Beberapa waktu lalu, Indonesia menempati tingkat kesopanan paling rendah se-Asia Tenggara. Berdasarkan survei Digital Civility Indeks (DCI), hasil penilaian kesopanan warga Indonesia terlihat memburuk, yang tadinya menempati 67 poin di tahun 2019, nyatanya pada tahun 2020 naik 9 poin menjadi 76. Sistem penilaian survei tersebut berkisar dari skala nol hingga 100, artinya semakin tinggi skor, maka semakin rendah kesopanan di negara tersebut.
Melihat kalimat “tidak sopan” yang selalu disinggung dalam laporan DCI, umumnya ada beberapa masyarakat Indonesia yang merasa tidak terima akan hasil survei tersebut. Pasalnya, melihat dari sisi adat istiadat warga Indonesia sendiri, sebenarnya tingkat kesopanan masyarakatnya tidak perlu diragukan lagi. Hal ini dicontohkan dalam kebiasaan kita yang saling bertegur sapa antar sesama, mencium tangan orang yang lebih tua, menggunakan sebutan yang terhormat seperti pak, bu, mbak, dan lainnya dalam berbicara, serta karakter positif lainnya yang dimiliki oleh orang Indonesia.
Bahkan, Indonesia pernah disebut sebagai negara dengan orang-orang yang paling murah senyum (The Smiling Report 2009) dan negara yang paling dermawan di dunia (Word Giving Indeks 2021). Lantas, apa yang menjadi faktor survei DCI menempatkan kesopanan Indonesia menjadi terendah?
Menurut survei yang diadakan oleh Microsoft itu, ketidaksopanan warga Indonesia dilihat dari perilaku buruk masyarakatnya dalam dunia maya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya berita hoax dan penipuan online sepanjang 2020 yang meningkat hingga 13 poin ke angka 47%, ujaran kebencian naik 5 poin menjadi 27%, dan diskriminasi 13%. Ketiga faktor ini banyak dipicu oleh pengguna usia dewasa sebanyak 68%. Hal ini berarti warganet Indonesia masih kurang bijak dalam berseluncur di dunia maya.
Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun menunjukkan dalam surveinya bahwa 11,9% responden mengakui telah menyebarkan berita hoaks pada sepanjang tahun 2021. Munculnya 5000 lebih berita hoaks tentang COVID-19 pun menjadi salah satu contohnya. Dan sebanyak 45 persen dari 2,777 anak muda usia 14-24 tahun pernah mengalami cyberbullying, menurut survei UNICEF U-Report 2021.
Sebagai penggiat media sosial, saya pun kerap kali melihat bentuk ketidaksopanan netizen yang biasa saya dapati di Instagram dan TikTok dalam bentuk diskriminasi, verbal bullying, body shaming, dan sejenisnya. Contohnya, dalam sebuah akun yang memposting dirinya yang sedang menari, terdapat banyak sekali cibiran di kolom komentarnya yang menjurus ke arah body shaming.
“gendut banget, gak berat?”
“selflove boleh, tapi lo merusak pemandangan orang!”
“lu gak ada niatan kurus? Badan udah gede gitu!”
Melihat komentar negatif seperti itu membuat saya ikut merasa sakit hati. Bayangkan saja, seseorang yang sudah bersusah payah untuk membangun kepercayaan diri tiba-tiba rasa percaya diri itu dijatuhkan oleh mulut-mulut netizen yang dengan mudahnya mengomentari berat badan, ukuran tubuh, dan penampilan orang lain dengan buruk.
Memangnya, apa salahnya, sih punya badan gemuk, kulit sawo matang, atau wajah yang berjerawat? Layaknya pendosa besar, hal seperti ini menjadi sangat hina di mata orang- orang. Sedih juga, ya.
Melihat dari banyaknya kasus yang menyeret Indonesia menjadi warganet yang paling tidak sopan ini membuat saya penasaran tentang atas dasar apa netizen Indonesia melakukan hal-hal tidak sopan seperti itu.
Dilansir dari jurnal Kominfo, terkait maraknya penyebaran berita hoaks disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi yang tidak bisa dikontrol lagi, yang mana berita hoaks sebagai tindakan konstruksi sosial sederhana yang akan mengakibatkan permusuhan antar masyarakat dan negara.
Adapun kasus diskriminasi, ujaran kebencian, dan hal sejenisnya diakibatkan oleh seseorang yang tidak bersikap toleransi, kurangnya pendidikan tentang bersikap bijak dalam dunia maya, hingga memiliki sikap dendam dan iri hati.
Lalu, pernahkah seseorang yang melakukan tindakan tercela di sosial media tersebut memikirkan dampak buruk atas perbuatannya? Misal, si penyebar hoaks yang nantinya bisa menimbulkan perpecahan besar di tengah masyarakat, penipuan online yang menyebabkan kerugian, dan korban-korban bullying yang terkuras kesehatan mental dan emosionalnya.
Lantas, sampai kapan Indonesia akan terus dicap sebagai negara paling tidak sopan se-Asia Tenggara? Menurut saya, hal seperti ini harus menjadi titik fokus kita untuk berupaya memperbaiki sikap demi membawa nama baik warga Indonesia yang tidak hanya dikenal berkarakter sopan dan ramah hanya dalam kehidupan nyata saja, melainkan hal serupa harus diterapkan juga dalam dunia maya.
Edukasi terkait pentingnya berperilaku bijak dalam bersosial media tentu menjadi hal yang penting untuk dimiliki masyarakat Indonesia, apalagi di masa pandemi yang tak kunjung usai ini hampir setiap orang menggunakan sosial media untuk kebutuhan bersosialisasi dan komunikasi.
Menjaga etika dalam berkomunikasi, bijak memilih teman di medsos, teliti dalam mencari kebenaran ketika hendak membagikan suatu konten, dan selalu waspada atas segala hal tentu bisa menghindari segala hal yang tidak diinginkan.
Kembali pada hasil penilaian DCI, saya sendiri setuju atas hasil survei tersebut. Lagi pula, fakta penetapan bahwa warganet Indonesia itu paling tidak sopan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia agar kedepannya bisa belajar untuk lebih bijak dalam bersosial media.