Fungsi Ngenalin Senior-senior Pas Mabim Itu Buat Apaan, sih?

Miftah Firdaus Zein
1467 views
','

' ); } ?>

Memasuki bulan Agustus dan bulan September, layaknya lailatul qadar yang merupakan malam kemuliaan, pada kurun waktu tersebut juga terdapat kemuliaan, yakni proses pengenalan dunia kampus oleh kakak-kakak senior terhadap adik-adik junior mahasiswa baru atau yang akrab disebut sebagai ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus) atau mabim (masa bimbingan). Ya walaupun kegiatan yang dijalankan dan dilaksanakan proses ospek/mabim ini tidak mulia-mulia banget, sih.

Pada masa-masa ini, berbagai universitas berlomba untuk menyelenggarakan kegiatan ospek/mabim sebaik-baiknya. Tidak hanya “lomba” antar universitas, berbagai fakultas juga berlomba untuk menampilkan kecirikhasannya dan kekhususannya masing-masing untuk menunjukkan yang terbaik kepada para mantan pejuang SBMPTN ini, pada tingkat program studi (prodi) pun juga tidak ingin ketinggalan untuk mengambil bagian.

Ospek/mabim jurusan di tingkat prodi merupakan kegiatan yang katanya, sih, untuk memperkenalkan dunia kampus, khususnya iklim perkuliahan dalam prodi yang dipilih oleh mahasiswa baru. Yah, biar nggak kaget dan nggak perlu adaptasi lebih lanjut karena para mantan “siswa” ini sekarang sudah mendapat gelar “maha” di depan gelar siswanya. Tentunya, tantangan yang akan dilewati pun akan berbeda dengan kegiatan atau proses pembelajaran di sekolah.

Dalam masa inilah, seringkali, panitia mabim/ospek yang sudah menyusun sedemikian rupa kegiatan dan mekanisme untuk acara ini, biasanya mendapatkan tanggapan dari masyarakat jurusan, atau yang paling dominannya adalah dari para kakak senior.

Bak veteran perang dengan segudang pengalaman yang kesannya selalu mengalami penderitaan tak berkesudahan, mereka selalu saja menyebut bahwa ospek/mabim yang dijalaninya lebih berat dan lebih perih dari yang dijalani adik- adik tingkatnya. 

Pada masa ospek/mabim ini, kakak tingkat yang dapat disebut “si tua” ini seringkali “campur tangan” terhadap kegiatan ospek/mabim dengan dalih agar pelaksanaannya dapat berjalan lebih baik dengan masukan yang diberikan. Masukan yang diberikan si tua ini pun beragam: dari mulai mengomentari ihwal konsep filosofis sampai kepada hal-hal teknis yang akan dijalankan. 

Namun, pada akhirnya si tua ini tidaklah hanya memberikan sekadar masukan saja, tapi yang di dapatkan panitia ospek/mabim seringkali malah berujung intervensi yang berakibat mengubah konsep kegiatan yang sebelumnya sudah disiapkan dan disusun secara matang.

Si tuanya pun sering kali menekankan kepada panitia ospek/mabim agar mereka, dengan segala pengalamannya –barangkali terlalu banyaknya pengalaman yang sudah mereka dapatkan sampai bingung mau dibagikan ke siapa, dikenalkan terlebih dahulu kepada maba. Hal ini amat disayangkan dalam iklim dunia perguruan tinggi seperti kampus karena “hal kuno” seperti ini masih terus langgeng berjalan. 

Masalahnya, si tua selalu kepengen diperkenalkan terlebih dahulu dan minim sekali inisiatif untuk mau mengenal dan berkenalan lebih dahulu kepada maba -yang lebih muda. Kalau memang benar-benar ingin menekankan sebuah nilai kekeluargaan dalam sebuah society  ataupun sebuah masyarakat jurusan, sepertinya hal-hal kuno semacam ini harus dibuang jauh- jauh, deh!

Hal kuno tadi dapat menghambat tumbuh dan berkembangnya setiap individu, baik dari si tua ataupun si muda. Dalam kondisi tersebut, akan terjadi sebuah tradisi di mana si tua menganggap dirinya superior dan si muda dianggapnya inferior. Lingkaran seperti ini akan terus berlanjut jika tak ada perubahan.

Padahal, kalau misalnya saja si tua ini mau inisiatif dan tak memiliki ego sebesar itu untuk memulai percakapan dan berkenalan lebih dahulu dengan si muda, saya rasa itu akan menjadi awal yang amat sangat baik untuk kedua belah pihak yang dapat memunculkan interaksi tanpa adanya kecanggungan. Kedekatan yang diciptakan pun tidaklah hanya jargon dan bullshit belaka yang seringkali mengatasnamakan “kekeluargaan” Toh, juga dengan berinisiatif untuk berkenalan lebih dahulu tidak lantas membuat dirinya menjadi hina, kok.

Bila ditelaah lebih lanjut, hal ini terjadi mungkin karena tradisi sowan yang sudah mengakar sedari dahulu, sehingga ada ego yang tumbuh menjadi sebuah tembok penghalang untuk mau mengenal lebih dahulu angkatan yang lebih muda dan maunya dikenalkan oleh panitia ospek/mabim saja. 

Menyebalkannya, pihak himpunan pun dapat dipertanyakan kapasitas dan kapabilitasnya oleh si tua ini jika himpunan tidak terlibat untuk mengenalkan si tua kepada si muda. Ya, gampangnya himpunan bakal dicap jelek dan inkompeten jika tidak menjalankan tradisi ini. Padahal, yang seharusnya dilanggengkan adalah bukan pada tradisinya, melainkan kesadaran yang harus ditumbuhkan adalah kenapa harus melanggengkan sebuah tradisi?

Toh, banyak juga dari golongan si tua yang malah nantinya mendapat kelas kuliah bersama dengan golongan si muda. Sebut saja mengulang mata kuliah. Tidak usahlah menganggap dirinya lebih baik dan berpengalaman karena tidak selamanya juga yang tua lebih memiliki banyak pengalaman dari yang muda.

Semoga kejadian seperti ini tidaklah terjadi kembali pada dunia kampus, yang mana hal ini sudah terjadi bertahun-tahun. Sudah seharusnya proses pengenalan menjadi langkah awal untuk mengenalkan dunia kampus dengan segala tetek bengeknya dan menjadi ajang kolaborasi antara yang muda dan yang tua. Layaknya kemerdekaan Indonesia yang muncul dan dapat diraih setelah adanya kolaborasi antara yang tua dan yang muda.

Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran