Setahun pandemi sudah membuat kampus tidak mengizinkan UKM olahraga mengeksploitasi minat dan bakatnya. Ya, apalagi olahraga konvensional yang memerlukan kontak fisik, berada di lapangan, dan tentu saja melibatkan banyak orang. Sah-sah saja dan saya mau menerima kenyataan pahit bahwa olahraga konvensional terutama di kampus-kampus sedang “mati suri” selama pandemi ini yang entah sampai kapan.
Namun, situasi yang kini saya rasakan tampaknya lagi-lagi mengusik hasrat dan naluri saya sebagai pegiat dan pengurus UKM olahraga konvensional. Ya, saya rasa adanya ketelantaran akibat pengaruh pandemi ini.
Satu hal membuat saya jemu lantaran e-sports dewasa ini menjadi (mungkin satu-satunya) cabang olahraga yang mendapat perhatian penuh dan dieskploitasi secaraj jor-joran. Hal tersebut tentu sangat bagus dan memang seharusnya seperti itu mengingat kini penggemar e-sports sedang marak-maraknya dan juga event sebesar Liga Mahasiswa (Lima) pun sudah menyelenggarakan turnamen e-sports yang bisa dibilang bergengsi di tingkat nasional atau antar kampus se-Indonesia. Yang saya dengar, dari BEM Kema Unpad pun akan mengadakan UKM (sebelumnya hanya ada komunitas, Unpad MLBB, contohnya) untuk mewadahi dan menghimpun delegasi atlet-atlet e-sports di Unpad agar bisa mewakili Unpad di Lima. Sebuah langkah yang baik dan juga perlu diapresiasi.
Maraknya e-sports ini juga tercermin dalam event tahunan proker Departemen Seni Budaya dan Olahraga (Senbora) BEM Kema Unpad yaitu Big Force Festival (BFF) yang akan diselenggarakan di termin dua tahun 2021. Pada bidang olahraga, BFF berfokus pada e-sports sebagai satu-satunya cabang olahraga yang diperlombakan mengingat kondisi dan realitas pandemi yang tak bisa diganggu gugat.
Tetapi, setelah semua hal tentang keolahragaan di kampus kita tercinta ini selalu mengacu pada e-sports, muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya. Apa yang harus dilakukan “kami” sebagai atlet olahraga konvensional? Di tengah kehebohan persiapan ini-itu yang menyangkut segala tentang e-sports, apa yang harus kami lakukan? Haruskah kami mengganti identitas menjadi e-athlete? Padahal menurut saya pribadi tidak semua atlet olahraga konvensional bermain e-sports juga. Contoh nyatanya adalah saya.
Dari usaha-usaha BEM Kema Unpad (khususnya Departemen Senbora), saya melihat tidak ada itikad untuk memerhatikan atau setidaknya menanyakan realitas atlet-atlet “nyata” ini. Yang saya khawatirkan: putusnya regenerasi dan beberapa tahun ke depan (bila masih pandemi), bisa saja UKM-UKM ini mati, bukan mati suri lagi. Dari BFF pun tak ada perencanaan untuk membuat skema bilamana semester depan bisa offline (ah, gak mungkin juga).
Saya benar-benar paham acara sebesar BFF tidak mau mengambl resiko dan sangat memerhatikan hal-hal fundamental apalagi terkait pandemi ini, Saya rasa tidak ada salahnya ada upaya membuat atlet-atlet konvensional merasa dihargai dan diakui eksistensinya. Tapi, kenyataannya? Apa salahnya bila saya–dan atlet konvensional lainnya– dianaktirikan?
Jika boleh membandingkan walau tak pantas, saya melihat ada upaya dari Departemen Olahraga (Depora) BEM Gama FIB Unpad dalam menghimpun atlet-atlet konvensional dengan merencanakan perlombaan offline untuk cabor olahraga konvensional. Hal ini menimbulkan secercah harapan dan asa berlatih di tengah kemalasan dari sangat minimnya event olahraga konvensional.
Saya paham memang mustahil akan mendapatkan izin, Namun, saya melihat ada usaha merangkul serta tetap melestarikan Lembaga Kemahasiswaan olahraga di masa pandemi ini. Entah saya tak begitu paham Proker-proker Senbora BEM Kema Unpad, tapi yang saya ketahui tidak ada proker yang betul-betul aware pada eksistensi olahraga konvensional yang tengah kesulitan bertahan.
Keresahan saya juga terdapat pada UKM di fakultas yang saya ikuti. Sampai kini, anggota-anggota di UKM yang saya ikuti selalu saja membahas e-sports dan juga mabar. Jujur, saya tak masalah, hanya merasa resah dan muncul pertanyaan yang sama kembali, “Saya harus apa?” Apa harus ikut main juga? Entahlah. Perbincangan sekarang pun didominasi tentang e-sports, bukan Proker atau pembahasan tentang disiplin olahraga tersebut. Takutnya nanti malah berubah jadi UKM e-sports. Tapi semoga enggak, deh. Mungkin saja memang lagi besar animonya. Mungkin. Jadi, masih bisa saya maklumi.
Saya masih percaya pemberdayaan dalam UKM olahraga konvensional masih harus tetap dijaga, karena itulah hidup bagi sebagian orang, passion yang tak bisa digantikan oleh apa pun. Merasa dihargai dan diakui sangatlah penting, bukankah begitu? Atlet-atlet konvensional itu masih ada, tidak hanyut dan mati digulung pandemi. Pasti masih ada yang bisa dilakukan oleh UKM olahraga konvensional dan bahkan dalam talent scouting, selama kita semua masih peduli dan mau bergerak. Bukan menyerah dan menggantinya dengan sesuatu yang baru. Miris.
Beruntung bagi student-athlete yang punya klub profesional. Saya berharap semoga atlet-atlet konvensional “tanggung” yang menjadikan event di kampus sebagai satu-satunya ajang pembuktian, ajang beraksi, ajang membayar semua latihan keras, dan ajang untuk dihargai ini bisa bertahan. Memang, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah bertahan, dan jangan berhenti walau rasa-rasanya memang seperti dianaktirikan dari “olahraga” itu sendiri.