Menjadi perempuan adalah sebuah berkat, sebuah karunia yang tak ternilai harganya. Tapi menjadi perempuan juga merupakan sebuah perjuangan, terlebih di sini. Iya, di sini, di tempat yang bahkan untuk memperoleh hak dan keadilan untuk perempuan pun, harus ada usaha yang tak mengenal lelah dan gentar, meski tidak ada jaminan apa pun yang bisa memastikan seluruh usaha itu akan berbuah manis dan menghasilkan kebahagiaan.
Pada hari yang bertepatan dengan perayaan International Women’s Day tahun 2021 ini, jika harus menjelaskan bagaimana perasaan saya, rasanya campur aduk. Di satu sisi, saya merasa begitu bangga dengan seluruh kerja keras perempuan selama ini untuk memperjuangkan apa yang seharusnya mereka peroleh dari awal, dan bersyukur karena berkat perjuangan mereka, kini saya bisa merasakan keadaan yang lebih baik.
Namun di sisi yang lain, saya pun merasa prihatin, pilu, dan nggak habis pikir. Sebab hingga saat ini, di zaman yang sudah sangat maju dalam berbagai hal, masih begitu banyak hak dan keadilan yang belum juga diperoleh perempuan. Bahkan untuk hak yang mendasar sekalipun seperti hak untuk merasa aman dan mendapatkan perlindungan.
Hampir setiap hari akan selalu ada kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan, baik secara fisik maupun non-fisik. Berbagai kasus selalu bermunculan sampai-sampai menyentuh angka ratusan ribu, pun hal ini masih berpotensi untuk terus meningkat. Bahkan data Komnas Perempuan saja menyatakan kalau dalam kurun 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen.
Tapi angka hanya akan menjadi sekadar angka. Untuk bisa diperhatikan dan ditangani dengan (insya allah) serius, sebuah kasus kekerasan seksual harus viral terlebih dulu. Data hanya akan berakhir menjadi sebuah arsip saja jika sampai saat ini landasan hukum yang mengatur penanganan kasus kekerasan seksual bahkan masih berada diambang ketidakpastian antara akan disahkan atau tidak. Hal ini pun belum ditambah dengan kemungkinan bahwa bahkan ketika peraturan tersebut sudah disahkan, pelaksanaannya masih akan melenceng.
Saya selalu berduka setiap kali melihat bagaimana korban-korban kekerasan seksual harus berusaha untuk memviralkan apa yang telah mereka alami terlebih dulu di media sosial, baru kemudian akan ada penanganan lebih lanjut (yang belum tentu akan ditangani dengan baik dan benar pula). Ada yang akan berbicara mengenai pengalamannya dengan membuat thread di Twitter, atau dengan membuat video TikTok, atau melalui Instagram, dan berbagai platform lainnya.
Mereka akan memilih cara demikian karena melapor ke pihak berwajib seringkali (atau bahkan selalu) tidak akan menghasilkan apa pun. Bahkan dalam banyak kasus, korban justru akan menjadi pihak yang disudutkan. Diproses tidak, disalahkan iya. Meski sesungguhnya banyaknya korban yang berbicara ini juga menjadi tanda bahwa ada peningkatan keberanian korban untuk speak-up, dan ada peningkatan kesadaran atau awareness orang-orang terhadap kekerasan seksual.
Tapi apakah cara satu-satunya untuk bisa membuat orang-orang sadar akan isu ini adalah dengan membiarkan lebih banyak lagi korban berjatuhan? Apakah harus selalu menunggu hingga semuanya sudah kejadian baru akan ada tindakan?
Saya bahkan tidak sanggup untuk hanya sekadar membayangkan segala permasalahan yang harus dihadapi korban. Apakah setelah mengalami kekerasan seksual semuanya akan selesai begitu saja? Tentu tidak. Masih ada luka yang akan menetap entah sampai kapan. Masih ada trauma yang berkepanjangan. Masih ada ketakutan akan berbagai stigma yang masih berkembang di masyarakat. Pun masih ada keraguan dan cacian, yang akan datang dari berbagai pihak, bahkan dari orang terdekat sekalipun. Terlebih jika korban berani untuk memviralkan apa yang telah dialaminya ke media sosial, akan ada begitu banyak pihak yang entah menyalahkan pakaian, menyalahkan sikap korban, hingga menyalahkan kemampuan berpikir korban.
Mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk speak up saja sudah sebegitu susahnya, lalu ketika sudah berani, masih akan disalahkan pula. Saya bahkan nggak habis pikir kalau masih ada saja yang berkomentar bahwa pengalaman seperti itu lebih baik disimpan saja sendiri, karena hal itu tabu, aib, dan hanya akan merugikan diri sendiri. Sungguh, logika macam apa itu? Apakah dengan diam, diam, dan diam permasalahan ini akan selesai? Lalu pelaku dengan enaknya dapat hidup tenang selagi para korban menderita karena tidak bisa berbuat apa-apa? Harus berapa korban lagi?
Seperti apa yang pernah disampaikan penulis Ayu Utami dalam salah satu novelnya yang berjudul ‘Saman’,
“Dunia ini penuh dengan orang jahat yang tidak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum, atau aparat.”
Saya tidak akan berprasangka buruk dan menuduh bahwa para pelaku pasti memang selalu dilindungi hukum, atau lolos dari jeratan hukum dan aparat. Tapi yang pasti, kita semua bisa melihat kenyataannya kini, bukan? Saya rasa hanya dengan melihat realitas saat ini, orang-orang sudah bisa menafsirkan sendiri bagaimana kondisi yang sesungguhnya; betapa masih begitu banyak korban yang sebetulnya membutuhkan pertolongan, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa, ke mana, dan kepada siapa.
Saya hanya bisa berharap bahwa suatu saat nanti, akan ada hari dimana perempuan sudah terbebas dari belenggu ketidakadilan. Entah itu kapan, tapi saya yakin hari itu akan terjadi. Mungkin kelak tulisan ini akan menjadi bukti bahwa apa yang saya katakan memang benar-benar terjadi. Namun untuk saat ini, kami para perempuan, termasuk saya sendiri, masih harus terus berjuang.
Kita memang sudah melangkah sangat jauh. Tapi sesungguhnya, apa yang diperoleh dari perjuangan ini masih jauh dari kata pantas, bukan?
Happy International Women’s Day 2021!
Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra