Memangnya Menatap Laptop Setiap Hari itu Nggak Capek, Pak/Bu?

Bismoko Nizaar A
1137 views
','

' ); } ?>

“Atas nama kuliah daring, ku kutuk kau dengan banyak tugas!” begitulah kira-kira kalimat yang akan dilontarkan apabila dosen kita adalah Red Rackham, seorang bajak laut dari komik ‘Petualangan Tintin’ yang mengutuk keluarga Haddock. Untungnya, tidak ada satu pun dosen saya yang memiliki latar belakang keluarga dari bajak laut, jadi tidak ada aksi kutuk-mengutuk di kelas.

Walaupun apabila ditinjau dari isi kalimat, saya rasa isinya sama saja; sama-sama menganggap kuliah daring sebagai alasan bagi mahasiswa untuk berleha-leha dan bersantai tanpa kegiatan sama sekali dan oleh karenanya dosen-dosen macam ini harus memberikan tugas sebanyak yang mereka mau agar kami menjadi sibuk dan tersiksa menjadi lebih pintar.

Padahal, apabila ditelisik lebih jauh lagi, mahasiswa justru susah mendapatkan waktu untuk berleha-leha seperti yang digambarkan sebelumnya. Bayangkan saja, mereka kuliah tatap muka di depan laptop, mengerjakan tugas di laptop, bahkan mencari hiburan berupa tontonan atau sekadar mendengarkan lagu juga dilakukan di laptop, dan semua itu dilakukan di rumah. Memangnya menatap layar laptop setiap hari itu nggak capek, Brou?

Belum lagi apabila mahasiswa mengikuti organisasi dan kepanitiaan, pasti akan lebih sibuk lagi. Berbicara tentang organisasi dan kepanitiaan, saya turut prihatin untuk teman-teman di divisi Media dan Informasi (Medfo) dan PDD yang pastinya akan lebih diforsir pekerjaannya, apalagi di masa seperti sekarang.

Namun sayangnya, kami sebagai mahasiswa harus puas dengan notifikasi di Google Classroom yang sering kali mengatakan, “Hari ini tidak ada kuliah, digantikan tugas saja” dan kuliah tatap muka baik itu di Zoom atau Google Meet yang ditutup dengan tugas yang jumlahnya eksesif dengan deadline yang cenderung mepet.

Apalagi jika ada dosen (ini di jurusan saya) yang lebih suka dengan pengerjaan tugas yang ortodoks, contohnya ditulis tangan di kertas folio bergaris lalu dipindai/difoto dan dikirim ke Google Classroom. Sebetulnya saya tahu niat dari dosen-dosen ini: agar mahasiswanya tidak sekadar copy paste semata. Tapi apabila malah merepotkan, bukannya malah mengalahkan esensi kuliah daring yang harusnya serba digital?

Saya kira ini bukanlah hal yang bijak dan adil apabila dosen hanya memindahkan apa yang biasa mereka lakukan di kelas luring lalu dipindahkan ke platform daring kemudian ditambahi tugas-tugas memberatkan agar kami menjadi ‘sibuk’.

Mahasiswa yang terlibat dalam organisasi dan kepanitiaan di masa daring saja paham betul bahwa mereka tidak dapat serta-merta memindahkan acara yang sebelumnya berkonsep luring menjadi daring tanpa melakukan penyesuaian, baik itu metode maupun bobot yang diberikan. Masa dosen nggak paham, sih?

Tapi, ya, namanya juga dosen~

Setelah kuliah daring yang berjalan kurang lebih satu tahun, saya kira mahasiswa sudah mulai terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Otak yang terus mendapat tugas menjemukan berlebih, dan batin yang tidak mendapatkan asupan spirituil yang cukup menjadi hal yang lumrah dan akhirnya dapat diterima karena sejatinya manusia harus beradaptasi untuk bertahan hidup.

Entah sampai kapan kita dapat bertahan dengan pola yang seperti ini. Kita cuma bisa berharap ke hal-hal yang belum pasti.

Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran