Madilog: Sebuah Kitab Panduan Berpikir

2785 views
','

' ); } ?>

*Tulisan ini pernah dimuat di Instagram BEM Fisip Unpad dalam konten FDL Book Review pada tanggal 31 Maret 2021.

Madilog lahir di Cililitan dekat pabrik sepatu Kalibata, dengan pena yang awas terhadap represi tentara Jepang dan dengan tujuan untuk menciptakan individu yang mau berpikir demi meraih Indonesia Merdeka. Iklim politik sewaktu buku ini ditulis penuh dengan ketegangan di mana negeri ini sedang dalam masa penjajahan Jepang. Tan Malaka menulisnya di sebuah pondok kecil, terhitung kurang lebih selama 8 bulan mulai dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943 (berhenti 15 hari). Selain hebat dalam berpikir dan menulis, sudah barang tentu Tan Malaka juga cermat dalam menyembunyikan sesuatu, termasuk dirinya. Kalau tidak begitu, buku ini pasti telah disita dan tidak akan beredar ke seluruh penjuru negeri. Berbagai pemikirannya yang tertuang dalam buku ini maupun buku lainnya masih memiliki relevansi dengan perkembangan masyarakat Indonesia kini dan nanti.

Kaum pemuda dan proletar Indonesia kala itu sangatlah berlimpah jumlahnya sehingga memiliki potensi yang sangat besar untuk merebut kekuasaan dari penjajah. Namun, menurut Tan Malaka, mereka kekurangan pandangan dunia (weltanschauung) dan filsafat yang kuat—yang mana telah tumbuh subur di masyarakat Barat kala itu. Pikiran mereka masih terselimuti kabut tebal ilmu-ilmu tahayul dengan logika mistika. Banyak dari mereka menganggap bahwa hidup di dunia ini hanya sementara sehingga cenderung untuk bertindak pasrah terhadap keadaan. Jika seperti itu, bagaimana cara mereka untuk melepaskan diri dari penjajahan dan meraih kemerdekaan?  Menurut Tan Malaka, cara pertama dalam memperjuangkan Indonesia Merdeka adalah dengan mengubah pola pikir masyarakatnya. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah bacaan, sebuah panduan mengenai paham dalam tata cara berpikir yang jitu. Dengan demikian, sebagai permulaan Tan Malaka memelopori pembuatan bacaan itu untuk mereka yang mau menerimanya.

Dalam menulis Madilog, Tan Malaka tidak menggunakan sumber pustaka sebagaimana penulis buku filsafat dan ilmiah lainnya. Hal ini bukan berarti ia enggan menggunakannya, tetapi karena situasi yang tidak mengizinkan. Hidup dalam pelarian memaksanya untuk membuang semua buku yang ia bawa bahkan catatan-catatan pribadinya ke dalam lautan demi menyelamatkan diri. Tentu, menjadi sangat menyebalkan bagi para pembaca sekalian yang ingin mencari sumber pustaka lebih lanjut setelah membaca Madilog. Namun, di sisi lain, pembaca akan diperlihatkan begitu hebat dan luasnya pemikiran seorang Tan Malaka dalam merangkai kata, menjelaskan konsep-konsep ilmu pengetahuan, dan mengelaborasi berbagai contoh relevan.

Madilog baru mulai beredar setelah tiga tahun kelahirannya. Lahir dengan sulit untuk mereka yang mau menerima dan berusaha keras dalam memahaminya. Begitupula dalam proses peredarannya, buku ini sempat dikecam bahkan dilarang beredar oleh rezim. Pemerintahan Orde Baru memiliki sikap yang tegas dalam kamus politiknya bahwa segala hal yang berbau “kiri” harus diberantas dan dihilangkan dari masyarakat. Oleh karena itu, Tan Malaka seakan-akan terlupakan oleh negeri yang ia perjuangkan kemerdekaannya. Buku-bukunya, termasuk Madilog, diberangus dari peredaran. Sepertinya, memang pantas disebutkan bahwa lahirnya Madilog sarat akan perjuangan sang penulisnya, dari hidup dalam pelarian, iklim politik Indonesia yang tidak menyenangkan, sebagai usaha untuk penerangan pikiran, kepustakaan yang minim, sampai dilarangnya untuk beredar.

Madilog tercipta dan berasal dari jembatan keledai dalam pikiran Tan Malaka, yaitu materialisme, dialektika, dan logika. Dalam artian itu pula, Madilog merupakan buku filsafat yang berisi tentang panduan tata cara berpikir dengan menggunakan alat bantuan berupa logika dan dialektika yang beralaskan pada materi (matter). Dijelaskan pula di dalamnya bagaimana cara berpikir secara saintifik itu yang pada dasarnya juga menggunakan logika dan dialektika, walapun dalam setiap cabang sains pasti memiliki pola dan metode berpikirnya masing-masing. Buku ini akan menjadi jembatan penghubung bagi kalian yang ingin mempelajari pemikiran-pemikiran filsuf Barat. Pada dasarnya, itulah salah satu tujuan Tan Malaka, yaitu menciptakan sebuah buku filsafat seperti di Barat yang sekiranya mampu dipahami oleh masyarakat Indonesia.

Dasar pemikirannya adalah materialisme, dengan bantuan paham ini kita tidak berpikir secara abstrak. Namun, berpikir membumi, memikirkan materi dan keadaan konkrit yang terjadi di dunia ini. Janganlah segan-segan dalam melakukannya karena kita hidup di dunia yang berisikan materi, lihatlah tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lalu mulailah bergerak! Perlu diingat juga bahwa materi ini tidak stagnan atau tidak berubah sama sekali. Materi selalu berubah setiap waktu sehingga perlu juga kita pahami mengenai proses perubahannya, yaitu dengan menggunakan alat bantuan berupa dialektika. 

Inti dari dialektika berkenaan dengan perubahan yang terjadi secara dinamis. Hegel mendefinisikan dialektikanya sebagai sebuah gerakan pikiran, di mana terdapat dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan. Sedangkan Tan Malaka menjelaskan dialektika-materialisme yang diajukan oleh murid Hegel sendiri, yakni Marx. Dalam dialektika, terdapat tesis sebagai permulaan yang akan ditentangkan dengan antitesis. Kedua bentuk ini kemudian didamaikan ke dalam sintesis. Dialektika dianjurkan untuk dipelajari agar kita mengerti bahwasanya materi dan realitas dalam masyarakat itu dinamis. Hal itu bergerak mengikuti alur hukum dialektika yang tunduk pada sang waktu.

Dalam memahami materi dan dialektika ini, Tan Malaka mengajukan pula cara berpikir yang mesti logis. Perlulah digunakan logika agar sesuai dengan jalur-jalur hukum saintifik yang masuk akal (commonsense). Dengan begitu, lengkaplah perkakas kita dalam memenuhi Madilog.

Setelah mempelajari semua itu yang penting adalah bagaimana aksi kita dalam mengubah dunia ini, seperti kata Marx dalam 11 tesisnya: “Para filsuf telah memberi bermacam-macam pandangan akan dunia itu. Padahal yang terpenting adalah mengubahnya!”

Pada akhirnya, dalam buku ini Tan Malaka berusaha mengingatkan para pembaca agar tidak terjatuh ke dalam logika mistika hingga dikendalikan olehnya. Berbijaksanalah dalam perihal kepercayaan, jangan sampai menjadi seorang fanatik dan bigot yang abai terhadap keadaan di sekitar. Dengan demikian, pelajari logika dan dialektika tersebut dengan baik sehingga dapat menguasai ilmu pengetahuan, melepaskan diri dari belenggu, dan menjadi manusia yang merdeka.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran