Samuel Beckett menyelesaikan manuskrip teks En attendant Godot versi bahasa Prancis selama kurang lebih empat bulan, dari 9 Oktober 1948 hingga 29 Januari 1949. Setelah sebelumnya ia menyelesaikan naskah drama yang berjudulElutheria dalam bahasa Yunani yang memiliki arti Kebebasan. Beckett sendiri kurang menyukai lakon pertamanya itu, ia merasa lakon itu terlalu bersifat personal dan banyak kekurangan jika ditampilkan di atas panggung. Maka, lakon kedua Beckett inilah yang kita kenal sebagai masterpiece dari laki-laki pemenang Nobel sastra tahun 1969 itu.
En attendant Godot atau Waiting for Godot atau Menunggu Godot adalah lakon absurd. Mengapa demikian? Bayangkanlah seperti ini, apa yang akan kalian lakukan jika kalian sedang menunggu sesuatu, seseorang atau keadaan yang tidak kunjung datang? Tentu kalian boleh saja pergi dan kembali lain waktu untuk menunggu kembali, atau bahkan kalian bisa saja pergi dan melupakan hal yang paling kalian benci itu; menunggu. Kurang lebih seperti itulah lakon ini, Vladimir dan Estragon menunggu kedatangan Godot yang tidak kunjung hadir hingga lakon ini selesai.
Lakon ini diawali dengan Estragon yang berusaha keras mencoba mencopot sepatu bootnya, lalu datanglah Vladimir yang secara ketertarikan menyukai topinya. Selanjutnya ia menegur Estragon. Mereka melakukan dialog seperti dua orang sahabat yang sering bersama, apakah demikian? Karena lakon Beckett yang satu ini terkenal akan absurditasnya dan kekhasan dari lakon absurd adalah tidak adanya pola alur waktu yang jelas dan latar tempat yang tidak linear atau berjalan lurus. Maka bisa dikatakan bahwa lakon ini beralur bulat, atau berulang. Seperti lakon-lakon absurd lainnya, awal dari lakon ini adalah akhir dari lakon ini. Mereka terus melakukan hal yang sama berulang-ulang kali, inilah yang menjadi ciri khas dari lakon absurd. Seperti lakon Resting Place-nya David Campton, atau film garapan Christopher Nolan Tenet di tahun 2020 kemarin.
Kembali ke Vladimir dan Estragon, atau yang lebih disapa sebagai Didi dan Gogo, apakah lakon ini hanya berputar melihat Estragon yang berusaha mencopot sepatu bootnya dan Vladimir yang terobsesi dengan topinya? Tentu tidak. Lakon dengan jumlah halaman lebih kurang 265 halaman ini, menampilkan banyak dialog dengan permainan tubuh tokoh, jeda yang banyak dengan tubuh badut atau gimik pantomime menjadi salah satu hal menarik dari teks dan pertunjukan Menunggu Godot ini.
Belum lagi kedatangan para tokoh yang cukup absurd juga seperti tokoh Lucky yang serupa budak dan Pozzo yang seperti tuannya. Meski Lucky diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi seperti dicambuk dan menjunjung kopor-kopor berat kepunyaan Pozzo, tetapi Lucky tidak bisa meninggalkan Pozzo. Sama halnya seperti Pozzo yang tidak bisa meninggalkan Lucky karena ia terus-terusan ingin membuktikan bahwa dirinya kuat dan mampu untuk menjadi “budak” dari Lucky. Kemudian ada tokoh si Bocah yang datang membawakan pesan dari Pak Godot yang mengatakan bahwa Pak Godot akan datang pada esok hari. Vladimir dan Estragon kesal kepada Bocah itu awalnya, lalu mereka memaklumi karena si Bocah takut dengan Lucky dan Pozzo.
Keesokan harinya Didi dan Gogo pun tetap menunggu kedatangan Godot yang tentu kita tahu Godot tidak akan datang menemui mereka. Lalu, siapa sebenarnya Godot ini? Sayangnya tidak ada yang tahu siapa itu Godot, tidak juga Beckett. Mungkin, Beckett ingin mengajarkan tentang hal absurd yang sering dilakukan manusia soal “menunggu”. Ya, Beckett seakan ingin mengajak penonton dan pembaca lakonnya untuk meresapi hakikat dari menunggu, ia menghadirkan Godot, sebagai metafora dari banyak hal, yang tentu bisa kita resapi sesuai penafsiran kita sendiri. Sah-sah saja, mungkin jika kita menafsirkan Godot sebagai takdir, atau bahkan kematian sekalipun yang selalu kita tunggu. Dalam penantian itu biasanya kita “bermain-main” melakukan banyak hal sebelum benar-benar tiba apa yang kita tunggu itu.
Melihat kondisi Indonesia saat ini, misalnya. Saya membayangkan bahwa Godot adalah sebuah negara. Mengapa? Serupa negara yang juga absurd, yang bagi Benedict Anderson Negara tak ayal sebuah imajinasi komunitas politik karena semua anggota dari negara tidak pernah mengenal dan memahami seluruh anggota dari negara itu. Katakanlah, mungkin Godot cukup mengenal Didi dan Gogo, sehingga ia dengan seenaknya mempermainkan perasaan Didi dan Gogo untuk terus menunggunya.
Sama seperti Didi dan Gogo yang tidak sepenuhnya mengenal Godot, mereka hanya percaya bahwa Godot akan datang ke jalan itu. Mereka terus menunggu Godot. Dalam konteks saat ini, katakanlah Didi dan Gogo adalah rakyat, yang menanti kedatangan negara untuk mengurus hal yang paling pelik dan butuh campur tangan negara. Seperti beberapa dialog yang menunjukkan bagaimana kekejaman Pozzo kepada Lucky yang menyiksanya dan Pozzo enggan disebut tidak manusiawi. Awalnya Didi dan Gogo mengira bahwa Pozzo adalah Godot, kekeliruan ini membuktikan bahwa Didi dan Gogo sendiri tidak mengenal siapa itu Godot. Dan Godot tidak hadir pada kekejaman ini. Mereka masih menanti Godot dengan “permainan” mereka, mereka yakin betul ada hal penting yang ingin disampaikan langsung oleh Godot itu sendiri dan Didi juga Gogo semakin naik pitam saat mereka mendapat pesan dari seorang Bocah yang ternyata pesan itu dari Godot.
Jika kita lihat menggunakan kacamata rakyat, yang sering meminta keringanan biaya, atau kebijakan yang mendukung rakyat kepada pemerintah, selalu saja harus tertabrak meja birokrasi. Kita rakyat melihat ketidak-adilan itu, dan kita tidak bisa melakukan apa-apa selain terus menanti bagaimana negara mengurusi apa yang telah diembannya. Bukannya datang untuk menemui rakyat yang telah menunggu negara, justru negara mengirim semacam juru pesan untuk rakyatnya, agar terus menunggu dan menunggu. Keadaan menunggu ini terus menerus berulang dan berputar. Rakyat bisa saja merdeka, Didi dan Gogo bisa saja memisahkan diri dan pergi dari jalan itu. Didi dan Gogo bisa terus menerus mengutuk Godot, mengumpat dan marah kepadanya. Tapi, sebagaimana rakyat, Didi dan Gogo hanya bisa terus menunggu. Karena hanya kepada Godot, Didi dan Gogo menumbuhkan harapan untuk tetap terus hidup. Semangat membara untuk menunggu sesuatu yang tidak pernah datang, seperti negara.