Pandemi ini telah mendorong The French Dispatch, salah satu karya Wes Anderson yang awalnya diniatkan bakal debut di Cannes Film Festival 2020, ditunda sampai waktu yang belum dipastikan. Saya sendiri adalah penggemar Wes Anderson, saya menggemari semua gimik-gimik penyutradaraan beliau. Dan akhir-akhir ini, saya sedang maraton film garapan sutradara tersebut. Sembari maraton, saya juga baru saja selesai membaca Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli.
Sejak SD, dalam buku pelajaran sejarah selalu ditekankan betapa pentingnya Max Havelaar. Tentang bagaimana novel ini konon menjadi bilah domino pertama yang membuat kita memperingati tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Tapi satu hal yang saya tidak ingat pernah diajarkan adalah, mengenai “apa” isi dari novel yang disebut Pramoedya Ananta Toer sebagai “kisah yang ‘membunuh kolonialisme’” ini.
Di luar ekspektasi saya, saat membuka bab pertama Max Havelaar dan menemukan bahwa novel ini, ternyata agak lawak. Mirip dengan bagaimana Wes Anderson menulis dan menggarap film-filmnya. Dari situ, saya menemukan hubungan yang menarik antara dua pengkisah yang saya sebutkan di atas. Agar kita berada di halaman yang sama, saya akan coba menjabarkan; Apa yang membentuk sebuah film Wes Anderson dan apa hubungannya dengan kisah Max Havelaar-nya Multatuli?
Pertama, mari kita lihat gaya cerita-cerita Anderson. Kisah Moonrise Kingdom (2012), misalnya. Seorang karakter bermantel merah dengan beanie hijau bertindak sebagai narator film yang menyiapkan para penonton dengan menceritakan latar belakang tempat, para tokohnya, naratifnya, dan bahkan berinteraksi langsung dengan kamera. Atau film The Darjeeling Limited (2007), kisah yang mengikuti tiga bersaudara dalam perjalanan mereka di India. Si Bungsu, seorang penulis kecil-kecilan, menuliskan prosa-prosa pendek mengenai cerita filmnya selama film berlangsung.
Ya, saat banyak sutradara lain mencoba untuk memoles fantasi mereka agar terlihat serealistis mungkin, Anderson selalu mengingatkan penonton bahwa cerita yang disuguhkan di hadapan mereka adalah fiksinya, sinema yang Anderson karang sendiri. Esais video, Thomas Flight, menyebutkan, “Film Wes Anderson sering kali diselimuti ‘bingkai pengarang artifisial’ yang menunjuk kembali (kepada penonton) keberadaan penciptanya.”
The Grand Budapest Hotel (2014) mengamplifikasi gimik ini menjadi lebih kompleks. Dalam fiksinya, The Grand Budapest Hotel adalah sebuah novel yang dibaca seorang gadis kecil, di mana sang penulisnya berkisah mengenai sebuah cerita yang diceritakan kepadanya oleh seorang konglomerat, yang dulunya adalah seorang lobby boy di hotel Grand Budapest. Jika Anderson tidak jago dalam membuat karyanya, gimik ini bakal terasa menyebalkan bukan?
Bertautan dengan “bingkai pengarang artifisial”-nya Anderson, dalam fiksinya, Max Havelaar berkisah mengenai seorang pejabat kolonial bernama Max Havelaar yang baru diangkat menjadi Asisten Residen Lebak.
Kisah Havelaar adalah catatan karakter bernama Sjaalman mengenai pengalamannya di Hindia Belanda. Tulisan Sjaalman menjadi ketertarikan karakter bernama Batavus Droogstoppel, seorang makelar kopi yang memberikan minat pada catatan tersebut karena kepentingannya untuk penjualan kopi perusahaannya. Karena Droogstoppel tidak dapat menerjemahkan keseluruhan catatan tersebut, ia menugaskan Ernest Stern, anak dari klien perusahaan dagangnya, untuk menuliskan catatan Sjaalman menjadi sebuah buku.
Multatuli sendiri muncul dalam karangannya dan “mengambil alih pena” Stern untuk mengantisipasi respon kerajaan Belanda terhadap tulisannya yang dipastikan akan menggegerkan itu.
Gimik seperti ini, dalam karya-karya Anderson atau Douwes Dekker, menjadi sidik jari sang pengarang yang dengan sengaja diperlihatkan dalam karya mereka.
Beberapa kali dalam film Anderson, cerita disampaikan seakan-akan penonton adalah pihak yang berinteraksi langsung dengan tokoh-tokoh dan ceritanya. Misalnya, dalam film Rushmore! (1998) yang memiliki transisi film berupa tulisan waktu yang diproyeksikan kepada sebuah tirai teater –yang berwujud fisik dalam set produksi filmnya. Dengan gaya meta-naratif, Rushmore! bercerita mengenai seorang remaja serba bisa yang salah satu kemampuannya adalah menjadi seorang sutradara teater yang andal. Dalam Max Havelaar, beberapa kali penulis (Sjaalman, Stern, dan Multatuli) “curhat” kepada pembaca tentang rumitnya menyampaikan kisah yang bakal sukar dicerna orang-orang yang belum pernah merasakan ‘Hindia Belanda’.
Sama dengan bagaimana tokoh Droogstoppel bereaksi langsung terhadap cerita dan berperan sebagai pembaca-cerita-dalam-cerita, penonton Rushmore! memberikan standing applause kepada sang karakter utama, yang secara tidak langsung merupakan momen di mana sang pengarang menepuk pundaknya sendiri.
Wes Anderson memiliki benang merah yang terajut pada semua karakter-karakter utama dalam filmnya. Mereka semua adalah tokoh idealis dengan konflik me vs the world, di mana semesta mereka adalah dunia yang memiliki keteraturan yang begitu rupa sampai akhirnya terganggu oleh suatu hal yang membuat dunia mereka tidak menerimanya lagi. Bisa jadi munculnya cinta, bisa jadi misteri pembunuhan, atau anak di luar nikah yang akhirnya menemui ayahnya setelah tiga dekade seperti dalam film The Life Aquatic with Steve Zissou (2004).
Apa yang lebih Andersonian daripada karakter nyentrik dan quirky? Ya, dua tokoh utama dalam kisah Max Havelaar, Max Havelaar dan Batavus Droogstoppel juga memiliki rajutan benang merah tadi –walaupun lebih dulu eksis 133 tahun sebelum film pendek pertama Wes Anderson.
Droogstoppel tidak lelah-lelahnya dalam setiap halaman mengingatkan pembaca bahwa ia adalah seorang makelar kopi yang sukses, pemilik perusahaan Last & Co di Lauriergracht No. 37. Droogstoppel sangat membenci para pujangga dan puisi-puisinya, dan menyebut mereka sebagai “penyebar kebohongan yang cengeng”. Mungkin, jika dibandingkan, tokoh Droogstoppel ini mirip dengan karakter musang, Mr. Fox, dari film Fantastic Mr. Fox (2009).
Havelaar diceritakan sebagai seorang pejabat kolonial yang “idealis” dan selalu berpihak kepada keberadaban. Idealisme Havelaar diuji saat ia dilantik sebagai Asisten Residen (pengawas bupati di bawah gubernur) Lebak, daerah miskin yang punya banyak oknum pemerintah yang korup. Konflik idealisme me vs. the world-nya Havelaar mirip dengan konflik yang dialami Max Fischer dalam film Rushmore! atau Monsieur Gustave H dalam The Grand Budapest Hotel.
Terakhir, ada satu hubungan antara novel Max Havelaar dan film Wes Anderson yang mungkin paling kelihatan jelas. Yaitu sentimen romantis Anderson dengan latar tempat dalam filmnya. Hampir semua film Anderson memiliki judul yang diambil dari tempat di mana cerita filmnya berlangsung. Rushmore! adalah nama SMA Anderson sendiri, Moonrise Kingdom adalah nama pantai yang diberikan oleh dua karakter utama dalam film, juga Isle of Dogs (2018) yang merupakan pulau pembuangan anjing penyebar wabah. Dalam Max Havelaar sendiri, Lebak jadi fokus utama di mana Havelaar mati-matian berusaha untuk seadil mungkin dalam memimpin.
Saya memang tidak ada niatan untuk menyarankan Mas Wes Anderson untuk membuat film bercerita betapa kejamnya bangsa kulit putih menjajah bangsa kita ini persis seperti di buku Max Havelaar, hanya saja saya berharap akan ada film-film bertipe Mas Wes seperti film Indonesia Abracadabra (2020) garapan Faozan Rizal, tapi dengan cerita yang memang mirip dengan Max Havelaar atau bahkan me-remake film adaptasi Max Havelaar yang dulu juga pernah difilmkan pada tahun 1976.
Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra