Kritik Senioritas: Ajang Melawan atau ‘Sok’ Melawan?

Muhamad Hanif Wahyu Kurniawan
1379 views
','

' ); } ?>

Artikel ini ditulis untuk menanggapi tulisan Ananda Bintang yang selanjutnya saya tulis sebagai ‘penulis’ mengenai “Berebut Ruang di Google Meet dan Raung Senioritas yang Tak Kunjung Redam”

Memang benar, Saya mengakui adanya ‘pergesekan’ pada peristiwa tersebut. Tetapi, Saya adalah orang yang mencoba menengahi masalah tersebut. Ditulis dalam artikel, bahwa ada satu orang yang menengahi, entah benar itu adalah Saya yang dimaksud atau bukan. Tapi yang jelas, Saya saat itu meminta maaf sebagai nama angkatan kepada pihak yang merasa tersindir.

Namun, ada beberapa poin yang menurut Saya perlu menjadi pertimbangan dalam artikel tersebut.

#1 Generalisasi Senioritas

Topik ini adalah hal yang sangat sensitif. Beberapa angkatan di atas sudah dengan susah payah melawan senioritas yang pernah terjadi di jurusan kami. Saya menyayangkan ungkapan seperti ini ‘masih’ dan terus-terusan dibahas oleh penulis. Entah apa yang pernah ia alami sebelumnya sampai seolah-olah hidupnya dipenuhi oleh kebencian terhadap senior.

Tulisan tersebut terus saja menghadirkan framing negatif terhadap apa yang angkatan saya lakukan sebagai “senioritas”. Dinarasikan pula dengan persepsi penulis sendiri mengenai “lebih dulu masuk”, padahal tak ada sama sekali dalam kejadian tersebut yang melontarkan atau bermaksud mengucapkan hal seperti itu.

Saya tidak setuju mengenai generalisasi anggapan senioritas yang disematkan kepada angkatan Saya. Memang tidak dikatakan “semua” atau “seluruh” dalam tulisan tersebut, tapi tidak juga ada penggunaan kata “oknum” atau “beberapa orang” pada beberapa narasi yang membawa framing negatif terhadap angkatan Saya. Saya harap penulis dapat lebih bijak lagi dalam menulis sindiran agar tulisan tersebut dapat lebih tepat sasaran, kalau memang yang diinginkan penulis adalah keadilan, bukan hanya membawa narasi negatif semata.

Agaknya sedikit aneh ketika teman-teman Saya yang lain yang semula tidak memiliki masalah tentang hal ini justru tersindir karena tulisan tersebut. Hanya karena beberapa orang yang berbuat, bukan berarti semua orang memiliki pemikiran yang sama. Saya sama sekali tidak ingin melakukan pembenaran atas apa yang “oknum” di angkatan Saya lakukan. Tapi apakah kami berhak dilabeli dengan predikat sebagai ‘angkatan senioritas’ sehabis ini? Sehabis beberapa “oknum” kami melakukan hal yang tidak mengenakkan?

Kami menjalani kuliah bersama, nongkrong bersama, berorganisasi atau berkegiatan lainnya bersama. Tidak ada larangan, “ospek tongkrongan”, bansur (bahan suruh), dan sebagainya. Lalu di mana letak senioritas tersebut? Mungkin bisa secara spesifik dijelaskan agar dapat dibenahi, karena menurut Saya sebaik-baiknya permasalahan, ya, dibicarakan baik-baik dari hati ke hati, mendengarkan dua sudut pandang, dan saling memahami.

#2 Persepsi “prioritas

Persepsi “prioritas” menurut Saya sama sekali bukan tanpa dasar, walaupun tidak dapat dibenarkan juga. Setidaknya dapat dilihat dalam kurikulum mengenai nama-nama mata kuliah beserta semesternya. Di sana jelas tertulis untuk semester 6. Karena tidak ada penjelasan apa-apa mengenai hal tersebut, setiap orang juga bebas untuk menginterpretasikannya sesuai apa yang mereka pikirkan, bukan?

Karena memang tidak ada penjelasan apa-apa terkait ini, ditambah beberapa dosen tidak kompak dalam memandu mahasiswanya dalam masa KRS. Ada yang menekankan untuk mengikuti paket, ada yang menekankan untuk terus ambil mata kuliah tingkat atas selama sanggup. Kami juga tidak mengetahui kalau, mungkin, kurikulum sudah berganti dan membuat hampir separuh angkatan bawah bisa mengambil mata kuliah atas.

Beberapa mata kuliah juga saat KRS tidak memiliki prasrayat tertulis, namun ternyata memiliki prasyarat. Seperti dalam mata kuliah yang disinggung penulis di mana seluruh mata kuliah Mikrolinguistik diharuskan sudah lulus, baru diberitahu saat hari pertama perkuliahan.

Jadi sekali lagi, Saya menganggap wajar apabila ada yang berpikir demikian walau memang tidak untuk dibenarkan, karena selama ini juga kita berkuliah tidak dijelaskan sistemnya secara detail. Saya mengatakan ini karena tahun lalu juga pernah ada kejadian seperti ini dengan angkatan atas kami. Untungnya, saat itu kelas berubah menjadi online dan Google Meet dari Unpad masih sanggup menampung 250 orang.

#3 Tujuan dari ‘Penulis’ itu apa?

Entah Saya yang minim pengetahuan tentang jurnalisme sehingga tidak mengetahui hal ini atau memang menjadi keresahan semua orang, Saya merasa tulisan tersebut tidak memiliki tujuan yang jelas. Bagian awal terus saja menyindir tentang senioritas dan “penindasan” yang terjadi antara angkatan atas dan bawah, lalu kemudian di akhir seolah menyerang pihak universitas karena tidak mampu mengakomodasi perkuliahan daring dengan baik dan BEM yang tidak mewakilkan suara mahasiswa.

Kalau memang tujuan dari tulisan tersebut untuk menyerang angkatan Saya, kenapa pada bagian akhir tulisan seolah mencari aman, simpati, serta dukungan dari orang lain dengan menyerang pihak universitas? Sedangkan, kalau memang menyerang universitas yang tidak bisa mengakomodasi mahasiswanya belajar daring, kenapa harus membawa-bawa senioritas?

Atau apakah penulis memang sengaja membawa-bawa senioritas untuk bisa “menampar” dengan tujuan kepuasan menyindir dan mendapat dukungan? Padahal, Saya sangat setuju tentang apa yang dikatakan terkait UKT kami digunakan untuk apa. Kami juga korban, kami juga membayar UKT dan beberapa dari kami juga tidak dapat masuk ruangan saat itu.

Saran saya, alangkah lebih baik penulis menyuarakan kritikannya kepada pihak prodi atau yang berwenang mengenai sistem KRS, pembatasan kuota, dan lain-lain, ketimbang saling bertengkar antara pihak yang sama-sama dirugikan. Sekali lagi, Saya jadi dibuat bingung mengenai tujuan dari pembuatan artikel tersebut. Apakah sebagai narasi kebencian saja atau memang desakan perubahan?

Saya jadi mempertanyakan tentang jurnalisme, apakah memang menjadi jurnalis maka diharuskan untuk membesar-besarkan masalah, menjadi yang paling beda dan paling kritis, serta menjadi yang paling merasa adil dan baik? Apakah menjadi jurnalis haruslah menjadi seseorang yang melawan apapun? Padahal, mungkin, itu hanyalah hal kecil yang bisa dibicarakan baik-baik.

Lalu, ketika Saya juga diharuskan untuk membalas lewat tulisan, yang kemudian, mungkin,  akan dibalas oleh tulisan lain lagi, bukankah itu hanya akan memperkeruh suasana? Kalau memang jurnalis harus menjadi seperti itu, maka Saya seterusnya akan membenci jurnalisme. Tapi, kalau kalian para jurnalis merasa tersindir dengan ucapan Saya barusan, berarti kalian merasakan apa yang Saya rasakan; menjadi korban kebencian dari narasi negatif yang dilakukan seseorang atas kebenciannya pada “oknum”.

#4 Pengaburan fakta

Artikel tersebut menulis mengenai adanya pihak yang mencoba menengahi permasalahan ini, itu adalah Saya (entah yang dimaksud tulisan tersebut Saya atau bukan). Saya sudah berulang kali meminta maaf mewakili nama angkatan. Ketua angkatan yang Saya hubungi juga sudah Saya minta tolong untuk sampaikan kepada yang lain dan beliau sudah menjawab, “Gapapa, kok, santai aja”. Lalu, kenapa tulisan ini masih perlu diterbitkan? Saya jadi memiliki tanda tanya besar mengenai apakah tulisan tersebut berdasarkan pada kebenaran atau memang berdasarkan kehausan akan atensi dan kebencian belaka.

Kalau memang masih ada dendam yang terpendam, ya, Saya mengerti dan memang manusia tidak semua mudah memaafkan dan melupakan. Saya juga tidak bermaksud memperkeruh suasana atau mengajak kepada pertengkaran. Tapi, Saya sebagai Ketua Angkatan sudah memiliki itikad baik untuk meredakan. Saya bahkan sudah memarahi angkatan Saya sendiri atas apa yang sudah beberapa dari mereka lakukan, Saya juga aktif membantu dosen pengampu untuk mencarikan solusi dari permasalahan ini. Saya hanya kecewa karena apa yang sudah Saya lakukan seolah tidak ada artinya, perundingan yang sudah dilakukan tidak terekam, atau memang sengaja tidak direkam (?).

Saya jadi mempertanyakan, apakah permasalahan yang sudah diredam kemudian justru dibesarkan kembali dan dibawa ke ranah publik bukanlah sebuah hal yang kekanak-kanakan? Apakah tulisan ini dibuat hanya untuk kepuasan atas kebencian sehingga mengaburkan beberapa fakta penting tersebut? Saya juga memiliki beberapa tanda tanya besar karena sang penulis artikel tersebut, berdasarkan catatan Saya, tidak mengambil mata kuliah yang menjadi permasalahan.

Akhir kata, Saya sekali lagi meminta maaf atas kejadian tidak mengenakkan yang terjadi. Saya sudah melakukan beberapa langkah yang disebutkan di atas sebagai bentuk nyata Saya untuk menyelesaikan masalah ini. Apabila nantinya ada tanggapan lagi dari penulis tentang tulisan Saya, Saya agak malas menulis dan menurut Saya menulis bukan jalan untuk menyelesaikan persoalan. Saya lebih suka duduk, saling bicara dan saling dengar, tentukan solusi, lalu bercanda sedikit. Saya juga bukan orang yang suka membicarakan masalah internal secara publik seperti ini, tapi Saya selalu secara terbuka menerima ajakan diskusi dari pihak mana pun.

Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran