Melek Peran Keluarga dari Sekarang

Redaksi Pena Budaya
797 views
','

' ); } ?>
Courtesy of YouTube

Courtesy of YouTube

Wahai kau guruku.. Jangan mengaturku.. atau kupenjarakan dirimu.. Jangan coba mencubit, itu rasanya sakit..Guruku jadi pembantuku..

Begitulah petikan sarkasme #saveguru dilantunkan youtuber Abdi Kos, membuat kita mengelus dada. Video yang telah ditonton belasan ribu kali ini, merupakan sindiran keras atas fenomena konflik antara guru dan murid yang sedang marak. Dari kisah bu guru Nurmayani yang dipenjara karena mencubit anak polisi hingga tragedi bu dosen Nurain yang dibunuh mahasiswanya.

Apa dasar seorang guru melakukan tindak kekerasan? Coba kita telaah orasi berikut: “Sekarang kami hanya bisa mengajar dan tidak bisa mendidik, karena sedikit-sedikit kami dilapor, padahal ini hanya untuk kebaikan siswa. UU perlindungan anak itu hanya membuat siswa kurang ajar.” Orasi tersebut dikumandangkan para guru dalam aksi protes di depan PN Watampone pada Agustus 2013 silam ketika mendukung rekan mereka yang sedang disidang sebagai terdakwa pemukulan atas siswanya sendiri.

Sadar atau tidak, orasi guru tersebut menyiratkan makna bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mendidik. Pemaknaan seperti ini sungguh memilukan hati dan memalukan bagi dunia pendidikan Indonesia. Kekerasan mestinya tidak menjadi bagian pendidikan. Proses belajar-mengajar harus menyenangkan. Menteri Pendidikan Anies Baswedan pernah berkata, “Guru pakai kekerasan, berarti ajari murid kekerasan.”

Cara mendidik jaman dulu dan sekarang sudah berbeda. Hal inilah yang juga gagal dipahami Abdi Kos ketika membuat video dukungan untuk guru. Niat awalnya baik untuk menyadarkan masyarakat bahwa isu ini krusial, namun tindak kekerasan dalam mendidik tetap tak bisa dibenarkan. Persoalan di sekolah mesti diselesaikan dengan dialog untuk menumbuhkan rasa kesadaran murid, bukan dengan kekerasan yang berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Dialog yang dimaksud adalah kolaborasi harmonis antara keluarga, sekolah, dan anak. Selama ini, dunia pendidikan kita terlalu berfokus pada peran guru dan seringkali mengabaikan suatu peran yang amat penting, yaitu peran keluarga. Mengajar dan mendidik adalah memang kewajiban guru, namun dalam melaksanakannya, guru tidak bisa bekerja sendiri. Jika hal ini terjadi, tekanan pekerjaan yang tinggi dapat memicu guru mengambil jalan pintas yang tak diinginkan.

Keluarga adalah tempat dimana anak lahir dan tumbuh. Kita tahu, anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibandingkan di sekolah. Maka, tak salah jika kita mengatakan bahwa pendidik utama seorang anak adalah keluarganya. Apa yang terjadi di rumah, akan berdampak di sekolah, dan begitu sebaliknya. Jika arus komunikasi antara rumah dan sekolah mandek, akan berdampak buruk pada perkembangan akademis, emosional dan sosial anak.

Seperti dikutip dari situs web New Hampshire Department of Education, penelitian menunjukkan bahwa anak yang keluarganya berperan dalam pendidikan mereka, cenderung untuk siap memasuki dunia sekolah, tidak bolos sekolah, mengerjakan tugas secara konsisten, mendapat nilai yang baik dan naik kelas, menyelesaikan program wajib belajar dan bahkan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, memiliki keterampilan sosial yang baik, menunjukkan adanya perbaikan perilaku, menjalin hubungan yang baik dengan orang tua, serta dapat lebih menghargai diri sendiri.

Lalu, bagaimana cara menguatkan peran tersebut? Kita bisa berangkat dari cara yang sederhana, ekonomis ,dan mudah dipraktekkan, yaitu dengan memahami bagaimana setiap keluarga memandang pendidikan itu sendiri, lalu memberikan kesempatan dan wadah yang relevan untuk menuntaskan persoalan yang ada.

