Generasi Milenial: Antara Dijajah dan Menjajah Globalisasi

Redaksi Pena Budaya
735 views
','

' ); } ?>

Berbicara tentang generasi milenial memang tidak akan jauh dari kata globalisasi. Generasi milenial yang sering disebut sebagai Generasi Y adalah masyarakat yang lahir sekitar tahun 1980 sampai 2000an. Generasi ini bisa disebut sebagai generasi yang istimewa, karena di zaman milenial, globalisasi masuk dan berkembang pesat khususnya dalam bidang teknologi, komunikasi, dan informasi. Hal ini tentu menjadi keuntungan untuk generasi milenial, karena saat ini globalisasi menjadi salah satu faktor penting di dalam kehidupan. Rasanya, globalisasi menjadi pelengkap dalam menyelaraskan kebutuhan dalam hidup. Tanpa adanya globalisasi, masyarakat akan dengan kesulitan melakukan sesuatu.

Globalisasi pada dasarnya ada karena kebutuhan yang dimiliki oleh masing-masing bangsa di seluruh dunia. Adanya globalisasi di Indonesia juga tidak luput dari percampuran antara budaya Indonesia dan budaya asing atau disebut dengan akulturasi. Seperti mendapatkan warisan dari penjajah barat, Indonesia di dominasi oleh kebudayaan bangsa penjajah yang sudah melekat sampai saat ini. Setelah dijajah oleh bangsa barat selama 3,5 abad, Indonesia kelihatannya seperti bergantung pada budaya barat. Seakan-akan, mereka masih mempertanyakan apa identitas diri mereka. Apakah setelah lebih dari enam dekade merdeka dari penjajah, masyarakatnya juga ikut merdeka?

Kasus seperti ini bisa terlihat di generasi milenial. Generasi milenial yang lahir di zaman teknologi yang sedang berkembang pesat membuat mereka harus mengikuti alur perkembangan zaman. Hal ini juga yang membuat mereka terlihat begitu bergantung pada globalisasi. Mungkin, secara fisik mereka memang tidak pernah merasakan bagaimana dijajah oleh bangsa Barat. Namun secara tidak langsung mereka dijajah dalam hal budaya.

Globalisasi bisa disebut sebagai kolonialisme modern. Contohnya seperti saat ini, generasi milenial dituntut untuk bisa berbicara dwibahasa dengan bahasa Inggris atau pun bahasa asing lainnya. Penyebab adalah sudah takadanya batasan antar dunia. Selain itu, mereka dituntut untuk bisa berbicara bahasa asing lainnya jika ingin memiliki pekerjaan. Semakin banyak bahasa asing yang dikuasai, maka semakin besar pula lapangan pekerjaan yang akan diterima. Karena hal ini pula, bahasa Indonesia bisa semakin melemah dikemudian hari.

Hal ini juga diperkuat oleh Frantz Fanon dalam bukunya Black Skin, White Mask (1952), yang menyatakan berbicara berarti mengasumsikan bahwa budaya merupakan di atas segalanya, yang medukung bobot daripada suatu peradaban. Globalisasi hanya sebuah nama samaran dari perpindahan ‘kolonial klasik’ ke ‘kolonial modern’.

Tanpa sadar, generasi milenial seperti terkagum-kagum pada semua hal yang berbau Barat. Seperti sudah tertanam dalam diri masing-masing bahwa Barat tetap lebih baik. Dengan tertanamnya anggapan bahwa Barat adalah segala-galanya, membuat generasi milenial tunduk pada negara penjajah. Mereka akan dengan senantiasa mengikuti perkembangan globalisasi yang berasal dari negara Barat. Hal negatifnya, sikap individual dan apatis yang dimiliki oleh bangsa Barat ikut diaplikasikan ke dalam gaya hidup sehari-hari. Hal ini yang membuat generasi milenial acap kali disebut sebagai generasi perusak bangsa karena tunduk pada globalisasi, bukan mengambil hal positif dan memanfaatkannya. Sikap individual seperti tidak menghiraukan keadaan sekitar, tidak memiliki sopan santun, pergaulan bebas, dan sebagainya sudah tertanam betul dibenak masing-masing.

Seharusnya, menjadi Generasi Y, generasi si zaman teknologi, membuat mereka menjadi lebih cerdas daripada penjajah Barat di masa lalu. Penjajah Barat pada saat itu belum tentu bisa melakukan apa yang generasi milenial bisa lakukan. Namun, mengapa saat ini teknologi justru terlihat lebih cerdas daripada generasi milenial? Generasi yang katanya menjadi pendorong kemajuan bangsa.

Namun, bukan berarti menjadi generasi milenial yang baik adalah generasi penolak globalisasi. Globalisasi memang tidak mungkin dihapus dari kehidupan bangsa, karena pada dasarnya kolonialisme modern ini sudah ada sejak Indonesia terjajah oleh bangsa Barat. Untuk menjadi bangsa yang baik, hal yang seharusnya diaplikasikan ke dalam kehidupan adalah memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan individual maupun kepentingan negara. Misalnya saja seperti memanfaatkan ilmu dari Barat untuk diaplikasikan ke negara sendiri guna menjadi negara yang lebih maju; atau perkembangan teknologi, komunikasi, dan informasi yang sangat pesat, bisa digunakan untuk mempromosikan kebudayaan Indonesia ke seluruh dunia sehingga budaya dari negeri sendiri bisa lebih dikenal, dan tidak akan punah terkubur oleh budaya modern. Di bidang ekonomi, produk dalam negeri dipasarkan ke mancanegara—dibantu dengan berkembangnya pasar bebas pada saat ini—sehingga bisa meningkatkan devisa negara. Hal-hal seperti ini yang seharusnya dimanfaatkan oleh generasi milenial dalam mendorong faktor poskolonialisme khususnya di negeri sendiri.

Sebagai generasi penerus bangsa, sudah sepatutnya generasi milenial lebih cerdas dalam beradaptasi dan menempatkan diri mereka pada posisi menguntungkan untuk melakukan perlawanan kembali secara terselubung. Dengan melakukan perlawanan secara tidak langsung, pendekatan kolonialisme modern yang berasal dari Barat akan menjadi bumerang yang ampuh untuk balik melawan para penjajah saat ini. Selain itu, perlu adanya pemanfaatan segala faktor yang sudah diberikan oleh bangsa Barat untuk modal kemajuan bangsa juga perlu dilakukan. Dengan demikian, generasi milenial bisa menjadi generasi cerdas yang bisa mengubah sistem dijajah globalisasi menjadi menjajah globalisasi. (ZAS).

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran