Bus berhenti. Rintik hujan membuat seorang lelaki menaiki bus itu dengan sedikit
berlari. Ia tidak membawa tas atau semacamnya. Ia hanya membawa sebuah buku.
Buku yang terlihat kumal dan kini tampak basah di satu sisi, akibat melindungi
kepala lelaki itu sedari tadi.
Sore ini akhirnya ia bisa sendirian saja, setelah berhari-hari urusan tak berhenti
bertamu. Ia berjalan ke bagian belakang bus, mencari sepasang kursi yang kosong.
Bukan ingin sendiri, ia hanya sedang tak ingin berdialog dengan orang lain. Ia
ingin berdialog dengan dirinya sendiri.
Lelaki itu sampai di deretan kursi kedua dari belakang. Kemudian duduk dan
menghadap ke jendela. Jendela itu berlapis air hujan yang mengalir dan seolah tak
berhenti jatuh. Membuat pemandangan di baliknya mengabur. Jendela dan air
hujan itu menjadi filter bagi mata siapa pun di dalam bus saat itu.
Bus belum berjalan. Lelaki itu melihat pemandangan di balik jendela.
Seorang bapak setengah baya berlari kecil menenteng dagangannnya ke sebuah
kios di pinggir jalan sambil tertawa. Mungkin ia tertawa karena hujan sedang
mengajaknya bercanda. Di kios itu sudah duduk seorang ibu membawa sekantong
besar belanjaan yang menyapa kedatangan si bapak dengan senyum sekilas.
Kemudian kembali memandang bosan ujung atap yang membuat air hujan jatuh
teratur, seperti ada yang menuangkannya dari poci. Mungkin ia bosan karena
hujan telah membuatnya menunggu.
“Kau sudah melihat bulan?”
“Sudah.”
Percakapan dengannya tiba-tiba muncul. Salah satu percakapan telepon yang
dapat ia ingat tanpa perlu berusaha. Percakapan yang biasa datang, saat rindu
menyapa. Percakapan itu membawanya pada sebuah jendela yang lain. Jendela
rumahnya. Saat itu bukan sore dan hujan yang menghadapinya, melainkan malam
dan purnama.
“Kau menghubungiku hanya untuk menanyakan itu?”
“Ya.”
Dalam percakapan itu, si lelaki mencoba untuk tetap tenang. Padahal hatinya
menggebu-gebu menahan rindu. Sulit sekali mereka bertemu atau sekedar
berbincang melalui telepon genggam seperti sekarang. Bilamana mungkin, ia
ingin mengabadikan setiap detik dalam percakapan mereka dan memajangnya di
satu sudut kamarnya.
Lelaki itu tak pernah bertanya apakah rindunya berbalas atau tidak. Karena ia tahu
bahwa pertanyaan semacam itu dapat membuat keduanya terluka. Ia hanya bisa
yakin, bahwa wanita itu tahu betul bagaimana ia merindukannya. Dan ia juga
yakin, bahwa wanita itu bahagia karenanya. Mereka telah sampai di satu titik di
mana mereka sudah teramat dekat, tapi tak bisa saling berpegang erat.
Lelaki itu mengingat-ingat, pertemuan terakhir dengan wanita itu adalah ketika
musim hujan belum tiba. Ketika jarak belum lama memisahkan mereka. Lelaki itu
mengajaknya ke sebuah kedai kecil di sebuah komplek perumahan. Itu salah satu
kedai favoritnya. Kedainya sederhana, hanya menyediakan makanan dan
minuman sederhana dengan harga yang cukup pula bagi orang-orang sederhana.
Di akhir pertemuan singkat itu, mereka berjanji akan bertemu lagi nanti, bila
hujan tiba. Mereka sama-sama suka hujan. Namun nampaknya hujan yang mereka
maksud bukan hujan hari ini.
Bus masih belum berjalan. Hujan semakin deras. Meski hanya sebentar, lelaki itu
menikmati masa-masa ini. Memandangi hujan di dalam bus tanpa rasa buru-buru,
tanpa ada yang menunggu, dan tanpa tau kemana akan menuju. Seperti
hubungannya dengan wanita itu.
Tak ada yang perlu diburu.
Tak ada yang dapat ditunggu.
Dan tak ada yang mesti dituju.
“Sepenting itukah?”, tanya wanita itu.
“Ya, jangan sampai kau melewatkan bulan.”
“Memangnya kenapa?”
Selayaknya hujan lelaki itu mengagumi bulan.
Dan selayaknya bulan ia mengagumi wanita itu.
“Agar…”
“Agar apa?”
“Agar kau tahu, kau punya saingan.” (Lagam Alfaruki)