Coba kita lihat Indonesia secara utuh. Dari pengalaman empiris di masyarakat dan media massa, ada dua pandangan yang dapat memengaruhi kualitas peran keluarga. Pertama, keluarga dengan pandangan positif, yaitu keluarga yang masih optimis dengan pendidikan. Kedua, keluarga dengan pandangan negatif, yaitu keluarga yang sudah terlanjur pesimis dengan pendidikan.

Meski memiliki pandangan positif, keluarga pertama masih bermasalah dalam pendidikan anaknya, seperti pada keluarga yang menyerahkan anak sepenuhnya pada guru, keluarga egois yang menempatkan anak sebagai objek, keluarga yang pesimis akan sistem pengajaran di sekolah, serta keluarga kurang mampu yang tak memiliki akses untuk pendidikan berkualitas-keluarga ini berpotensi menjadi keluarga jenis kedua, jika dibiarkan begitu saja.

Keluarga jenis kedua butuh perhatian besar. Faktor penyebab adalah lantaran rendahnya pendidikan dan finansial keluarga, sehingga melihat pendidikan sebagai beban-lebih baik anak bekerja saja untuk membantu orangtua menyambung hidup keluarga. Faktor lain yang lagi marak diperbincangkan adalah dimana pendidikan dipandang sebagai ancaman bagi kelestarian adat istiadat. Kasus ini sering kita temui pada keluarga masyarakat rimba yang membutuhkan pendidikan khusus, yang memampukan mereka untuk melihat pendidikan secara positif, sehingga bermanfaat untuk keberlangsungan hidup mereka sebagai orang rimba yang beradat, namun tetap beradab.

Berangkat dari dua pandangan tersebut, semua pihak terkait bisa mengambil peran masing-masing dan perlu membuka kesempatan kerjasama. Sedini mungkin, budaya membaca perlu digalakkan. Orangtua bisa membacakan anaknya dongeng sebelum tidur. Budaya ini baik untuk mengasah imajinasi dan mempersiapkan anak memasuki dunia sekolah. Waktu bersama keluarga pun menjadi semakin berkualitas.

Sepanjang anak duduk di bangku sekolah, orangtua mesti memonitor perkembangan anaknya. Terkait hal ini, Bimbingan Konseling (BK) setiap sekolah perlu membuat sebuah program, misalnya, program “Kolaborasi” yang mengajak orangtua untuk menjalin komunikasi aktif dengan pihak sekolah. Program ini juga bisa melahirkan program lain, seperti seminar dan workshop mengenai parenting skills yang dibutuhkan orangtua secara teknis. Kegiatan ini akan lebih bernilai, jika sekolah melibatkan komunitas yang mafhum dalam keahlian tersebut.

Untuk mendukung pendidikan kreativitas, pihak sekolah beserta komunitas terkait bisa membuat, misalnya, program “Bintang yang Bersinar” untuk menyadarkan keluarga bahwa setiap anak adalah pribadi yang unik dan mesti didukung sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga kedepannya tidak ada lagi kasus anak salah jurusan.

Sementara untuk persoalan keluarga dengan pandangan negatif, komunitas terkait diharapkan mampu bekerjasama dengan pemerintah. Perjuangan Taman Ilmu Unpad dalam meningkatkan kesadaran pendidikan masyarakat terpinggir Jatinangor serta perjuangan Sokola Rimba rintisan Butet Manurung di pedalaman Bukit Dua Belas, adalah beberapa contoh mahakarya komunitas yang membutuhkan kerjasama solid berbagai pihak.

Kita perlu mengapresiasi langkah awal pemerintah, khususnya Kemdikbud atas penyelenggaraan “Sahabat Keluarga”, situs web pendidikan keluarga Indonesia dan pelaksanaan kompetisi jurnalistik bertema penguatan peran keluarga dalam pendidikan anak. Melalui program-program ini, diharapkan kesadaran masyarakat tumbuh, membawa angin segar bagi kemajuan pendidikan Indonesia yang merupakan salah satu indikator kemajuan masa depan bangsa dan negara.

Jadi, mulai sekarang mari kita saling mengingatkan betapa peran keluarga tidak bisa ditawar-tawar dalam pendidikan seorang anak. Dan peran ini baru bisa berjalan optimal, ketika keluarga memiliki pandangan yang positif terhadap pendidikan, diberikan kesempatan untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait, serta memiliki wadah untuk saling bertukar ide dan pengalaman.

Melvina Charitas
Mahasiswi Sastra Jerman FIB Universitas Padjadjaran dan Guru Lepas Bahasa Jerman.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran