Nama pemimpin de-facto Myanmar yang juga aktivis pro demokrasi, Aung San Suu Kyi kembali mencuat di berbagai media akibat konflik politik yang memanas antara pemerintahan sipil dan militer setempat. Hal ini mengakibatkan terjadinya kudeta yang dilakukan oleh kelompok oposisi yang didukung militer untuk meruntuhkan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Kelompok ini menuding NLD melakukan kecurangan dalam pemilu pada November lalu yang memenangkan mereka dengan lebih dari 80% suara.
Kudeta dijalankan dengan melakukan penangkapan terhadap Suu Kyi dan sejumlah politisi lain, termasuk Presiden Myanmar, Win Myint, yang kemudian ditahan oleh militer Myanmar. Myawaddy TV, sebuah stasiun televisi milik militer melaporkan bahwa kudeta ini terjadi karena pemerintah menolak untuk menyelidiki dan menindaklanjuti tudingan kecurangan tersebut.
Beberapa pihak menilai tuduhan yang dilemparkan militer tidak berdasar karena tidak memiliki bukti yang kuat. Mengutip dari BBC, kudeta tersebut terjadi karena militer yang merasa malu sebab tidak memperkirakan akan kalah dalam pemilu. Proses pengambilalihan pemerintahan sipil yang sah oleh junta militer juga menandakan buruknya sistem demokrasi di Negeri Seribu Pagoda tersebut.
Terlepas dari tuduhan tersebut, perlu diakui bahwa partai NLD besutan Aung San Suu Kyi masih sangat populer di kalangan masyarakat Myanmar, bahkan setelah munculnya dugaan genosida terhadap etnis Rohingya. NLD juga berhasil memenangkan pemilu 2015 yang dianggap pemilu paling bebas dan adil dalam sejarah Myanmar. Hal ini tidak lepas dari latar belakang Suu Kyi yang merupakan seorang aktivis pro demokrasi. Saat menjalani status tahanan rumah pada 1991, Suu Kyi dianugerahi hadiah nobel perdamaian karena perjuangannya dalam memajukan demokrasi tanpa menggunakan kekerasan dan melawan junta militer.
Istilah kudeta digunakan untuk proses pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah yang sah secara paksa. Kudeta seringkali bersifat inkonstitusional dan ilegal. Dan ternyata isu kudeta ini tidak hanya terjadi di Myanmar, di Indonesia pun kini sedang berhembus isu kudeta.
Tidak seperti di Myanmar, isu kudeta di Indonesia tidak berhembus karena adanya upaya perebutan kekuasaan dari pemerintah, tapi isu kudeta jabatan ketua umum Partai Demokrat (PD) yang sedang diemban oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) oleh sejumlah pihak baik internal maupun eksternal partai.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (01/02/2021) lalu, AHY mengatakan bahwa kesaksian sejumlah pihak, gerakan pengambilalihan kepengurusan Partai Demokrat melibatkan sejumlah pejabat penting di lingkaran Presiden Joko Widodo. AHY pun telah bersurat secara resmi kepada Presiden Jokowi untuk meminta konfirmasi dan klarifikasi terkait persoalan ini. Dikutip dari Tempo, AHY mengatakan, menurut kesaksian sejumlah kader di pusat, daerah, dan cabang terdapat manuver segelintir kader dan mantan kader, serta melibatkan eksternal partai yang dilakukan secara sistematis dalam upaya pengkudetaan.
Pernyataan AHY dan sejumlah politikus Demokrat terkait upaya kudeta ini menjadi sangat serius karena dengan terang menyeret nama Kepala Staf Kepresidenan sekaligus mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko.
Hal ini disampaikan direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno kepada Tempo bahwa upaya ini dapat dimaknai sebagai suatu penegasan perang terbuka kepada siapapun yang mencoba mengganggu Partai Demokrat. Masih dikutip dari Tempo, Langkah AHY melakukan konferensi pers merupakan hal yang tepat sebagai respon cepat dan tegas. Karena apabila dibiarkan upaya makar ini akan berjalan dengan cepat dan sistematis, seperti yang dikatakan Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam.
Sementara pengamat politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin beranggapan, jika kasus ini tidak mencuat kepada publik, bisa jadi bulan ini Demokrat sudah diambil alih.
Sumber: BBC dan Tempo (Fajar Hikmatiar/Ananda Bintang)