Kelemahan Penyesuaian UKT

Redaksi Pena Budaya
1384 views
','

' ); } ?>

Sumber foto: Liputan6.com

Semester baru sudah di depan mata, tenggat waktu pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) pun semakin dekat.

Tak ayal hal ini membuat para mahasiswa yang tengah rehat dari kepenatan kuliah online merasa panas dingin, terutama bagi mereka yang kondisi ekonominya terdampak pandemi Covid-19.

Seperti yang kita tahu, wabah Corona yang melanda Indonesia sejak enam bulan ke belakang memiliki imbas yang cukup besar bagi perekonomian masyarakat, terutama yang tergolong masyarakat menengah ke bawah.

Hal ini disebabkan oleh hilangnya berbagai sumber penghasilan masyarakat akibat kebijakan PSBB yang menutup sementara tempat-tempat industri dan perkantoran.

Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut pihak perguruan tinggi untuk menurunkan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Para mahasiswa mempertanyakan perihal alokasi dana UKT yang mereka bayarkan selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbasis daring.

Mereka merasa bahwa fasilitas yang didapatkan selama PJJ tidak sebanding dengan besar biaya UKT yang telah dibayarkan, seperti tidak adanya perangkat khusus belajar yang bisa diakses secara gratis oleh mahasiswa, juga pemberian bantuan pulsa yang tidak merata.

Hal ini membuat para mahasiswa harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli kuota internet dengan uang sendiri.

Berkaca pada proses pembelajaran jarak jauh satu semester ke belakang, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, terutama mahasiswa Unpad, menuntut agar besar biaya UKT dipotong hingga 50% bagi golongan 3 ke atas dan menggratiskan biaya UKT bagi golongan 1 dan 2.

Pasalnya, berdasarkan data yang dirilis oleh BEM KEMA Unpad, diketahui bahwa besar biaya operasional yang dikeluarkan oleh kampus selama PJJ lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah dana yang berasal dari pembayaran UKT.

Hal ini terjadi karena berkurangnya besar biaya operasional langsung, yang mencakup biaya perkuliahan, praktikum, dan kegiatan kemahasiswaan di luar akademik, akibat tidak adanya perkuliahan tatap muka.

Akan tetapi, minimnya fasilitas yang disediakan oleh pihak kampus dalam pelaksanaan PJJ membuat mahasiswa bertanya-tanya ke mana UKT yang telah mereka bayar dialokasikan.

Padahal, masih menurut BEM KEMA Unpad, pihak kampus sebenarnya mampu memenuhi biaya operasional meskipun UKT mahasiswa diturunkan 50%.

Tidak hanya Unpad, sebelumnya para mahasiswa di seluruh Indonesia juga menuntut penurunan UKT kepada perguruan tinggi masing-masing.

Mereka melakukan aksi di media sosial dengan memunculkan tagar #NadiemManaMahasiswaMerana yang menuntut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengeluarkan kebijakan perihal besaran UKT pada masa pandemi Covid-19.

Aksi ini kemudian diikuti oleh mahasiswa dari masing-masing perguruan tinggi yang meramaikan media sosial dengan tagarnya sendiri.

Menanggapi tuntutan tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemudian  mengeluarkan Permendikbud No. 25 Tahun 2020 tentang penyesuaian UKT bagi perguruan tinggi terutama yang berada di bawah naungan Kemendikbud.

Kebijakan ini pun diikuti oleh seluruh perguruan tinggi yang dengan segera menyusun format persyaratan bagi mahasiswa yang membutuhkan keringanan Uang Kuliah Tunggal.

Akan tetapi, kebijakan ini tidak serta merta dapat memuaskan para mahasiswa yang menginginkan biaya UKT dipotong 50%.

Pasalnya, tidak seperti kebijakan pengurangan UKT yang berlaku bagi para mahasiswa secara keseluruhan, kebijakan penyesuaian UKT ini terkesan tebang pilih karena tidak semua mahasiswa bisa mendapatkan keringanan UKT.

Padahal, seperti telah diulas sebelumnya, pandemi Covid-19 telah memberi dampak negatif yang signifikan terhadap kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat, termasuk mahasiswa.

Selain itu, para mahasiswa juga mengeluhkan prosedur pengajuan penyesuaian UKT yang terkesan rumit dan membutuhkan waktu yang lama.

Sebagai contoh, ada mahasiswa Unpad yang mengajukan penyesuaian UKT dan harus menempuh prosedur yang berbelit-belit dan memakan waktu sehingga membuatnya harus menunggu hasil cukup lama.

Belum jelas apakah ia mendapat keringanan UKT atau tidak, tiba-tiba saja namanya tercantum di dalam daftar rekomendasi mahasiswa penerima Beasiswa Kemendikbud.

Akan tetapi, hal ini tidak serta merta menjadikannya sebagai penerima beasiswa tersebut.

Ia telah terlebih dahulu mengajukan penyesuaian UKT sehingga tidak bisa menerima beasiswa tersebut, sedangkan pengajuan penyesuaian UKT pun belum tentu diterima.

Kasus di atas menunjukan kejanggalan dalam prosedur penyesuaian UKT yang menimbulkan berbagai spekulasi terkait transparansi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

Kejanggalan itu bisa saja terjadi murni karena kesalahan sistem, tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat unsur kesengajaan dari pihak tertentu.

Kebijakan penyesuaian UKT tentu bisa menjadi jalan keluar yang tepat untuk meringankan beban mahasiswa dalam perkuliahan di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Akan tetapi kebijakan ini juga rentan terhadap penyelewengan dana dan permainan kotor lain yang terjadi di belakang layar.

Oleh karena itu, perlu pengawalan ketat dan keseriusan dari perguruan tinggi agar kebijakan ini bisa memberi dampak positif bagi mahasiswa dan tidak menjadi ladang keuntungan pihak-pihak tertentu. (Iqm/Zai)

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran