Perempuan dan Kapitalisme: Glow Up atau Terperangkap? Ketika Body Positivity Dikemas demi Profit

Sarah Ardelia
65 views
','

' ); } ?>

Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, standar kecantikan yang terus berubah kian menjadi ladang subur bagi kapitalisme. Gerakan body positivity yang merupakan upaya untuk menerima dan mencintai tubuh sendiri tanpa terperangkap oleh standar kecantikan, seharusnya menjadi ruang pemberdayaan dan penerimaan diri bagi perempuan. Namun, dalam praktiknya gerakan ini kerap kali menyimpang. Alih-alih membebaskan perempuan dari tekanan standar kecantikan, konsep ini justru dikemas ulang sebagai strategi pemasaran demi keuntungan.

Sejak pandemi COVID-19, media sosial semakin berperan dalam membentuk standar kecantikan. Tren glow up semakin populer, dari wajah jerawatan menjadi mulus dalam hitungan hari misalnya, sering sekali dikemas dalam video persuasif dengan janji perubahan yang instan. Kapitalisme modern dalam dunia kecantikan tidak hanya menciptakan produk kecantikan yang baru, tetapi juga terus memperbarui standar kecantikan yang ada melalui strategi pemasaran yang lebih canggih dan relevan dengan keadaan. Perusahaan kosmetik dan skincare bekerja sama dengan para beauty content creator dan influencer di platform seperti TikTok dan Instagram untuk menghasilkan konten viral tentang produk mereka. 

Program afiliasi di berbagai platform, seperti TikTok dan Shopee, mendorong afiliator untuk membuat konten yang menarik guna meningkatkan minat penonton dalam membeli produk, yang kerap disebut sebagai “keranjang kuning”. Dalam proses ini, banyak afiliator berlomba-lomba untuk menciptakan konten persuasif demi meraih komisi. Selain itu, algoritma yang semakin cepat menangkap tren turut membentuk pola konsumsi baru dan memperkuat fenomena Fear of Missing Out (FOMO), yang pada akhirnya mendorong konsumerisme tanpa henti.

Kapitalisme berkolaborasi dengan budaya iklan untuk menanamkan standar kecantikan yang terus berubah. Dwi Ratna Aprilia dalam Kajian Semiotik Iklan Cetak (2005) menunjukkan bahwa iklan tidak hanya menawarkan produk, tetapi juga membentuk ideologi kecantikan. Identitas perempuan dikonstruksi sebagai “objek” yang harus memenuhi standar tertentu: kulit putih, wajah mulus, tubuh langsing, dan rambut hitam lurus. Perempuan “ideal” diposisikan sebagai individu yang terus-menerus mengonsumsi produk kecantikan demi meraih validasi sosial.  

Eksploitasi tubuh perempuan melalui standar kecantikan bukanlah fenomena baru. Kapitalisme sejak lama memanfaatkan budaya massa untuk menciptakan berbagai kebutuhan baru, dari deodoran hingga produk pemutih yang dipasarkan dengan janji kesempurnaan. Wacana yang dikonstruksi secara halus dalam iklan dan budaya populer menanamkan keyakinan bahwa tubuh yang “tidak ideal” adalah sumber ketidakpercayaan diri. Inilah yang memunculkan apa yang disebut sebagai “kesadaran palsu” sebuah keyakinan bahwa perempuan harus terus mengubah diri mereka demi memenuhi standar kecantikan yang sebenarnya hanyalah hasil rekayasa industri. Konsep ini juga dibahas dalam Feminisme Profetik karya Asmaeny Aziz, yang menyoroti bagaimana kapitalisme mengeksploitasi perbedaan gender untuk menciptakan ketidakadilan dan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas.

Industri kecantikan menggunakan berbagai strategi untuk mempertahankan dominasi pasar. Satu di antaranya adalah pemasaran berbasis FOMO, yakni menciptakan tren viral agar audiens merasa tertinggal jika tidak membeli produk. Testimoni dan ulasan persuasif juga dimanfaatkan, dengan menampilkan kisah sukses dan perubahan instan yang digunakan untuk meyakinkan konsumen. Selain itu, penguatan algoritma media sosial membuat konten kecantikan diprioritaskan agar standar kecantikan menyebar lebih cepat. Body positivity pun ikut dikomodifikasi. Kampanye glow up yang menampilkan transformasi dari breakout hingga kulit mulus tetap berujung pada konsumsi. Kalimat seperti “Setelah penggunaan ke-7 hari, jerawatku seketika hilang” menjadi bagian dari strategi pemasaran yang memperkuat dorongan untuk membeli produk. Melalui strategi-strategi ini, tidak hanya produk yang terjual, tetapi juga identitas perempuan direkayasa sedemikian rupa sehingga nilai-nilai pemberdayaan beralih menjadi alat pemasaran yang agresif.

Melalui strategi tersebut, tidak hanya produk yang terjual, tetapi juga identitas perempuan direkayasa sedemikian rupa sehingga nilai-nilai pemberdayaan beralih menjadi alat pemasaran yang agresif. Transformasi glow up bisa dianggap sebagai bentuk pemberdayaan, tetapi sering kali hanya menjadi strategi kapitalisme untuk mendorong perilaku konsumtif. Perempuan terjebak dalam siklus tanpa henti, nilai diri mereka dikaitkan dengan kepatuhan terhadap standar kecantikan yang dibuat oleh industri. Kita perlu lebih kritis dalam menghadapi narasi konsumtif yang dibentuk oleh industri kecantikan. Kesadaran akan manipulasi standar kecantikan dapat membuka ruang bagi pemberdayaan yang lebih autentik, tempat bagi perempuan dihargai atas keunikannya, bukan citra yang dikonstruksi oleh kapitalisme. Pada akhirnya, glow up sejati bukan tentang memenuhi standar industri, melainkan tentang memiliki kendali atas tubuh dan pilihan sendiri, tanpa tekanan untuk terus membeli demi memenuhi ekspektasi.

Daftar Pustaka

Aprilia, D. R. (2005). Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan (Analisis semiotika iklan cetak WRP Body Shape & Prolene). Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(2), 41–68.

Aziz, Asmaeny. (2008). Feminisme Profetik. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Irvan, C. (2022, 28 September). Beauty Standard Belenggu Diskriminasi Terhadap  

Perempuan. IMM FAI UAD. http://imm.fai.uad.ac.id/beauty-standard-belenggu-diskiriminasi-terhadap-perempuan/28/

Subscribe
Notify of
guest


0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya