Kuliah Daring (Bagian I)

Redaksi Pena Budaya
1396 views
','

' ); } ?>

Sumber foto: Kompasiana.com

Suara sirene dengan frekuensi tinggi terdengar berdengung menyadarkanku dari bayangan-bayangan semu yang sedetik lalu takbisa kuingat lagi.

Kelopak mata yang berat masih kubiarkan tertutup sembari tanganku gelagapan menggapai-gapai sumber suara bising itu.

Satu kibasan. Dua kibasan. Tiga kibasan.

Taksedikit pun benda bising itu berhasil tersentuh jemariku, selain tumpukan kertas, sebuah dompet, kacamata, juga lusinan benda-benda tak penting yang tergeletak acak di atas meja samping tempat tidur.

Ah, kesal. Mulutku berdecak sebelum akhirnya kupaksakan punggungku untuk tegak walau tarikan gravitasi dari kasur dan spring bed empuk Calliforniamasih cukup kuat untuk membuatku tetap berbaring.

Setelah badanku tegak, mataku bergerak cepat menelusuri setiap ujung meja belajar guna menemukan sebuah telepon genggam merek Samsung.

Setelah sekian detik, akhirnya ketemu juga. Rupanya benda itu tidak berada jauh dari tempat tanganku mencari-cari, bahkan dia berada tepat di tengah kepungan kertas, dompet, dan kacamata.

Namun aneh, entah kenapa tadi benda itu sama sekali tak tersentuh. Apakah karena hal mistis? Aku taktahu.

Kuusap layar ponsel dan bunyi-bunyian itu terhenti. Sekejap suasana hening. Tenang sama sekali. Namun tidak dengan perasaanku. Jantungku berdegup takkeruan bagai tabuhan beduk malam takbir.

Alarm itu menunjukkan jam dua belas tengah malam, batas akhir waktu ketika seharusnya aku mengirimkan tugas artikel ke e-mail dosen. Sebuah makian terucap di hati, sengaja ditujukan untukku sendiri.

Untuk diri yang bisa-bisanya tertidur sementara lusinan tugas tertumpuk di depan mata dengan tenggat waktu hampir berbarengan. Padahal deadline sudah teronggok tepat di depan ujung hidung.

Tanpa pikir panjang, segera aku menekan tombol power laptop dan menatap lekat layar yang menampilkan selembar kertas putih dengan deretan tulisan yang belum jadi.

Kuperhatikan tulisan itu dengan saksama, membaca lekat-lekat karya setengah matang itu tanpa memedulikan rasa pening yang menjalar dari inti kepala sampai ke pangkal leher.

Bagai mesin motor matic yang langsung hidup ketika tombol starter dinyalakan. Pikiranku tiba-tiba sibuk memproses kata-kata yang tiba-tiba memenuhi isi kepala.

Jari-jemariku dengan luwes menari-nari menginjak-injakkan ujung kukunya pada kumpulan tombol huruf dan tanda yang tersusun rapi di atas laptop.

Kutulis apa-apa saja yang terlintas dalam pikiranku. Kata-kata acak itu kububuhkan begitu saja tanpa dipilah dan dipilih, tak peduli kata-kata itu menjadi akur satu sama lain atau bertengkar mempertahankan pengertiannya sendiri-sendiri.

Kertas putih pada layar yang awalnya hanya terisi setengah, dalam satu jam, kini telah terisi penuh. Siap untuk dikirim walaupun satu jam lebih terlambat.

Satu tugas berhasil ditunaikan, tetapi tumbuh tugas-tugas baru yang menanti untuk dikerjakan. Bukan masalah, normal bagi mahasiswa untuk memiliki tugas menumpuk yang memaksanya harus begadang setiap malam.

Namun, kali ini sedikit berbeda. Sebuah wabah yang tiba-tiba merebak di seluruh negeri memaksa para mahasiswa untuk melakukan pembelajaran dari rumah.

Takada pergi ke kampus. Takada kegiatan mahasiswa. Semua mahasiswa harus berdiam mengasingkan diri di tempat tinggalnya masing-masing sampai wabah benar-benar reda.

Sebagai gantinya, pembelajaran kemudian dilakukan secara daring. Bukan masalah bagi sebagian orang, tapi bagi orang sepertiku, lebih berat daripada ujian akhir.

Bagi kami yang kesulitan akses internet, pembelajaran daring merupakan penurunan dari kualitas belajar kami.

Proses pembelajaran secara real time tatap muka melalui aplikasi video call membutuhkan koneksi yang cukup baik agar bisa terlaksana. Itulah sebabnya aku tidak bisa belajar dengan baik.

Berbeda dengan kuliah biasa. Ketika aku masuk kelas, aku hanya perlu mencari tempat duduk yang nyaman, menyiapkan alat tulis untuk kemudian menyimak dengan saksama setiap materi yang disampaikan dosen, kemudian langsung bertanya jikalau ada penyampaian yang kurang dipahami.

Namun kali ini, ketika aku masuk kelas, tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain menggerutu dan marah-marah kepada sesuatu yang tidak bisa kumarahi.

Sudah menjadi kebiasaan baruku dalam pembelajaran daring untuk memaki-maki diri sendiri di hadapan layar ponsel ketika menampilkan sebaris tulisan “lost connection, try again later” dan sesaat kemudian aku dikeluarkan dari kelas.

Terus-terusan aku takbisa mengikuti kelas daring. Materi tak satu pun yang bisa kupahami. Inilah yang menjadi permasalahan, mengapa tugas dari kuliah daring lebih merepotkan daripada tugas kuliah biasa?

Tanpa pemahaman. Sulit mendapat referensi, menjadikan tugas-tugas itu sebagai ajang pertaruhan dengan hanya mengandalkan pola pikirku yang terbatas.

Minggu ke minggu berlalu kujalani kuliah daring ini dengan legowo, sampai pada akhirnya otak dan hatiku takkuat lagi menahan beban batin yang bisa saja berpengaruh pada kesehatan mental.

Satu hari, Mara datang meluapkan keluh kesahnya kepadaku. Tetangga yang juga teman sepermainanku ini rupanya mengalami hal yang sama dengan yang aku rasakan selama pembelajaran daring.

Walaupun dia masih SMA, tetapi dia juga terkena imbas dari wabah sialan yang tengah menyebar itu. Sekolahnya juga mengalihkan pembelajaran ke metode daring.

Saat ini ia sudah beranjak kelas tiga, satu tahun lebih muda dariku. Ia bercerita kepadaku dengan mengaku kalau seluruh materi semester ini tidak ada satu pun yang masuk ke kepalanya.

Masalahnya sama. Koneksi. Sudah barang tentu karena kami memang tinggal di daerah yang sama.

Sebuah desa pelosok yang cukup jauh dari ingar-bingar perkotaan. Hanya sedikit dari jejak-jejak teknologi yang sudi singgah di tempat ini.

Aku saja perlu menempuh jarak puluhan kilometer ke kota hanya untuk membeli sebuah laptop Toshiba keluaran tahun 2010 dan juga ketika membeli sebuah ponsel Samsung spesifikasi standar. Bahkan jaringan internet pun sampai sekarat setelah memaksa masuk ke daerah kami.

Oh, maaf. Lupakan soal desaku. Kembali ke persoalan Mara.

Di antara keluhan-keluhan masalah, setidaknya Mara memiliki satu hal yang patut disyukuri. Ujian Nasional tahun ini ditiadakan. Tentu saja.

Jika pemerintah tetap melaksanakan Ujian Nasional di tengah pandemi seperti ini, anggaplah itu merupakan salah satu dari kebijakan bodoh yang pernah mereka buat.

“Bukannya nggak ujian? Buat apa belajar materi semester sekarang?” tanyaku ketika Mara mengakhiri keluhannya.

“Bukan gitu. Tetep aja harus dipelajari. Soalnya kan bentar lagi lulus dan masuk kuliah. Takutnya nanti jadi susah kalo gak paham materi SMA.”

Aku terdiam mendengar jawaban Mara. Memang benar dia akan merasa kesulitan ketika kuliah kalau ia tidak menguasai materi SMA.

Karena itu aku memutar pikiranku guna menemukan solusi dari permasalahan yang kami hadapi bersama. Sampai timbul sebuah ide yang sebenarnya cukup aneh.

“Gimana kalau ke hutan? Kita belajar di sana.”

“Kenapa ke sana?”

“Internet itu kan suka lemot karena banyak yang pake. Jadi kita ke tempat yang orangnya sedikit, baru bisa lancar.”

Mara tampak manggut-manggut berusaha mencerna jawabanku. Setelah sesaat berpikir, gadis itu kemudian setuju untuk ikut denganku belajar di hutan.

Setelah itu, kami sepakati kalau besok kami akan mencoba mencari tempat belajar yang baru.

[Bersambung]

Penulis: Iqbal Maulana

Editor: Limya Oktaviani

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran