dan terlalu membesar-besarkan potensi Timnas Inggris. Padahal, bila dilihat apa yang terjadi di lapangan, boleh jadi potensi Timnas Inggris tidak sebesar yang diekspektasikan para penggemarnya.

Generasi emas yang pernah lahir di tanah Inggris pun tidak pernah benar-benar merealisasikan “Football is Coming Home”. Inggris pernah mempunyai skuat dengan nama-nama besar di dalamnya. Di akhir era 80-an, terdapat nama-nama seperti Bryan Robson, Gary Lineker, Paul Gascoigne dan kiper legendaris Peter Shilton.  Di Era 90-an, dimulai era baru kompetisi sepak bola Inggris dengan dibentuknya English Premier League (EPL). Banyak nama-nama muda yang menjanjikan yang lahir di era ini. Sebut saja Class of 92-nya Manchester United. Namun, Inggris pun tidak bisa berbuat banyak sepanjang dekade 1990.

Begitu pula dengan generasi emas Inggris awal dekade 2000-an, harapan “Football is Coming Home” kembali bergejolak di tanah Inggris. Inggris saat itu dihuni nama-nama seperti Paul Scholes, Steven Gerrard, Frank Lampard, David Beckham, John Terry hingga Rio Ferdinand. Namun, “Football is not really coming home”. Inggris yang saat itu ditangani Sven-Goran Eriksson, apes takluk di babak adu penalti di dua turnamen besar secara beruntun. Dua-duanya dari Portugal, pada Euro 2004 dan Piala Dunia 2006. Lebih parah lagi, Inggris gagal di kualifikasi Euro 2008.

Tak berlebihan jika menganggap slogan “Football is Coming Home” tidak lebih dari sekadar slogan kosong yang tidak menghasilkan apa-apa. Inggris adalah salah satu negara dengan fanatisme sepak bola terbesar di dunia. Banyak firma-firma hooligans yang terkenal seantero Eropa lahir di sana yang membuat rivalitas antar klub Inggris begitu kuat baik di dalam maupun luar lapangan.

Sayangnya, aroma rivalitas dan persaingan itu pun terbawa masuk ke ruang ganti tim nasional. Steven Gerrard yang bermain untuk Liverpool dan Frank Lampard yang merupakan legenda Chelsea, misalnya. Mereka sejatinya mempunyai posisi dan gaya bermain yang sama, tetapi justru tidak padu jika bermain bersama dan kerap tumpang tindih di lini tengah Timnas Inggris. Hal ini yang membuat Inggris tidak pernah bisa berbuat banyak di turnamen internasional.

Dengan begitu, apakah arti sesungguhnya “Football is Coming Home”?

Football is Coming Home” ini kembali naik ke permukaan di turnamen Euro 2020 ini. Saat ini, Inggris telah berhasil mengunci satu tempat di partai puncak untuk menghadapi Italia. Secara hitung-hitungan, Italia lebih diunggulkan untuk menjuarai turnamen kali ini. Tetapi untuk memprediksi pertandingan sepak bola, variabel yang harus diperhatikan sangat kompleks. Terdapat faktor-faktor non-teknis yang dapat memengaruhi hasil pertandingan.

Tetapi Inggris tetaplah Inggris. “Football is Coming Home” hanya akan menjadi olokan semata bila ego antar pemain di level klub masih terbawa ke tim nasional.  Bila tadinya “Football is Coming Home” merupakan bentuk kepercayaan diri untuk mengembalikan kejayaan, mungkin pada akhirnya hanya akan menjadi bentuk kesombongan orang Inggris atas pengakuan sebagai pemilik sepak bola sesungguhnya.

Subscribe
Notify of
guest

1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Chyntia

Baca ini jd ironis sendiri sm kenyataan yg terjadi pas kemarin final Euro hahaha tp di sisi lain jg ngeri karena sempat memantik api rasisme di Inggris, duh 😥

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran